"Memang."
"Terus?" Ardha Candra mendengus kesal. "Kalian bilang kan punya rekaman CCTV-nya, buka saja. Sekalian kalian selidiki lebih jauh apa saya sempat keluar dari ruangan itu sebelum kedatangan mereka."
"Dia," detektif wanita menunjuk sang dokter namun tatapannya tetap tertuju pada Ardha Candra. "Menemukan Anda sedang duduk di sudut ruangan dengan menggenggam potongan pakaian ini dalam kondisi ketakutan, atau mungkin hanya terlihat seperti itu?"
Detektif yang satunya lagi memperlihatkan robekan-robekan kain putih dan biru di dalam kantong plastik di tangannya ke hadapan Ardha Candra.
"Jangan bilang Anda melupakan hal ini?" ujar detektif wanita yang memiliki potongan rambut pendek ala-ala aktor Mandarin di era delapan puluhan.
Wajahnya cantik, dadanya juga lumayan besar. Tapi sayang, terlalu sinis, gumam Ardha Candra di dalam hati.
Brengsek! Apa yang aku pikirkan?
"Apa yang bisa saya katakan?" jawab Ardha Candra. "Saya baru siuman dari kondisi koma—bahkan Dokter Arya saja sudah memastikan, hal yang saya alami ketika baru siuman itu adalah hal yang wajar bagi pasien seperti saya."
"Tolong," sahut sang dokter pula pada para polisi itu. "Jangan mengulang-ulang pertanyaan yang sama. "Atau, saya terpaksa harus menelepon atasan kalian dan mengajukan komplain atas apa yang kalian paksakan terhadap pasien saya ini."
"Bisakah Anda tenang dan diam saja barang sebentar, Dok?" ujar detektif laki-laki itu seraya menyentuh dada sang dokter demi menahan agar ia tidak lebih maju lagi mendekati detektif wanita rekannya itu. "Serius, Anda sama sekali tidak membantu kami di sini."
"Dengar!" ujar Arya lagi sembari membenahi posisi kacamatanya. "Apa pun yang telah terjadi pada Lisa, kami—saya sangat-sangat bersimpati dan menginginkan keadilan untuknya. Tapi saya juga dapat memastikan, bahkan bersaksi untuk pasien saya ini di pengadilan jika itu satu keharusan."
"Dok," ujar detektif wanita itu sembari menunduk dan tertawa pelan, entah merasa lucu pada apa gerangan. "Saya hargai prinsip Anda yang melindungi hak-hak pasien yang Anda tangani."
Tatapan wanita itu laksana sepasang pedang tajam tertuju pada Arya.
"Sayang sekali, Dok," lanjutnya, "jika Anda terus-terusan menghalangi kami, saya takut akan meminta petugas di belakang untuk menahan Anda."
Lalu, tangan detektif wanita itu terjulur sembari memperlihatkan surat perintah dari Markas Kepolisian sekali lagi kepada Arya.
"Kami punya perintah dan hak untuk itu."
Sedikit banyaknya, ucapan detektif wanita itu cukup mengena bagi sang dokter. Pada akhirnya, ia terpaksa kembali bersurut langkah.
"Mari kita ulang," ujar wanita tersebut seraya tersenyum lebih lebar.
"Terserah," gumam Ardha Candra setengah tak terdengar.
Tapi detektif wanita itu tidak peduli, ia tetap melanjutkan kata-katanya dengan sesekali memerhatikan lembaran lain yang ada di tangannya—lembaran yang merupakan catatan rentetan kejadian yang telah lebih dahulu diselidiki oleh para polisi sebelumnya.
"Jam enam sore shift kerja Lisa Dharmansyah berakhir dan dia terlihat keluar dari kamar di mana Anda dirawat sebelumnya."
"Sorry, saya tidak bisa mengingat itu," sahut Ardha Candra dengan tidak acuh. "Sepertinya saya masih dalam kondisi tertidur dalam koma."
"Well, maybe," lagi-lagi detektif wanita itu tersenyum. Senyum yang justru menandakan ada kecurigaan lain di dalam pikirannya terhadap Ardha Candra. "Saya tidak meminta Anda untuk menanggapi apa yang sedang saya sampaikan. Nanti, kami akan bertanya kepada Anda setelah urutan kejadian ini kami sampaikan. Bisa?"
Ardha Candara mengendikkan bahu. Silakan saja, pikirnya, kecuali perawat itu makhluk jejadian dan kalian adalah komplotannya, maka tidak heran kalian ingin berlama-lama menahanku di ruangan ini yang semakin terasa pengap dengan kehadiran kalian semua.
"Tapi anehnya," lanjut si petugas wanita itu lagi, "korban yang seharusnya sudah pulang, dan terlihat dari rekaman CCTV lobi rumah sakit, justru kembali lagi sekitar pukul delapan malam. Dan korban sempat berbicara beberapa menit dengan perawat yang di sana."
Detektif wanita itu menunjuk lalu berpaling ke arah perawat wanita berbadan besar yang berdiri di dekat seorang polisi berpakaian lengkap di belakang kedua detektif tersebut.
Perawat gendut itu mengangguk. "Jam delapan kurang," ujarnya memberi kesaksian. "Saya bertemu Lisa di koridor menuju kamar tempat dia dirawat," tunjuk perawat itu ke arah Ardha Candra.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya detektif wanita itu lagi. "Dan berapa lama?"
"Nggak, nggak lama," jawab perawat wanita tersebut. "Paling sekitar lima menit saja. Kami membahas soal kejadian pembunuhan sadis belakangan ini sedang marak terjadi. Sebab, Lisa bilang ia sedikit ketakutan untuk harus pulang sendiri malam-malam. Saya menyarankan agar dia pulang saja. Lagian, shift-nya sudah berakhir dari jam enam, begitulah yang saya pikir."
"Lalu, apa yang dikatakan korban?"
"Lisa bilang, mungkin dia akan memanggil seseorang yang akrab dengannya untuk mengantarkannya pulang nanti. Tapi dia masih ingin memeriksa keadaan pasien yang terakhir kali ia tangani."
"Setelah itu?"
"Setelah itu, saya meninggalkan Lisa saat akan masuk ke kamar itu. Saya sendiri punya pekerjaan yang harus saya kerjakan satu lantai di atasnya—yaa, lantai ini, kamar paling kanan. Tapi, saya sempat mengintip."
"Mengintip?"
"Maksud saya, pas Lisa membuka pintu kamar itu, saya sempat melihat sosok laki-laki itu sedang duduk di atas ranjang sambil meremas-remas rambutnya sendiri."
"Lalu?"
Perawat bertubuh besar itu menggeleng. "Setelah itu tidak ada lagi, kecuali saat dua orang polisi yang sebelumnya itu mendatangi kami dengan membawa kabar soal kematian… kematian Lisa… maaf."
Perawat itu tak dapat melanjutkan kata-katanya sebab mata yang memerah telah berurai air mata. Polisi berseragam itu menyodorkan beberapa lembar tisu kepadanya.
"Baiklah," sahut detektif wanita itu kemudian. "Terima kasih. Sekarang," pandangannya kini tertuju kepada Ardha Candra, "kembali kepada Anda. Itu adalah kali terakhir seseorang melihat Lisa."
Sang detektif wanita memilih lembaran lain di tangannya, lalu diperlihatkan kepada Ardha Candra. Foto dari perawat bernama Lisa Dharmansyah, namun dengan ukuran kertas foto yang lebih besar.
"Wanita ini terakhir kali diketahui bersama Anda, Pak Candra," ujar detektif wanita itu lagi dengan penekanan khusus pada suaranya. "Dan lima belas menit kemudian dia temukan tak bernyawa di sebuah gang tak jauh dari rumah sakit ini oleh seorang anak kecil."
Ardha Candra bisa merasakan tekanan yang sangat mengancam dari suara, sorot mata, dan gerak-gerik tubuh si detektif wanita tersebut.
"Dan setengah jam dari waktu terakhir Lisa Dharmansyah diketahui masih hidup," lanjut sang detektif wanita kepada Ardha Candra, "tepatnya lima belas menit setelah orang tua anak dari anak kecil itu menelepon polisi, pihak kami menemukan barang-barang korban dan identitasnya, yang akhirnya membawa kami ke hadapan Anda."
Ardha Candra duduk setengah membungkuk, lalu menatap detektif wanita itu dengan cukup lama.
TO BE CONTINUED ...