Chereads / Tirai Penghalang / Chapter 4 - Tembok

Chapter 4 - Tembok

"Kan ane dah bilang gak mau, gimana sih, Beh?" protes Rezqi lagi. "Banyak noh, Beh," lanjutnya sembari menunjuk ke satu arah. "Pemuda-pemuda gagah, kaya raya di kampung sebelah. Mending mereka yang Babeh ambil jadi mantu."

"Kagak mau gue," bantah Babeh Djaja, kembali menyeruput sisa kopi di dalam gelas. "Gue kekeuh elu pokoknye."

"Dah ahh, Beh. Ane mau cabut dulu." Rezqi tersenyum kecut memandang pada bibinya yang masih menahan tawa. "Bi, Rezqi pergi dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," Babeh Djaja masih tersenyum-senyum memandang Rezqi. "Berangkat gih sono."

"Waalaikumsalam," sahut Bi Ayu melepas sang keponakan dengan senyum harap.

Berharap keponakannya itu bisa secepatnya mendapatkan pekerjaan tetap. Dan sebagaimana dengan Babeh Djaja sendiri, Bi Ayu juga sedikit khawatir akan Rezqi. Soal jodohnya. Tapi wanita Jawa ini tidak bisa berbuat banyak, masalahnya, Rezqi sebenarnya keponakan dari sang suami yang berdarah Sumatra. Jadi yaa, Bi Ayu agak merasa lancang bila ia pun ikut campur dalam hal yang satu ini. Kecuali, dalam perkara sekadar bercanda gurau saja.

"Eih Rez," seorang pengunjung warung menyeru pemuda tersebut. Tohap, pria Batak usia empat puluh lima tahun. "Jangan pulak kau lupa," serunya lagi. "Nantik sore mengecat rumah Kang Dudung, yak?"

"Beres Bang," sahut Rezqi setengah berteriak dan kembali melanjutkan langkahnya.

***

Di dalam kantor HRD – Human Resources Development – sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang expor-impor bahan baku karet dan getah, Rezqi duduk menunggu dalam harap-harap cemas. Sudah hampir setengah jam ia duduk diam begitu, memandang pada seorang wanita yang duduk di seberang meja. Lima belas menit sebelumnya, ia harus menjawab semua pertanyaan yang diajukan padanya.

Dan masa-masa duduk menunggu ini adalah masa paling tidak menyenangkan bagi Rezqi, ia sudah cukup 'berpengalaman' soal interview dan sebagainya ini. Boleh dibilang cukup kenyang, hanya keberuntungan saja yang belum mau mendatangi pemuda tersebut.

Ada kalanya Rezqi berpikiran, entah ke mana perginya Dewi Fortuna, atau sedang selingkuh dengan siapa tuh dewi? Kenapa sampai sekarang belum sekali pun bertandang menemui dirinya?

Wanita empat puluh tahunan itu tengah serius menelisik lembaran dalam map hijau di tangannya. Map yang berisi lembaran dari surat lamaran pekerjaan alias CV milik Rezqi.

"Hmm," wanita itu mengangguk-angguk selayaknya seseorang yang memiliki kekuasan pada jabatan yang dipegang. "Di sini, dinyatakan Anda seorang electronician," ujar wanita tersebut tanpa berpaling, membolak-balik lembaran di dalam map.

"Iya, Bu," sahut Rezqi dengan sangat sopan, plus, satu senyuman yang ia harap bisa membuka sedikit celah baginya.

"Very well," wanita itu meletakkan map begitu saja ke atas meja, setengah melempar. "Silakan menunggu. Paling lambat dalam sebulan ke depan kami akan menghubungi Anda."

Rezqi masih tetap tersenyum. "Terima kasih, Bu." Lalu, ia pun berdiri dari duduk manisnya.

Wanita itu mengangguk, tersenyum tipis. "Silakan," tangannya teracung, menunjuk pintu di belakang posisi Rezqi berdiri.

Rezqi mengangguk. "Mari, Bu," dan hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh wanita itu.

Rezqi memutar langkah, membuka pintu, dan kembali tersenyum mengangguk pada wanita itu, berharap wanita tersebut memanggilnya lagi dan memberikannya satu posisi di perusahaan itu. Hahh… satu tembok lagi, batinnya, dan berlalu dari sana.

Sang pemuda melangkah setengah tak bersemangat menyusuri koridor di lantai tersebut, menuju ke ujung koridor di mana terdapat empat buah pintu lift. Tidak banyak orang yang terlihat di sekitaran lift itu, hanya satu-dua orang saja, dan seorang petugas kebersihan.

"Cecil," seru si wanita kepala HRD sepeninggal Rezqi sembari memencet sebuah tombol pada telepon di atas meja.

Sesaat kemudian seorang wanita muda dengan dandanan serbaketat memasuki ruangan. "Misi, Bu," sapanya.

"Nih," ia menyerahkan map hijau di atas meja pada Cecil. "Biasa."

Cecil menerima map. "Bagaimana, Bu?" ujarnya memberanikan diri, kemudian menatap lama pada map di tangannya.

"Hahh," keluh wanita itu. "Kita ini expor-impor bahan mentah karet, bukannya penyedia layanan servis elektronik," ia tertawa halus, menyindir pada pemuda tadi yang baru saja ia interview.

Cecil ikutan tertawa. "Misi, Bu."

Cecil mendesah panjang, menatap map di tangan. Dan ia tahu harus berbuat apa pada map tersebut. Tong sampah. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Sayang sekali, gumamnya setengah tak terdengar ketika membuka pintu akses keluar-masuk ruangan tersebut. Padahal, Cecil merasa cowok tadi terlihat pintar dan punya masa depan cerah. Apalagi wajah dan tubuhnya itu... Cecil menggigit lembut bibir bawahnya sendiri.

*

"Sebulan lagi, haa?" bisik Rezqi pada diri sendiri saat langkah kakinya menuruni sejumlah anak tangga di halaman depan perkantoran itu. Tersenyum kecut.

"Just another bullshit," ia berlalu ke sisi kanan, menuju sebuah halte bus di ujung sana.

Rezqi melangkah santai. Melirik jam di pergelangan tangan.

"Hahh, udah jam satu aja," gumamnya.

Padahal sebelumnya di dalam salah satu ruangan di kantor tadi itu, Resqi sudah menunggu sedari jam sepuluh kurang sepuluh menit. Kenyataannya, baru dipanggil interview setelah lewat jam dua belas.

Ngaret aja terus, makinya dengan kesal dalam hati.

"Tenang! Selama langit masih biru, masih ada kesempatan kok," bisiknya menghibur diri, sembari menatap langit siang yang cerah. Ia mengernyitkan wajah, cahaya sang mentari ternyata tidak bisa ditantang dengan mata telanjang, pikirnya. Kembali tersenyum seorang diri.

Lama menunggu, bus akhirnya datang juga. Segera pemuda itu memasuki kendaraan tersebut. Ternyata penuh. Terpaksa ia bergelantungan, berdesak-desakkan dengan penumpang lain. Panas, gerah, belum lagi bau tubuh dari sebagian orang yang sadar atau pun tidak begitu menusuk indra penciuman. Seolah-olah pemilik bau tubuh itu tidak mengenal kata kebersihan, atau setidaknya seakan tidak pernah tahu bahwa di dunia ini sudah ada 'teknologi canggih' untuk mengatasi bau ketiak.

Memuakkan. Hidup yang indah. Perfect! Rezqi menundukkan wajah, menyembunyikan senyuman, entah merasa lucu pada apakah gerangan. Dan ia berusaha untuk menghela napas sedikit-sedikit saja, atau 'aroma khas' itu akan memaksa isi perutnya keluar semua, dikuras habis.

*

"Kiri, Bang," seru Rezqi pada sang supir, setelah sekian menit bertahan dengan perjuangan luar biasa.

Bus menepi. Rezqi bergeser dengan cepat di antara kerapatan tubuh penumpang lainnya. Bergegas melompat turun.

Ahh… oksigen, jerit paru-parunya kegirangan, lebih-lebih cuping hidung yang mengembang itu, sedang berusaha mengumpulkan kesegaran yang ada.

Sejenak ia menengadah dengan mata terpejam, menghirup lagi udara dalam-dalam untuk kesekian kalinya.

Sebuah angkutan kota lainnya melintas, mengepulkan asap hitam tebal dari knalpotnya. Rezqi terbatuk-batuk, berusaha menutup saluran pernapasannya.

Sialan…! makinya lagi di dalam hati.

Rezqi tertawa sendiri memandang pada angkutan yang semakin menjauh itu.

Sesaat kemudian ia edarkan pandangannya, dan melihat satu toko elektronik. Yup, itu dia. Segera saja ia melangkah ke arah toko tersebut.