Arif datang dari kamar kecil, berjalan santai dia pun mengulas senyum kala melihat Khanza dan Dea memasuki area kantin. Sepertinya dia sudah mendingan, baguslah.
Kembali ke meja, mata Arif membulat sempurna kala kaki Zia sengaja ia julurkan ke jalan. Namun belum sempat memberi tahu dua siswi baru tersebut, Khanza sudah tersandung lebih dulu.
"Khanza," ujar Dea.
Secepat kilat Arif beraksi, dia pun menahan tubuh mungil tersebut agar tidak terjatuh dan menyentuh lantai.
Jantung Khanza sontak berdegup kencang. Bukan hanya kaget, tetapi juga karena posisi ia dan Arif sangat eksklusif saat ini. Tangan kanan mengalung mesra pada leher jenjang si pria tampan rupawan.
Sementara tangan kiri Arif berada tepat di bawah badan si cupu. Saling mengunci tatapan satu sama lain, mereka berdua terpaku sampai lupa sedang berada di mana.
Semua anggota geng comel menganga lebar. "Gimana sih lo Zi, bukannya si cupu celaka malah dapat keuntungan lebih dia." Santi berbisik seraya memberenggut kesal.
"Mana gue tahu kalau ada Arif. Lagi pula gue pikir dia nggak peduli sama si cupu," bela Zia.
Vera mengepalkan tangan. Hatinya membara melihat dua anak muda berbeda jenis itu masih tertaut mesra. Lihat saja lo cupu, tamatlah nanti riwayatmu.
"Ehem!" dehem Randra menyadarkan keduanya.
"Cie!" Si Dea malah menambah suasana panas. "Kalian cocok deh," celetuknya.
"Apaan sih De." Semburat merah menyapa di pipi Khanza, sontak menarik tangan, dia pun berdiri tegak dibantu Arif. "T-Terima k-kasih," tuturnya.
"Kamu nggak apa-apa 'kan?" Perhatian sekali Arif sama gadis cupu itu.
"Tidak apa-apa." Mengulas senyum tipis, apa salah jika Khanza mulai baper sama teman barunya tersebut. "Sekali lagi terima kasih ya, aku sama Dea mau cari tempat duduk dulu."
Menarik tangan Dea, gadis cupu tersebut pun mengangguk ramah pada kumpulan kakak kelas yang berwajah angkuh tersebut.
Arif menarik napas, lalu duduk di samping Randra. "Ini minum gue 'kan?" tanyanya pada sang sahabat.
"Yoi," sahut Randra. "Lo nggak mau makan?" tawar lelaki itu.
Arif menggeleng. Perutnya masih kenyang, tidak tertarik pada kumpulan makanan. Dia justru tertarik menatap pada Khanza dan Dea yang cekikikan berdua.
"Lo suka sama gadis bar-bar itu?" bisik Randra.
Arif menoleh. "Maksud lo?" Siapa gadis bar-bar yang dimaksud sahabatnya.
"Itu cewe yang tadi di lapangan."
Arif menukikkan alis. Apa Dea yang dimaksud Randra. "Dea?" selidiknya lagi.
"Hm."
"Hahahaha!" Sontak Arif tertawa keras hingga menyita perhatian semua orang di kantin. "Lo ngelantur Rand." Tepukan pun mendarat di bahu sang sahabat.
"Terus?! Lo naksir si cupu?"
"Dia punya nama Rand," tegur Arif. "Gue nggak naksir siapa-siapa," elaknya.
Bibir Randra sontak maju ke depan. Its okay, dia manggut-manggut saja. Toh Khanza memang jauh dari tipe Arif pun.
***
Khanza merasakan hal aneh kala melihat Arif tertawa lepas di meja yang sama dengan kumpulan para cewe cantik tersebut. Sontak badmood, ia jadi melamun dan hanya mengocok minumannya.
"Lo kenapa?" tegur Dea.
"Perut gue berasa nggak enak," bohong Khanza.
"Lo masih sakit?" selidiknya.
Khanza mengangguk ragu. "Sedikit," ucapnya.
Dea pun menarik napas dalam. "Sebaiknya lo izin pulang deh Za. Muka lo juga masih pucat kayanya."
Khanza menggeleng. "Nggak enak gue. Ini hari pertama masa main pulang saja. Mending kita ke kelas saja yuk, biar gue bisa istirahat dulu sejenak."
Dea pun bangkit berdiri. "Ayo."
Khanza pun juga bangkit berdiri. Dari pada di dalam kantin ini, rasa tidak enak itu semakin menjadi. Lebih baik ia pergi menghindari. Melewati meja Arif dan kawan-kawan, gadis cupu tersebut pun berhati-hati kali ini.
"Eh Bar-bar," tegur Randra. "Mau kemana lo?"
Dea pun menoleh. "Lo nanya gue?" tunjuknya pada diri sendiri.
"Iyalah siapa lagi?" sewot lelaki itu.
Netra mata coklat itu pun terbuka lebar. "Dasar cowok kadal cap cicak," balas Dea. "Nggak sopan banget manggil orang." Emosinya pun tersulut saat itu juga.
"Lah lo juga," balas Randra. "Dasar bar-bar!" ulangnya.
"Kadal."
"Bar-bar."
"Eh cewek gatel. Pergi lo!" usir Santi.
"Berisik banget," imbuh Amel.
"Pergi atau kita-kita akan tambah hukuman lo," ancam Zia.
Khanza memejamkan sesaat matanya. "Ayo kita pergi saja De. Jangan cari masalah lagi sama mereka.
Dea masih memendam amarahnya. Mengepalkan tangan, ia terpaksa pergi dari pada harus kena masalah lagi. "Ayo Za. Nggak guna meladeni mereka semua."
Pergi menjauh dari sana. Khanza pun menoleh sebelum keluar dari kantin. Dan tanpa sengaja Arif pun juga sama menatap lurus pada netra mata coklat tersebut.
Kenapa aku selalu deg-degan kalau bersitatap dengan Arif. Apa ini artinya gue ... Kagum.
Secepat kilat hatinya menampik rasa yang ia sendiri belum pernah mengenalnya seperti apa. Yang jelas dia tidak ingin tercebur dalam Obession In Love.
Aku dapat merasakan ada yang berbeda dari pancaran bola mata itu. Seperti ada sesuatu yang ia tutupi dari penampilannya. Dan aku sangat yakin kalau Khanza sangat cantik aslinya.
Arif segera memutus kontak mata mereka. Takut kalau sang sahabat akan menuduhnya yang bukan-bukan lagi. Kembali fokus dengan minuman, dia sesekali mengimbuhi obrolan di meja makan.
"Gue cari kalian kemana-mana, ternyata lebih dulu ke kantin ya?" ujar Adit.
Sony, Aldi, dan Adit datang. Langsung bergabung di meja tersebut, mereka baru menyadari kalau ada Arif dan juga Randra di sana.
"Kalian juga di sini?" sembur Aldi.
"Sorry, gue dan Arif tadi cari kalian nggak ketemu-ketemu." Randra tidak berbohong, mereka tadi memang ingin mengajak ketiga lelaki itu bareng ke kantin. Namun di perjalanan mereka malah menemukan Dea yang kena bully sama geng comel.
Sony yang duduk di antara Santi dan Zia diam saja. Fokusnya hanya tertuju pada strategi pemangsa. Tangan kiri terjatuh pada pangkuan sang selingkuhan, sementara tangan kiri sibuk menggenggam tangan sang kekasih.
Zia sepertinya sudah terbiasa akan hal itu, dia malah membiarkan rok pendeknya semakin tersingkap setengah. Mengigit bibir dalam, gadis tersebut juga menahan napas kala tangan kekar membelai lembut paha mulusnya. Gila Sony, enak banget.
Santi mengulas senyum. Perlakuan romantis sang kekasih kerap kali membuatnya baper tak terkira. "Thanks Sayang," ucapnya kala Sony menyapu sisa remahan kue di sudut bibirnya.
"Sama-sama Sayang," balas lelaki itu penuh kelembutan. Mengambil sepotong kue di piring sang kekasih, dia pun menyodorkan guna menyuapi.
Orang lain mungkin iri, tapi Aldi dan Adit rasanya muak melihat kelakuan Sony. "Dasar buaya buntung," gumam Adit pelan.
"Sekali tepuk dua nyamuk baper gaes," balas Aldi juga bergumam.
"Kalian ngomong apa?" selidik Randra yang samar-samar mendengar ocehan dua teman sekaligus Kakak kelasnya.
"Ah nggak Bro. Kita cuma ingat tadi habis baca artikel tentang buaya. Ternyata spesies mereka itu setia lo."
Si Aldi apa-apan coba. Sejak kapan dia suka baca dan sejak kapan dia juga suka mencibir sahabatnya.
"Oh ya? Berarti buaya itu setia ya?" Lirikan maut dari Adit tak dipedulikan oleh Sony.
"Setiap tikungan ada." Rupanya Arif peka akan maksud tersembunyi dari obrolan para temannya.
Randra, Adit, dan Aldi pun sontak tertawa bersama.