"Akhirnya segar juga!" seru gadis cantik yang sudah menanggalkan penampilan cupunya.
Selesai menyisir rambut panjang, Khanza pun mengoles sedikit bedak pada wajah mulusnya. Lalu ia melepas charger hp, dan membawa benda canggih tersebut rebahan di kasur. Teringat dengan janjinya pada Arif, ia pun mulai menghidupkan ponsel tersebut.
Ting!
Sebuah pesan masuk dari nomor tanpa nama. Namun Khanza sudah tahu dari siapa. "Ini pasti nomor Arif," ucapnya.
Lantas membuka pesan singkat dari teman lelaki barunya tersebut, sudut bibir Khanza pun melengkung tanpa permisi.
"Aku balas pesan atau aku telpon saja ya?"
Debaran jantung pun Khanza rasa tidak biasa kini. "Aku balas pesan saja deh, dari pada ngomong langsung aku pasti canggung."
Sontak mengetik pesan, Khanza pun beberapa kali menghapus kata pada keyboardnya. Takut-takut salah atau bahkan jadi tidak sopan kesannya.
Terkirim dengan garis centang dua. Gadis cupu itu pun tak henti menatap layar ponselnya. "Kok lama balas ya? Apa dia belum sampai rumah? Atau?"
Dari pada gelisah menunggu, Khanza pun memutuskan untuk makan siang dulu. Melempar benda pipih tersebut sembarangan, ia pun keluar dari kamar.
"Za," sapa sang Mama saat dirinya sudah memasuki ruang makan.
"Iya Ma," sahutnya pelan takut kalau sang Kakak ipar sudah membocorkan rahasianya.
"Gimana tadi sekolahnya?" Wanita paruh baya tersebut menyesap tehnya dengan perlahan.
"Em ... b-baik kok Ma." Semoga sang Mama tidak curiga akan kebohongannya.
"Lingkungannya baik 'kan Nak? Tidak seperti cerita kebanyakan yang bilang kalau sekolah-sekolah di Jakarta itu banyak kekerasan dari para seniornya."
Perasaan Khanza semakin tidak enak, tapi dia sudah terlanjur berbohong pada sang Mama. Dan terpaksa ia pun harus menutupi dengan kebohongan baru lagi.
"Nggak kok Ma. Seniornya ramah-ramah. Para Guru dan stapnya juga sangat baik."
"Baguslah." Sang Mama merasa lega kalau anaknya sudah kerasan pada sekolah barunya. "Ya sudah Mama tinggal dulu ya soalnya Mama mau ada arisan sama ibu-ibu komplek, kamu makan sendiri nggak apa-apa 'kan?"
"Iya Ma." Menatap punggung sang Mama perasaan bersalah bergelayut manja pada dirinya. Namun setidaknya dia bisa lega karena tidak menambah beban pikiran sang Mama.
Makan dengan dilayani sang pembantu, si gadis cupu tersebut segera masuk lagi ke dalam kamarnya. Mencari-cari benda pipih yang terselip di antara selimut, Khanza pun membawanya ke balkon. Merebahkan diri pada sebuah ayunan gantung, ia pun mulai mengotak-atik layar datar tersebut.
"Astaga!" Ternyata ada balasan pesan dari Arif. Gemetar membuka pesan tersebut, jantung Khanza pun deg-degan tidak karuan.
[Siang juga Za? Gimana sudah sampai rumah 'kan? Jangan lupa makan siang ya? Nanti sakit lo.]
Pipi Khanza langsung bersemu merah membaca chat dari Arif, dia pun menenggelamkan wajahnya di salah satu telapak tangan. "Kok berasa aneh ya? Dia perhatian juga," gumamnya. Ada sesuatu yang berbeda yang menggelitik di dalam dirinya.
***
Urung terlaksana keluar, Arif yang baru saja meletakkan gitarnya memeriksa ponsel. Ternyata ada sebuah notifikasi pesan dari aplikasi biru.
"Khanza." Ternyata si pengirim berasal dari gadis cupu yang tadi mengganggu pikirannya. Sontak menggeser layar, dia pun membuka chat tersebut.
[Siang Rif.]
Menghela napas panjang, ia pun melompat ke atas kasur. Dengan rebahan terlungkup, lelaki itu secepat kilat membalas pesan dari Khanza.
[Siang juga Za? Gimana sudah sampai rumah 'kan? Jangan lupa makan siang ya? Nanti sakit lo.]
Lama tidak ada balasan, Arif meneliti kembali pesan pertama dari Khanza. "Oh pantes dia tidak balas, sudah tiga puluh menit yang lalu."
Sembari menunggu, dia pun berlayar pada sosial media yang lain. Membuka aplikasi kotak berwarna Pink keunguan, dia mendapati satu pengikut baru.
"Siapa ini?" gumamnya. Lantas memeriksa foto profil orang tersebut, dia mengerjapkan mata memastikan tidak salah mengenali orang.
"Ini Vera 'kan?" gumamnya.
Tidak salah lagi, foto gadis cantik dan semakin terlihat ayu dengan filter pendukung tersebut ialah Vera. Sontak mengikuti balik, Arif malah senang kalau banyak teman yang akrab dengannya.
Ting!
Sebuah notifikasi pop-up masuk di atas layar, segera membuka, ia mengira itu adalah pesan dari Khanza. Ternyata bukan, hanya sebuah pesan dari grup sekolahnya dulu.
Ting!
Satu lagi pesan masuk. Arif pun masih semangat empat lima membuka. Memanyunkan bibir ternyata yang mengirimi dia pesan justru Randra.
"Ini anak ganggu aja," gerutu Arif.
Lantas membalas dan bertanya ada apa, lelaki tampan tersebut semakin kesal kala Randra hanya menjawab iseng saja.
"Sialan Randra," umpatnya.
Sekali lagi ada pesan masuk, Arif nampak ogah membuka. Dia kira itu dari Randra atau grup lagi, ternyata pesan tersebut dari gadis yang ia tunggu-tunggu.
"Khanza," ujarnya.
Bangun dari rebahan, Arif pun bersandar pada headboard ranjang. Membaca dengan seksama, sontak senyum indah pun terbit dari sela bibirnya.
[Hehe. Sudah lama sampai kok. Ini baru saja selesai makan. Yang nanya sudah makan belum nih?]
Seperti mendapat mood booster baru, Arif melupakan segala kesedihan tentang kesendiriannya di rumah.
[Sudah dong pasti. Nggak lucu lah kalau aku yang nanya makan, malah aku yang sakit gara-gara belum makan.]
***
Senyum-senyum sendiri, Khanza tak mengira kalau dia bisa seakrab dan senyaman ini dengan Arif.
Ini baru hari pertama aku kenal dia, bagaimana kalau lama-lama aku bisa jadi jatuh cinta? batinnya.
"Tidak. Aku harus fokus sama pendidikan dan cita-citaku. Ingat sama prinsip kamu Za, pantang bermain cinta kalau belum bisa meraih cita."
Membentengi diri lebih dulu, apa Khanza mampu menyetir hati?
[Hehehe. Iya juga ya.] Balas Khanza lagi atas pesan Arif.
Bingung mau membalas apa. Arif hanya mengirim balasan dengan emoticon senyum. Al hasil Khanza pun tidak membalas lagi pesan dari lelaki tersebut.
Chat mereka pun berakhir sampai sana. Dengan sama-sama tersenyum menatap layar datar yang mulai meredup dan mati.
Arif merasa aneh sendiri, kembali berbaring dia membolak-balik badan, dengan perasaan yang tak tenang. "Aku merasakan ada bunga bermekaran dan kupu-kupu yang beterbangan di dalam sini." Memegang dada, ia pun merasakan detak jantung yang bekerja tidak seperti biasanya.
"Tidak mungkin 'kan aku jatuh cinta sama Khanza?"
Ah semoga tidak. Mungkin ini hanya perasaan bahagia atas mendapatkan teman baru yang cocok dengannya.
***
Sambil mendekap benda pipih di dada, semburat merah pun terus hadir di kedua pipi chubby gadis cupu tersebut. "Arif," ucapnya.
Memejamkan perlahan mata, Khanza mulai masuk ke alam bawah sadar. Berharap kelak ia akan bermimpi indah tentang seorang pangeran tampan yang mau menerima tulus dirinya dengan segala penampilan anehnya.
Di tempat berbeda pun Arif sudah tertidur dengan pulas. Membawa perasaan bahagia yang selama ini tak pernah ia rasakan. Namun ia tidak dapat menyimpulkan apakah itu cinta atau hanya sekedar penghibur diri semata.