Hari demi hari telah berlalu Arif dan Khanza semakin akrab, seringnya bertukar cerita melalui chat dan kadang bertemu di luar sekolah menjadikan mereka sekarang semakin dekat. Namun berbeda cerita kala mereka sedang berada di sekolah, Arif seolah menjaga jarak dari gadis cupu tersebut. Mungkin karena ia malu jika selalu diejek oleh teman-temannya.
"Lo dekat banget sama si cupu Rif? Apa jangan-jangan lo suka sama dia ya?" Teman-temannya selalu bertanya hal sama jika mendapati dirinya bertegur sapa dengan Khanza.
"Eh apa-apaan sih kalian. Gue cuma mau open sama semua orang kok?" elak Arif.
"Tumben," sindir Randra yang paling kenal sifat sahabatnya. "Biasanya lo paling dingin diantara kita semua."
Arif meneguk saliva, bingung harus kasih alasan apa. "Ya sekarang gue mau berubah," bela Arif.
Khanza sadar diri kalau dia memang tidak seperti perempuan cantik pada umumnya. Mencoba untuk abai, ia pun berusaha menanggapi biasa saja. Dan saat di sekolah ia juga bersikap seolah tidak kenal siapa Arif.
Namun Pada suatu hari. Entah kenapa Arif menjemput Khanza untuk mengajaknya kesekolah bersama.
"Arif," kaget Khanza saat keluar dari rumah sudah mendapati Arif bersama motor merah kesayangan.
"Eh Za. Em ... berangkat bareng yuk," ajaknya.
Khanza menyipitkan mata. "Em gimana ya?"
Awalnya Khanza ragu, tetapi karena Arif yang sudah terlanjur sampai di rumahnya. Tidak enak juga menolak itikad baik temannya tersebut.
"Baiklah. Aku izin sama Kak Zay dulu," ucapnya. Lantas izin sama Zay, Khanza pun menaiki motor Arif kala lampu hijau dinyalakan sang Kakak untuknya.
"Hati-hati Rif. Jangan ngebut," pesan Zay.
"Baik Kak. Arif berangkat dulu," pamit Arif.
Kuda besi pun dipacu, seperti biasa Khanza dan Arif akan nyaman bersama. Sesekali mengobrol, mereka pun kadang tertawa riang.
"Tumben jemput ada angin apa?" selidik Khanza. Melirik lewat kaca spion, dia bisa menikmati pahatan indah itu dari sana.
"Kenapa? Nggak suka aku jemput?" Arif pun memasang wajah datar pura-pura ngambek.
"Ish." Sontak Khanza mencubit belakang Arif.
"Au!" ringis Arif.
"Nggak gitu juga kali," terang Khanza. "Aku 'kan cuma nanya," sambungnya.
"He-he. Ya 'kan emang lagi mau aja Za."
Motor pun memasuki area sekolah. Khanza ngotot minta turun di depan pagar saja, tapi Arif kekeh tetap meneruskan hingga parkiran. Al hasil mereka pun bertemu dengan Randra dan teman-teman Arif yang lainnya.
"Wow bro. lo bareng cewek cupu ini?" Randra sontak menunjuk Khanza, dengan pandangan meremehkan. Dan gelak tawa pun disambut oleh teman-temannya.
Menunduk dalam mata terpejam, gadis cupu itu memang sudah biasa diremehkan. Namun hati siapa yang tidak sakit, jika dipandang sebelah mata seperti itu.
"Ng-nggak sengaja ketemu di pinggir jalan," jawab Arif. "Kasian dia, jadi gua bawa aja."
Deg!
Seperti ada belati yang menusuk tepat jantung Khanza. Dia yang dari tadi cuma menunduk diam pun mendongakkan kepala. Menatap tajam Arif, rasa kecewa menjalar ke seluruh jiwa.
"Pe-permisi a-aku masuk dulu. te-terimakasih tumpangannya?" lirih Khanza dengan suara yang bergetar menahan rasa sesak di dada. Berterima kasih dan berlalu pergi meninggalkan Arif begitu saja. Lamat-lamat dia mendengar teman-teman Arif yang masih tertawa meremehkan dirinya.
Sial! Kenapa gua pakai acara bohong segala. Pasti Khanza marah sama gue, batinnya.
Terdiam menatap kepergian Khanza, dia merasa bersalah karena pasti dia telah menyakiti perasaan tulus sang teman. Argh! Ingin berteriak sekencang mungkin kala terbayang bola mata merah berkaca-kaca tadi.
"Kenapa lo? gitu banget ngeliatin si cupunya," ledek Randra menepuk pundak Arif.
"Si ... siapa yang ngeliatin si cupu?" Tetap saja dia selalu mengelak agar tak dipandang rendah oleh sahabatnya.
Tidak ingin terlarut membahas Khanza, Arif pun mengajak teman-temannya masuk ke dalam, tapi pemberitahuan Aldi menghentikan langkahnya.
"Eh Rif dapet salam dari salah satu anggota geng comel."
"Geng comel mana?" tanya Arif yang memang tidak tahu tentang geng rese di sekolahnya.
"Itu ... para cewe most wanted di sekolah," terang Adit.
"Siapa?" tanya Arif lagi. "Gue mana tahu, gue anak baru di sini."
Randra menghembuskan napas kasarnya. "Makanya jangan banyak bergaul dengan si cupu," ledeknya. "Itu lo kumpulan cewe-cewe pacar Sony."
"Owh. Senior yang kemarin membimbing MOS kita?" seru Arif.
"Yo'i," sahut Randra.
"Nah yang namanya Vera titip salam sama lo, orangnya cantik dan masih jomblo," tandas Aldi.
Vera. Arif mengingat-ingat yang mana. Namun sepertinya otaknya hanya berisi wajah Khanza. "Jadi mereka punya geng dan dinamakan geng comel." Ah bodoh amatlah, yang mana juga orangnya, pikir Arif.
"Iya. Jadi mereka itu adalah geng yang paling populer di sekolah ini dan di anggap anak-anak yang paling cantik karena banyak yang ngantri buat jadi pacar mereka, tapi ketua gengnya si Santi tentu saja sudah punya si Sony jagoan kita." Adit serasa ingin muntah memuji Sony.
"Boleh di coba daftar tuh Rand," suruh Arif karena biasanya Randra paling senang sama yang populer.
Randra pun merasa tertantang untuk mencoba mendekati salah satu dari geng centil. Dipikirnya kalau dia bisa mendekati mereka mungkin akan menambah karisma dirinya di sekolah.
"Kita taruhan gimana Rif?" tantang Randra.
"Apa?" Perasaan Arif menjadi tidak enak.
"Siapa yang lebih dulu berhasil pacaran sama salah satu anggota geng comel maka akan mendapat traktiran selama seminggu dikantin.
"Bisa di coba," balas Arif yang memang sedang butuh pengalihan perhatian sekaligus hiburan.
"Gue sama Adit bakalan jadi juri," tukas Aldi.
"Oke," setuju Randra.
Usai sepakat akan taruhan, mereka pun memasuki kelas masing-masing karena memang bel masuk sudah berbunyi dengan nyaring.
"Nanti istirahat kita ngumpul di kantin, gue bakalan ajak geng centil," ucap Adit.
"Sip." Randra mengacungkan jari jempolnya.
Berpisah Randra dan Arif memasuki kelas mereka secara bersama. Terus melangkah keduanya pun melewati meja Khanza. Beradu pandang dalam beberapa waktu, Arif sadar kalau sorot mata gadis cupu tersebut marah karena ulah ia dan kawan-kawannya tadi.
Maafin aku Za, ucap tulus hati Arif.
"Permisi gue mau duduk!"
Tatapan mereka terhenti saat Dea datang dan membikin keributan. Mendorong Randra yang menghalangi jalannya, gadis bar-bar itu pun mengomel dengan ocehan cemprengnya.
"Kalau berdiri jangan ngalangin jalan orang dong!"
"Woi! Sabar dong." Randra hampir saja terjerembab ke depan. "Nggak usah main dorong dorong bisakan?!" Randra balas nyolot karena tidak terima atas perlakuan Dea.
"Jalan lo lama, udah kaya siput. Jadi ya mesti di dorong." Sontak duduk tanpa rasa bersalah, Dea pun menaruh tas di atas meja.
"Dasar cewe bar-bar!" tegas Randra sambil balas mendorong bangku Dea.
"Apa lo Kadal?!" Dea sontak bangkit dan berkacak pinggang, tapi dengan cepat Khanza menariknya kembali untuk menghentikan perseteruan. Kalau tidak dicegah bisa sampai pulang tidak kelar tom jerry berantemnya.
"Kalian ini, kalau ketemu selalu saja berantem, kaya tom jerry aja," celetuk Khanza seraya menggelengkan kepala.
"Saling jatuh cinta baru tau rasa lo berdua," tambah Arif.
Randra dan Dea langsung saling pandang dan berucap bersamaan
"Ogah...!"
Arif hanya tertawa mendengarkan mereka dan langsung duduk di bangku belakang Khanza.
Khanza yang memang sudah berada di bangkunya pun hanya menghela napas dalam. Mengeluarkan buku, dia mulai terbiasa akan pertengkaran yang tidak ada habisnya tersebut.
"Selamat pagi anak-anak!" Seru seorang lelaki setengah baya.
"Selamat pagi Pak!" Serempak siswa dalam kelas tersebut pun menjawab.
Pelajaran pun dimulai karena Guru mata pelajaran Matematika sudah memasuki kelasnya. Randra dan Dea juga sudah duduk di bangkunya masing masing.
"Baiklah. Ketua Kelas tolong bantu kumpulkan PR matematika teman-teman kalian dan taruh di meja Bapak." Sang Guru menepuk sudut mejanya.
"Shit. Gue lupa," umpat Arif menepuk jidatnya.