Gara-gara kebanyakan main kemarin, gue sampai lupa ada PR lagi, batin Arif.
Semua anak-anak sudah mengumpulkan tugasnya. Tidak dengan Arif, karena dia lupa kalau ada PR hari ini. Kebingungan karena sudah diminta sang ketua kelas, lelaki tampan tersebut pun mencari alasan yang relevan.
"Rif mana PR lo?" tanya sang Ketua.
"Nggak ada," jawabnya santai. "Kayaknya buku gue ketinggalan deh di rumah, nanti pas istirahat gue ambil deh," bohongnya.
Menghela napas, sang ketua kelas pun mengumpulkan tugas para siswa kepada Guru matematika, dan pasti dia juga mengatakan kalau Arif sendiri yang tidak mengumpulkan PR tersebut.
"Arif mana tugas kamu? jangan bilang kamu tidak mengerjakannya!"
Shit. Kena 'kan? Sudah tahu Gurunya killer, pakai acara lupa lagi
"I ... itu Pak. A-anu, a-anu." Menjawab tergugu Arif sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Dia semakin bingung mau alasan apa.
"Anu-anu, anu apa!" Guru itu pun sudah mulai emosi karena ada murid yang tidak mengerjakan tugasnya.
"M-Maaf, Pak. S-Saya l-lu—"
"Maaf Pak. Ini buku PR Arif. Tadi saya menemukannya di taman. Mungkin tidak sengaja terjatuh," ucap Khanza meletakkan sebuah buku ke atas meja Arif.
Lelaki itu pun membulatkan mata, ia terkejut dengan pernyataan Khanza. Buku PR gue ada dalam tas dan belum dikerjakan sama sekali, mana bisa terjatuh di taman? batinnya.
Terdiam, Arif justru terpaku pada buku PR tersebut. Hingga ia pun kena bentak lagi oleh sang Guru.
"Ya sudah. Kumpulkan tugas kamu kedepan Rif," titah sang Guru yang diabaikan lelaki itu.
Apa mungkin Khanza yang buatin ya?
"Arif! Cepat kumpulkan PR kamu!"
"I-iya Pak!" Menyambar buku tersebut, Arif pun maju ke depan menyerahkan.
"Makanya lain kali jangan teledor lagi," pesan sang Bapak Guru.
"Ba-Baik Pak."
"Silakan duduk."
Kembali ke bangku, Arif yang melewati meja Khanza sejenak menatap gadis tersebut. Namun yang bersangkutan seolah biasa-biasa saja. Hingga ada banyak pertanyaan dalam benaknya.
Aku harus bicarakan ini nanti sama Khanza, pasti dia yang membuat PR itu.
Sambil memainkan bolpoin di tangan. Arif terus saja kepikiran. Melamun sepanjang pelajaran ada banyak bisikan mencetuskan ide bermacam-macam.
Sekalian aku harus minta maaf atas kejadian tadi, batin Arif.
***
Kring!
Bel istirahat berbunyi dan pelajaran pun terhenti.
"Baik anak-anak, nanti kita lanjutkan lagi belajarnya." Sang Guru pun pamit keluar.
"Rif gue ke kamar mandi dulu ya? Lo duluan saja nyamperin anak-anak." Randra langsung ambil langkah seribu keluar, sepertinya dia sudah kebelet sekali.
Arif menarik napas, pandangannya tak pernah lepas dari gadis cupu di depan. Gue harus bicara sekarang, tapi masih ada Dea di samping Khanza, batinnya.
"Ayo Za kita ke kantin," ajak Dea.
"Ayo."
Gagal sudah rencana Arif. Khanza keluar bersamaan dengan Dea.
"Argh! Dia pasti marah sama gue." Kesal sekali ia pada dirinya sendiri.
***
Aku mendefinisikan hubungan pertemanan tulus memberi, tak tahu entah dia sampai mana mengerti. Yang pasti aku fokus pada diriku yang harus tulus tanpa mengharap pamrih sedikit pun. Khanza Arisha.
Beramai-ramai anak-anak mengerubuni kantin karena merasa tenaga mereka perlu di isi lagi. Terkuras saat belajar hingga perut pun meronta dan tenggorokan kering meminta disegarkan.
"Lo pesan apa Za?" tanya Dea.
"Biasa aja De."
Memesan dua porsi Bakso dan jus jeruk, Khanza dan Dea segera membawa makanan mereka ke salah satu meja. Segera mengeksekusi karena mereka memang sudah sangat lapar dan haus. Tertawa bersama dan bercanda bersama, tanpa menghiraukan sekitar seperti apa. Namun kenyamanan mereka terganggu begitu saja ketika ada yang menggebrak meja.
Brak!
Terlonjak kaget, Khanza dan Dea pun menghentikan makan mereka.
"Eh centil! Jangan sok kecantikan deh lo!"
Ternyata para geng comel datang. Ada masalah apa lagi mereka hingga melabrak Khanza dan Dea.
"Eh Bar-bar! Lo! Sudah berapa kali kita peringatkan jangan ganggu pacar gue, kenapa masih saja nelpon-nelpon! Mau cari mati lo!" murka Santi.
"Apa maksud Kakak ya?" Khanza bertanya dengan bingung kenapa mereka datang langsung marah-marah.
"Eh cupu! gue nggak ada urusan sama lo! jadi lo diam. Gue mau bikin perhitungan sama teman lo yang so kecantikan!" Menunjuk muka Dea. Santi terlihat begitu emosi, sedangkan yang lain cuma menonton tetapi selalu siap jika mereka dibutuhkan.
Dea mengernyit heran kenapa dia lagi yang menjadi sasaran. Sontak ia pun angkat bicara, "Maksud Kakak apa ya? siapa yang nelpon pacar Kakak?"
"Jangan pura-pura tidak tau deh lo? lo kan yang nelpon Sony?" Mendorong bahu Dea sampai mundur kebelakang.
"Santai Kak! kita bicarakan dulu baik-baik, jangan ada kekerasan." Khanza tidak bisa diam jika sudah ada kekerasan, ia pun mencoba menenangkan dua orang yang sedang bersitegang didepan.
"Diam lo!" bentak Santi pada Khanza.
"Cupu jangan ikut campur," tegur Zia.
"Atau lo mau kena masalah juga," imbuh Vera.
Terdiam Khanza pun akan siap jadi tameng buat Dea kalau para geng comel bertindak yang tidak-tidak.
"Asal Kakak tahu, pacar Kakak yang so gentengan itu yang nelpon duluan. Saya juga tidak tahu dia mendapatkan nomer saya dimana?" Dea berucap dengan santainya karena merasa memang dia tidak bersalah.
"Emang gue percaya sama lo? Bukannya dari kemarin lo yang memang kecentilan mendekati semua lelaki di sekolah ini?" remeh Santi.
"Terserah Kakak kalau nggak percaya. Yang jelas ini saya ada buktinya." Dea memberikan ponselnya dan mempelihatkan daftar panggilan.
"Cek saja, siapa yang menelpon lebih dulu."
Santi sontak merebut dan mencek ponsel Dea. Ternyata memang benar ada berkali-kali panggilan tidak terjawab dari Sony dan beberapa chat yang tidak dibalas sama sekali oleh Dea.
"Bukan maksud ikut campur ya Kak, tapi Kakak sudah percaya 'kan? Sebaiknya untuk lebih jelasnya Kakak juga cek ponsel pacar Kakak," saran Khanza.
"Diam lo cupu!" omel Amel.
Menyerahkan ponsel Dea, Santi tidak bisa lagi berkata-kata. Lantas ia pun berlalu dengan sengaja menyenggol bahu sang rival. Namun beberapa langkah dia kembali berbalik dan menyorot tajam dua siswa baru tersebut. "Tapi ingat! Kalian berdua jangan harap lepas dari pantauan kami!" ancam Santi.
Anggota Geng comel satu persatu menyusul Santi pergi. Mengabaikan tatapan para penghuni kantin, mereka sudah biasa menjadi tontonan di sekolahnya.
Khanza dan Dea saling pandang dan hanya bisa geleng-geleng kepala. Ada-ada saja masalah mereka. Bernapas lega, tapi satu yang dapat mereka simpulkan saat ini. Dibenci oleh para Kakak kelas yang populer.
Tak mau jauh ambil pusing. Mereka kembali duduk dan melanjutkan makan. "Sepertinya kita akan terus bermasalah sama mereka Za," ujar Dea.
"Tidak usah takut De, selama kita tidak bersalah dan kita yang memulai masalah untuk apa dipikirkan. Toh mereka akan malu sendiri seperti tadi."
Memang betul ucapan Khanza. Mereka akhirnya malu sendiri karena tuduhan mereka tidak terbukti.