Detik berganti menit dan menit pun telah beralih pada jam. Tanpa terasa matahari semakin lengser ke ufuk barat. Kini sore telah menyapa seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpi indahnya.
Tok-tok-tok!
"Za!"
"Khanza!"
"Tidak ada jawaban, apa anak itu sedang tidur ya?" Sekali lagi sang Mama mencoba mengetuk pintu.
Sudah hampir dua jam Khanza tertidur. Tidak akan terbangun kalau bukan karena sebuah ketukan di pintu. Mengerjapkan mata, samar-samar ia mendengar suara sang Mama.
"Za.... Bangun sudah sore!" Mama Khanza yang berteriak dari luar kamar mencoba membangunkan sang anak.
"Iya, Ma. Khanza udah bangun," sahutnya dengan suara khas orang bangun tidur.
"Segera turun dan bantuin Mama ya?!"
"Iya Ma!"
Khanza baru tersadar bahwa dia tidur dengan masih mendekap ponsel. "Arif," gumamnya seraya tersenyum sendiri, lalu ia pun beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Masih menggunakan pakaian santai rumahan, gadis cupu tersebut turun untuk membantu ibunya dan sang Bibi memasak buat makan malam nanti.
"Za, Mama butuh beberapa bahan masakan nih, kamu mau 'kan beliin ke mini market di depan komplek."
"Oke Ma, tapi pakai motor ya?" Mengedipkan sebelah mata, Khanza memberikan wajah memelasnya.
"Kamu masih belum boleh pakai motor Za," tegas sang Mama. "Ingat, ini Jakarta kita baru pindah ke sini."
Memanyunkan bibir, gadis cupu itu pun berbalik pergi. "Iya ... iya Khanza minta antar Pak Usup saja," pasrahnya penuh kecewa.
"Eh tunggu dulu," cegah sang Mama.
"Apa lagi Ma." Khanza nampak tak semangat dan terpaksa.
"Ini daftar belanja dan uangnya. Atau kamu tak perlu ini semua." Sang Mama menaik-turunkan alisnya.
"Eits. Jelas perlu lah." Merebut sebuah kertas dan beberapa lembar uang dari sang Mama, Khanza pun pamit. Namun sebelum ia pergi, tentu ia mengambil tas, kaca mata, dan jaket sweater dulu ke kamarnya.
"Ma! Khanza pergi ya?!"
"Iya! Jangan lama ya? Mama perlu cepat!"
"Iya."
Bersama Pak Sopir, Khanza pergi membeli bahan-bahan yang diminta sang Mama. Namun saat ia sampai di depan komplek, yang dicari malah kosong. Terpaksa ia dan Pak Usup ke supermarket di tengah kota. Kini mobil membelah jalan raya dan macet pun menghadang di depan sana.
Tin-tin!
Tin!
Bunyi klakson bersahutan satu sama lain sebab saat ini memang sudah jamnya pulang kantor jadi jalanan terlihat ramai dan padat.
"Macet banget ya Pak?" tanya Khanza.
"Iya Non. Beginilah Jakarta kalau hari kerja."
"Ya sudah. Pelan saja Pak."
Dari pada pusing, Khanza memilih memasang earphone pada telinga. Menyalakan lagu pada ponsel, dia pun menghubungkan dua benda itu satu sama lain. Siapa sangka baru setengah perjalanan tiba-tiba mobil yang ditumpangi gadis cupu tersebut sedikit oleng.
"Kenapa mobilnya Pak?" selidik Khanza.
"Nggak tahu Non, kemungkinan bannya kempes." Mang Usup pun menepikan mobil dan mencek ada kesalahan apa.
"Sial. Ternyata benar bannya kempes." Dan lebih sial lagi, Mang Usup lupa membawa ban serep. Mengetuk pintu di samping Khanza, ia pun memberitahukan pada sang anak majikan tentang ihwal yang sedang terjadi.
"Yah. Gimana dong Pak?" Khanza turut turun, melihat benda karet yang kehabisan angin tersebut, ia pun mendengkus dengan kasar.
Mang Usup mengedarkan pandangan, ada sebuah warung kecil di seberang jalan. "Sebentar ya Non, Bapak ke sana dulu. Mau tanya bengkel terdekat di sini ada di mana."
Khanza mengangguk. Lalu membiarkan sang Sopir menyeberang jalan. Sembari menunggu, dia pun menggerutu kesal seraya menendang-nendang benda bulat tersebut. "Bisa diomelin Mama sampai rumah nih. Dasar ban sialan."
"Kenapa Za?"
Terperanjat kaget, Khanza tidak menyadari kalau ada orang yang mendekati dirinya. Menganga lebar, dia seolah tidak percaya dengan sosok yang menjulang tinggi di depannya.
"Za.... Hallo?" Arif melambaikan tangan tepat di muka gadis cupu tersebut. Mencoba menyadarkan Khanza dari rasa bengongnya.
"Eh, A-Arif." Linglung, Khanza menoleh ke kiri ke kanan. Satu pertanyaan, dari mana datangnya ini orang?
"Ada masalah Za?" selidik Arif sekali lagi.
"Em i-itu ... eh i-ini b-ban mobilku bocor," terangnya tergugu. Jangan ditanya bagaimana degup jantung Khanza saat ini, apa lagi saat Arif justru menawarkan bantuan untuknya.
"Oh. Sini biar aku bantu, kamu ada ban serep nggak?"
Yang di tanya malah sibuk menyeka keringat di dahinya. Gila. Nggak nyangka aku bisa ketemu dia di sini, batin Khanza.
"Za? Kamu ada ban serep?" ulang Arif.
"Ah i-itu ...."
"Mohon maaf Den. Kebetulan kita nggak bawa ban serep." Mang Usup datang dan langsung menjawab pertanyaan pemuda tersebut, dia sudah mengenali Arif, semenjak tadi menjemput sang anak majikan di sekolah barunya.
"Yah ... terus gimana dong Pak? Mana di dekat sini nggak ada bengkel lagi." Arif memikirkan gimana caranya membantu Khanza.
"Iya Den. Saya juga baru tanya tadi, katanya bengkel sangat jauh dari sini."
"Terus Khanza gimana Pak? Mana belanjaan Mama belum Khanza beli lagi." Pusing dah kepala gadis cupu tersebut.
"Gimana ya Non. Apa Non mau Bapak pesanin taksi saja?" usul sang Sopir. Soalnya kalau menunggu dia, pasti akan lama.
"Gini aja dech Za. Gimana kalo kamu ikut aku saja, biar aku antar pakai motor." Arif mencoba menawarkan tumpangan.
"Terus Pak Usup gimana?" Khanza justru mengkhawatirkan sang sopir.
"Non jangan mikirin Bapak. Nanti Bapak dorong mobil ini sampai bengkel. Yang penting Non dulu deh." Mang Usup mengulas senyum meyakinkan sang anak majikan.
"Biar Arif telponin bengkel Pak." Mengeluarkan benda pipihnya, pemuda tampan tersebut menghubungi seseorang dan meminta jasanya untuk segera memperbaiki mobil Khanza. "Sudah Pak. Bapak tunggu saja di sini, nanti mereka akan datang kok."
"Terima kasih Den," tutur tulus sang Sopir.
"Sama-sama." Beralih ke Khanza yang masih ragu, Arif pun mengulas senyum tipis. "Gimana Za, mau 'kan aku antar?"
"Em ...." Khanza menatap Arif dengan seksama. "Baiklah. Sebentar, aku ambil tasku dulu di dalam mobil."
Menerima tawaran Arif karena tidak ada pilihan lain. Dia juga senang pasti, diboncengin orang yang seharian ini menyita perhatiannya. Untung gue tadi pakai celana, gumamnya dalam hati.
Naik ke atas motor, Arif pun menyerahkan sebuah helm pada Khanza. "Kamu mau langsung pulang?" tanyanya lembut.
"Tadi sih aku mau membeli bahan makanan disuruh Mama, tapi ... Nggak jadi dech. kita balik aja," tandas Khanza.
"Loh kenapa balik? biar aku anterin beli bahan makanan dulu, baru aku antar kamu pulang. Kasian 'kan Mama kamu sudah mengharap pesanannya ada."
"Tapi Rif, nanti ngerepotin kamu," sungkan Khanza.
"Sudahlah Za. Nggak ada merepotkan untuk sebuah hubungan pertemanan."
Ckck. Kebaikan Arif benar-benar menyentuh hati seorang gadis introvert seperti Khanza.
"Ya sudahlah kalau kamu tidak merasa direpotkan." Mengulas senyum, gadis manis itu pun naik ke jok belakang. "Terimakasih ya Rif?" ucapnya tulus.
"Sama-sama Za. Ayo kita berangkat."
Memastikan Khanza sudah duduk tenang, Arif pun mulai melajukan kuda besi kesayangannya. Menuju supermarket di tengah kota, ia lantas memarkirkan motor dan menemani Khanza masuk ke dalam. Berjalan beriringan berdua seperti sepasang kekasih pada umumnya.
"Mau beli apa?" tanya Arif.
"Ini." Khanza memperlihatkan daftar belanja dari sang Mama.
"Sebelah sana." Arif menggandeng tangan Khanza, memilah bahan-bahan makanan. Mereka tak menyadari ada banyak tatapan mata yang memerhatikan mereka.
Setelah mendapatkan apa yang mereka cari. Arif dan Khanza sempat berdebat akan pembayaran di kasir. Terpaksa mengalah, satu yang Khanza dapat kaji dari teman barunya. "Dasar keras kepala," sindirnya.
"Emang," balas Arif tanpa tersinggung.
Meninggalkan pusat perbelanjaan, mereka pun memutuskan pulang ke rumah Khanza.
"Ayo masuk dulu Rif," suruh Khanza saat mereka sudah berhasil memasuki halaman bangunan mewah tersebut.
"Em ...." Belum sempat menjawab, dua orang paruh baya menyita perhatiannya.
"Khanza," ujar keduanya.