Chereads / Obsession In Love / Chapter 16 - Denting Jam Sebelas Malam

Chapter 16 - Denting Jam Sebelas Malam

Sesi makan malam penuh drama telah selesai. Semua orang lanjut berkumpul di ruangan keluarga. Memutar pergelelangan tangan, Arif melihat jam hitam yang melingkar rapi di sana. Sudah jam delapan, aku harus pulang, ucapnya dalam hati.

Izin pamit dengan keluarga Khanza, dia bersyukur bisa mendapatkan momen berharga yang tidak ia dapati di dalam keluarganya.

"Om, Tante, Kak Zay, Kak sisi. Arif pulang dulu, terimakasih atas jamuan makan malamnya," pamit Arif sembari menyalami empat orang yang lebih tua darinya.

"Kami yang sangat berterimakasih karena Nak Arif sudah mau menolong dan mengantar Khanza pulang kerumah," tutur Papa Khanza.

"Sering-sering main kesini Nak Arif," ucap Mama Khanza menambahkan.

"Baik Tante, nanti bakalan sering mampir."

Mengulas senyum, kini dia beralih pada Kakak lelaki Khanza.

"Nanti kita main Play Station bareng," ajak Zay.

"Siap Kak." Dia seperti mendapat Kakak lelaki yang dari dulu dia ingini. Asik dan rame kalau berkumpul, bisa diajak sharing tentang apa pun juga.

"Hati-hati di jalan," pesan Sisi—istri dari si jahil Zay.

"Ayo aku antar ke depan?" tawar Khanza.

Mengantarkan Arif sampai depan rumahnya. Khanza tetap masih deg-degan tak karuan rasa kalau berdekatan dengan tubuh tegap tetsebut.

"Thanks atas semuanya," tutur Khanza saat mereka sudah berada di samping motor merah besar kepunyaan Arif.

"Kenapa terimaksih terus sih dari tadi," protes Arif seraya mencolek hidung mancung si gadis cupu. Ia merasa Khanza dan keluarganya terlalu berlebihan menganggap bantuan yang tak seberapa.

Khanza sontak tersenyum malu mendapat perlakuan seperti itu. "Iya deh iya. Nggak terimakasih lagi," ralatnya.

"Nah gitu dong. Ingat ya Za, dalam pertemanan itu wajar kalau kita saling bantu." Menyambar helm di atas kuda besi, ia pun memasangkannya ke kepala.

"Aku pulang dulu ya Za?" pamit Arif.

Khanza mengangguk. "Hati-hati," pesannya.

"Hm. Selamat malam," ucapnya.

Arif pamit dengan senyuman yang begitu manis, membuat jantung Khanza ingin melompat dari tempatnya. Kalau gini terus bisa-bisa aku gagal membentengi diri untuk tidak jatuh hati sebelum waktunya, batin Khanza.

Memutar gas, pemuda tampan tersebut pun mulai meninggalkan halaman rumah Khanza.

"Hati-hati di jalan ya, Rif?! sampai jumpa besok!" teriak Khanza pada motor yang mulai melaju tersebut.

Arif sedikit memutar tubuh ke belakang. Hanya menjawab dengan acungan jempol, Khanza juga tidak akan mendengar akibat knalpot bisingnya.

Melambaikan tangan, Khanza pun terus menunggu sang teman menghilang dari pandangan. Barulah ia memasuki rumah dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Langsung pamit ke kamar, Khanza pun beralasan ingin belajar.

Benang merah dari pagi ia bentang lagi. Akibat kecelakaan ia bertemu dengan Arif yang ternyata juga siswa baru di sekolahnya. Dibantu menunggu jemputan hingga dari sana mereka memutuskan berteman. Bertukar nomor ponsel, menjadikan mereka semakin akrab dalam berhubungan. Dan tanpa disangka sore hari mereka berbocengan dan masih berlanjut sampai makan malam.

"Bolehkan aku mengaggumi sosoknya?" gumam Khanza. "Jarang-jarang lo ada lelaki yang baik sama cewe tanpa pandang bulu seperti dia."

Selama ini Khanza selalu mendapat Bullyan para lelaki atas penampilannya. Hanya beberapa yang mau berteman tulus, itu pun mereka yang sudah tahu penampilan asli Khanza seperti apa.

Hari ini semuanya terjadi begitu saja, tanpa diduga ataupun bisa diterka-terka. Menghempaskan tubuh ke atas ranjang, si gadis cupu masih sibuk berlayar dalam lamunannya.

Arif pun tidak menyangka kalau dia bisa sampai bertemu dan makan malam di rumah Khanza. Tadinya dia mau menghilangkan pikiran tentang si gadis cupu yang terus menari-nari dalam benaknya, eh ternyata malah bertemu dengan orangnya dan makan malam bersama. Khanza semakin mengganggu ingatan Arif, membuatnya tak konsentrasi dalam mengendarai motor.

Cit!

"Sial! Hampir saja gue nabrak kucing," umpatnya.

Melajukan lagi motornya, susah payah Arif menghilangkan bayangan Khanza. "Kenapa gue terus ke pikiran si gadis cupu itu?"

***

Membolak-balikan badan sudah jam sebelas malam mata Khanza enggan terpejam. Tak sabar menunggu pagi, ia ingin sekali menatap wajah lelaki yang kini ia kagumi.

"Please Za. Jangan gini, lo mesti ingat sama tujuan lo sekolah. Cita-cita bukan prahara cinta."

Memaksa menutup mata, bayangan Arif semakin jelas berada di sana. Senyumnya, tawanya, bahkan tangan jahil yang mencolek hidungnya.

"Arghhh!" Terduduk, Khanza pun meraih ponsel di nakas. "Lebih baik aku main game, biar nggak mikirin Arif terus."

Terjadi tembak menembak di dalam benda canggih yang di pegang Khanza. Sesekali berteriak, mengumpat, dan bersorak. Akhirnya gadis itu melupakan sedikit risau dalam hatinya.

***

Pemandangan berbeda justru terlihat dalam kamar besar bernuansa hitam. Arif sudah jauh sekali berlayar ke alam mimpi. Namun bayangan Khanza masih saja mengikuti.

"Khanza."

"Khanza."

"Khanza!" jeritnya yang sontak terbangun.

Mengusap kasar wajah, Arif pun menetralkan napasnya yang tersengal. "Gila kenapa gue sampai memimpikan gadis cupu itu?"

Menggelengkan kepala, Arif pun beringsut turun dari ranjangnya. Menuju kamar mandi, ia segera mencuci muka untuk menyegarkan diri. Menatap kaca di depan wastafel, dia melihat bayangan diri yang berantakan akibat mimpi.

"Nggak mungkin gue jatuh cinta sama gadis cupu itu," ucapnya.

Cinta hadir tanpa pandang bulu Rif. Bisa saja sejak awal bertemu dewa asmara sudah menaruh cinta itu di hati kamu.

Bisikan dari dalam dirinya membuat pemuda itu semakin galau dengan perang batinnya. "Argh. Bisa gila gue kalau terus begini."

Keluar dari kamar mandi, Arif memeriksa ponsel di nakas. Mengulas senyum ada beberapa panggilan tidak terjawab dari sang Bunda.

"Bunda sudah tidur belum ya?"

Menelpon ulang wanita yang telah susah payah melahirkannya tersebut. Arif pun menghela napas kala matanya melirik jam di dinding.

"Sudah jam sebelas. Berarti di Kalimantan sudah jam dua belas."

"Mungkin Bunda sudah tidur," kecewanya.

Namun sebelum ia mematikan sambungan, ternyata sang Bunda menjawab telponnya. Sontak senyum sumringah pun tercetak di sela bibirnya.

"Bunda," sapa Arif riang.

"Anak Bunda. Gimana kabar kamu Nak? Bunda kangen sama Arif." Nada bergetar di seberang sana membuat Arif terharu.

"Baik Bunda. Bunda sama Ayah gimana? Baik juga 'kan? Sehat 'kan Bund? Arif juga kangen Bund."

Seperti apa pun sifat sang anak. Mereka akan selalu crewet jika sudah berhadapan dengan orang tuanya. Termasuk Arif, walau pun lelaki yang tangguh, dia tetap manja dengan dua orang tuanya.

"Sabar ya Nak. Sebentar lagi Bunda sama Ayah juga akan balik ke Jakarta." Itu hanyalah sebuah kata penenang saja, nyatanya kerjaan sang Ayah masih banyak menunggu di sana.

"Ayah mana Bund?" Arif tak menanggapi itu karena ia tahu itu mustahil terjadi. Sebentar kata Bunda, nyatanya bukan sehari dua hari saja. Mungkin dua atau beberapa bulan lagi mereka di sana.

"Ayah nginap di kantor Nak. Dia lembur."

Dengkusan kasar pun keluar dari sela bibir Arif. Seperti itulah realitanya. Keluarganya terlalu tergantung pada harta, hingga mengabaikan dirinya.

Andai keluargaku sehangat keluarga Khanza, batinnya.

Dan gadis cupu pun kembali masuk ke dalam ingatan. Melanjutkan sesi obrolan dengan sang Bunda, hanya cara itu menjadi alternatif silaturahmi untuk mereka. Setidaknya rasa rindu akan sedikit berkurang pada hati keduanya.

"Gimana sekolahnya Nak? Sudah menemukan gadis baik-baik bukan? Ingat pesan Bunda Rif, jangan pandang rupa yang penting baik hatinya."

Degh!

Ucapan sang Bunda menyentil ginjal Arif. Apa ini pertanda lampu hijau untuk sebuah rasa yang ia tampik untuk Khanza?

Lihatlah nanti bagaimana akhirnya.

Happy reading!