Bel masuk berbunyi. Para siswa yang masih di luar maupun di kantin berbondong-bondong menuju kelasnya masing-masing. Begitu pula dengan para murid baru, mereka juga diminta berkumpul di aula.
"Berhubung cuaca di luar sangat panas, jadi kita lakukan kegiatan MOS-nya di sini saja."
Para siswa baru itu pun di minta bergotong royong membersihkan ruangan besar tersebut. Khanza dan Arif kebetulan kebagian membersihkan kaca. Sementara Dea dan Randra kebagian menyapu lantai.
Bermodal sebuah lap kecil dan seember air, Khanza dan Arif berbagi tugas lagi. "Kamu lap bagian luarnya. Aku bagian dalam ya?" atur gadis cupu tersebut.
Arif mengangguk. Mulai mengepel, dia fokus akan kerjaannya sendiri, tidak peduli dengan sekitar yang penuh riuh. Khanza pun sama, terus menaik-turunkan lap di kaca satu dan yang lainnya. Hingga tanpa kedua anak manusia itu sadari mereka kini berhadapan pada posisi luar dan dalam.
Dup-dup-dup!
Degup jantung keduanya pun bersahutan satu sama lainnya. Saling mengunci tatapan, tangan Arif maupun Khanza tetap bermain seirama di terangnya kaca.
Kabut sunyi menyapa hati, dalam diam merangkak sebuah perasaan yang tidak aku kenali. Entah itu cinta atau hanya sebatas mengagumi, yang jelas aku hanya perlu menjalani. Tujuanku ke sini bukan untuk mencari cinta sejati, tetapi membentuk sebuah jati diri. -Khanza Arisha.
Semakin ke sini maka semakin yakin diri ini. Khanza seorang gadis langka yang berbeda dari lainnya. Aku tertarik untuk menjadi teman dekat dan mengorek rahasia tersembunyi. -Arif Saputra Wijaya.
***
Pemandangan berbeda terlihat dari dua anak manusia di pojokan aula.
"Lo sapu bagian sana dong," suruh Dea. "Yang ini 'kan sudah," omelnya.
"Lo nggak lihat ini masih banyak debunya?" Randra justru mendebat teman barunya tersebut.
"Itu sudah bersih kadal, yang sana tuh masih banyak debunya." Dea menunjuk pojok sebelahnya.
"Lo sapu sana, dasar cewek bar-bar," titah Randra.
"Eh ... ini sudah bagian gue. Lo yang sapu sana. Cowok kadal!"
"Bar-bar!"
"Kadal!"
"Bar-bar!"
"Kadal!"
"Bar-bar!"
Dea membanting sapu lalu berkacak pinggang. Menatap tajam Randra, dia pun sontak mendekat dan menjewer telinga lelaki itu.
"Aaaa! Sakit!" jerit Randra.
Rasa panas menjalar sampai ke ubun-ubun. "Lepas! Sakit!" pekiknya.
"Nggak!" Dea malah semakin mencapitkan tangannya.
"Ampun!" Pancaran binar bening samar-samar terlihat dari sudut mata Randra. "Please lepas." Menangkupkan kedua telapak tangan, lelaki tak kalah tampan dari Arif itu pun memasang wajah memelas.
Segalak-galaknya Dea, rupanya dia juga punya sisi tidak tega. Melepas kasar daun telinga Randra ia pun meraih kembali sapunya.
Mengusap kuping yang memerah serta masih terasa panas, lelaki itu sesekali terdengar meringis. "Dasar bar-bar!" Oh Randra, nggak kapok apa?
Tuh 'kan Dea kembali berbalik dengan wajah garang. Namun secepat kilat dia pergi bersama sapu ke pojokan sebelahnya.
"Gila. Itu cewek galak banget," gumamnya sendiri. Mengedarkan pandangan, Randra tanpa sengaja mendapati pemandangan tak lazim.
"Arif sama si cupu?" Memutar otak, dia menemukan ide jahil.
Randra mengulas senyum miring kala memungut sebuah kertas bergumpal di lantai. "satu, dua, tiga." Mengayunkan benda tersebut ke arah Khanza, dia pun menggelegar tertawa kala si gadis cupu terperanjat kaget.
"Mampus lo!" ujarnya.
***
Khanza mengelus dada. Kain pel di tangan terlempar entah kemana. Hampir saja dia juga menjerit saking kagetnya. Randra benar-benar keterlaluan, untunglah dia tidak jantungan. Menatap tajam lelaki itu, dia pun menghela napas berat kala melihat Randra justru terpingkal dengan tawa.
"Randra." Arif pun ikut geram, pasalnya dia juga kaget akibat ulah sang sahabat. "Jahilnya keterlaluan." Menggelengkan kepala, ia pun memilih melanjutkan pekerjaannya.
Khanza memilih tidak meladeni si jahil. Mengambil lagi lap yang tergeletak di lantai, ia juga segera melanjutkan pekerjaan.
Ini pasti gara-gara aku terlalu larut bersitatap dengan Arif.
Tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Si cupu pun memilih menunduk saja sampai pekerjaannya selesai.
"Akhirnya selesai juga," seru Dea seraya menyeka keringat pada dahi. Menoleh pada Randra, lantas matanya pun membulat sempurna. "Astaga si kadal. Bukannya nyapu dia malah asik ngerayu cewe. Dasar buaya cap kadal buntung."
Memantapkan tangan menggenggam gagang sapu, Dea pun melangkah lebar ke arah rival barunya tersebut.
"Dasar cowok kadal!" marahnya.
Bugh-bugh-bugh!
Sapu melayang beberapa kali tubuh Randra. "Au-au-au!" Sontak lelaki itu pun meringis nyaring.
Bugh-bugh-bugh!
"Dasar buaya cap kadal buntung! Bukannya nyapu malah ngerayu cewe!" omel Dea yang terus menerus menyiksa Randra.
"Ampun bar. Sakit!" Sekencang apa pun dia teriak maka pukulan sapu semakin ganas menyentuh tubuhnya. "Argh!"
Ckck. Dea udah kaya the power emak saja. Mengabaikan tontonan para teman-teman satu kelas, gadis itu malah melanjutkan dengan jeweran telinga.
"Au! Ampun bar! Kuping gue masih sakit!" Rasa panas yang tadi sudah mereda kembali datang pada cuping telinga. Kasian sekali nasib Randra.
"Rif tolongin gue, ini cewe saiko," rintih Randra.
Khanza dan Arif segera mendekat pada asal keributan. Memisahkan kedua temannya tersebut, mereka menarik masing-masing sahabat mereka.
"De sudah. Malu dilihatin orang," tegur Khanza.
"Biarin!" lawan Dea.
"Mampus lo Rand, lagian kenapa suka banget gangguin dia sih," celetuk Arif.
"Gue nggak gangguin dia. Dianya saja yang memang bar-bar tak terkira." Menetralkan napas, Randra mengusap telinga serta pahanya. "Gila! Sakit banget lagi," adu lelaki itu.
"Dasar cewe bar-bar! Sakit jiwa!" katanya.
"Apa lo?! Mau lagi?!" tantang Dea pada sang Rival. Menggulung lengan baju, gadis seksi itu pun melangkah maju.
Secepat kilat Khanza menahan sang sahabat "Sudah De, ayo kita pergi saja," ajaknya.
Kring!
Dan untungnya bertepatan saat itu bel pulang sekolah berbunyi. Berhamburan ke kelas, akhirnya tugas mereka membersihkan aula selesai juga.
Khanza merapikan buku dan alat tulisnya. Keluar berbarengan dengan Dea, mereka pun menuju halaman sekolah.
"Itu jemputan aku sudah datang. Aku duluan ya Za." Dea yang sudah dijemput oleh supirnya pamit pulang duluan. Sekarang tinggal Khanza yang berdiri menunggu sang Sopir di depan sekolah, tanpa dia sadari ada seseorang yang dari tadi memperhatikannya dari jauh.
"Pak Usup kemana sih? Kok lama banget."
Sekolah semakin sepi, satu persatu anak-anak pulang dengan jemputan maupun kendaraannya sendiri. Menghela napas, Khanza pun merogoh tas. "Sial! Ponsel aku habis batrai lagi," umpatnya.
Memanyunkan bibir, dia pun terpaksa menunggu sampai sang Sopir datang menjemput. Namun siapa sangka, sebuah motor semakin mendekat hingga terparkir di depannya.
Siapa dia? Bertanya-tanya dalam hati, Khanza pun menyiagakan diri.
Seorang lelaki berjaket kulit hitam menunggangi motor tersebut. Mematikan mesin, dia pun membuka helm.
"Hai," sapanya seraya mengulas senyum lembut.
Mata Khanza berkedip beberapa kali. Sama sekali tidak menyangka kalau lelaki tersebut berada tepat di depan dirinya.