"Khanza."
Bugh!
Untunglah Arif sempat menangkap tubuh gadis cupu tersebut. Hingga kepalanya tidak terbentur pada ubin.
"Za, Khanza." Menepuk pipi si gadis cupu, lelaki tampan tersebut pun tidak mendapatkan respon sama sekali. "Dia pingsan," ucapnya.
Sontak menyelipkan tangan ke bawah lutut dan kepala Khanza, Arif pun menggendong gadis mungil tersebut.
"Khanza," kaget Dea yang baru datang menghampiri. "Kenapa dia?" selidiknya khawatir.
"Gue tidak tahu, gue cuma lihat dia jatuh jadi."
"Kita bawa dia ke UKS," cetus Dea.
Arif mengangguk dan bergegas membawa tubuh mungil tersebut ke unit kesehatan sekolah. Menerobos masuk, ia pun membuat kaget petugas jaga di sana.
"Dia kenapa?" tanya sang petugas. "Cepat baringkan," titahnya.
"Dia pingsan Bu," sahut Dea.
Arif membaringkan tubuh Khanza dengan pelan. Mundur beberapa langkah, ia membiarkan petugas kesehatan memeriksa gadis itu.
"Kalian anak baru?" tanya sang petugas.
"Iya Bu," jawab Arif.
"Dan teman saya ini pingsan, setelah mengikuti kegiatan MOS tadi." Dengkusan kasar keluar dari sela bibir Dea. Meskipun dia tidak tahu pasti hal yang dialami Khanza, tapi dia bisa menebak kalau gadis cupu itu juga pasti mengalami hal yang tidak jauh darinya.
Mengulas senyum, sang petugas pun sudah selesai memeriksa. "Dia tidak apa-apa, hanya kelelahan saja," jelasnya. "Sebentar lagi pasti sadar."
Menciumkan minyak aroma terapi pada hidung Khanza, wanita yang masih ditaskir muda itu pun mengoleskan pada pelipis si gadis cupu.
Benar saja, tak berselang lama Khanza pun mengerjapkan mata. "S-Saya d-di m-mana?" Memegang kepala, ia pun memaksa bangun.
"Jangan di paksa, berbaring saja," suruh sang pengawas.
"Kamu ada di UKS Za, tadi kamu pingsan di lapangan dan Arif membawa kamu ke sini," sembur Dea.
Netra mata coklat itu pun sontak menatap lelaki yang berdiri tidak jauh dari samping ranjangnya. Jangan bilang dia gendong aku sampai sini.
"Ya sudah. Saya tinggal dulu," ucap sang pengawas.
"Terima kasih, Bu," tutur Khanza lembut.
"Sama-sama." Sang Pengawas melenggang pergi untuk kembali berjaga di depan.
Tinggallah tiga siswa baru tersebut di dalam sana. Sesekali Khanza mencuri pandang dengan Arif. "T-Terima k-kasih k-kamu s-sudah b-bawa a-aku k-ke sini." Entah mengapa Khanza selalu merasa gugup kalau berbicara dengan lelaki tampan yang baru dikenalnya tersebut, apalagi kalau Arif juga menatap dirinya, maka kenalah mentalnya.
Arif hanya mengangguk tanpa sepatah kata. Bahkan setelahnya dia keluar tanpa izin permisi pada dua gadis tersebut.
"Aneh itu orang. Pergi tanpa pamit," komentar Dea.
Khanza hanya menghela napas seraya menatap punggung lelaki tersebut. Apa aku merepotkan dia ya? Perasaan tidak enak pun sontak bergelayut manja dalam batin.
"Eh Za. Lo dihukum berat ya sama mereka? Sampai lo pingsan, sialan banget 'kan?" Rasanya Dea ingin sekali membalas perlakukan tidak terpuji dari Kakak kelasnya. Namun apalah daya, mereka hanya anak baru di sekolah ini.
"Mungkin memang seperti itu aturan MOS di sini, De." Khanza mencoba berpikir positif saja. Biar kelak tak jadi beban dendam dalam hati.
Memanyunkan bibir, rasanya tetap saja janggal bagi Dea, tapi ya sudahlah, abaikan saja.
Selang beberapa waktu Arif kembali. Membawa sekantong plastik kresek, ia pun menyerahkan dua botol air minum untuk Khanza dan Dea.
"Ini untuk kalian, minumlah," suruhnya.
"Terima kasih. Ternyata lo baik juga orangnya," puji Dea. Tanpa sungkan, gadis molek tersebut membuka penutup botol dan langsung membasahi kerongkongan.
Gluk-gluk-gluk!
"Hah! Segar! Pas banget, gue haus banget dari tadi," seru gadis seksi tersebut.
Khanza mendengkus panjang, tidak habis pikir dengan kelakuan sahabat barunya. Dea ... Dea. Nggak malu apa sama Arif?
"Ayo diminum Za," ujar Arif. Lelaki tampan tersebut pun juga membuka botol minum miliknya.
"T-Terima k-kasih." Khanza sebenarnya juga sangat haus. Berdiri tiga puluh menit di terik matahari membuat dirinya dehidrasi dan menyebabkan daya tahan tubuhnya menurun drastis. Namun didikan etika dari keluarga masih sangat ia junjung dengan tingginya.
Membuka penutup botol, ia pun pelan-pelan minum air mineral tersebut. Hanya beberapa tegukan, gadis itu tersedak saat netra mata beningnya bertemu dengan binar mata indah Arif Saputra Wijaya.
"Uhuk-uhuk-uhuk!"
"Pelan-pelan Za minumnya." Dea sontak mengelus belakang Khanza. "Jangan gugup gitu dong kalau dekat sama cowok ganteng."
Bum!
Ucapan Dea bagai bom yang meledak tepat sasaran. Deg-deg ser pun lantas Khanza rasakan. Gila, omongan Dea nyelekit banget. Langsung kena mental aku.
Sementara Arif dia tipe orang yang bodoh amat. Sudah biasa baginya kalau ada cewek yang baper sama ketampanannya.
"A-Apaan sih k-kamu De," gagap Khanza. "Aneh-aneh saja deh, a-aku itu bukan gugup, hanya saja aku tidak terbiasa dekat sama orang baru."
Khanza menyimpulkan apa yang ia rasakan adalah hal demikian. Tidak terbiasa dengan lingkungan baru membuatnya merasa serba canggung.
"Owh. Jadi kalau dekat sama orang baru gugup gitu? Terus aku bukan orang baru ya?"
Ah sindiran Dea semakin memojokkan Khanza. Segera membasahi lagi kerongkongan, gadis cupu itu pun meliarkan pandangan.
Arif semakin enggan menanggapi. "Gue duluan ke kelas ya?" pamitnya.
"Eh tungguin kita," cegah Dea. "Bantuin gue papah Khanza," pintanya.
Mata Arif menyipit. "Kalau masih pusing, sebaiknya rebahan saja dulu," nasehat lelaki itu.
Menggelengkan kepala. "Aku sudah baikan," sahutnya lemah.
"Kalau kamu ikut ke kelas, pasti mereka akan memaksa kamu ikut MOS lagi. Tubuh kami masih lemah, sebaiknya di sini saja dulu." Perhatian juga ternyata laki-laki satu ini.
"Benar juga Za. Di sini saja dulu deh. Dari pada kamu kena siksa lagi sama geng Kakak kelas itu." Dea sontak mencerocos, dia teramat kesal jika ingat dengan para geng comel dan kekasihnya.
Menarik napas panjang, Khanza lantas mengangguk. Dia juga tidak ingin kena sasaran empuk lagi. "Baiklah aku di sini saja," pasrahnya seraya tertunduk.
Arif diam-diam mengulas senyum tipis. "Ayo. Kita ke kelas," ajaknya pada Dea.
"Aku tinggal dulu ya Za? Nanti aku pasti balik lagi," pamit Dea.
"Hm."
Sontak sunyi sepi. Khanza tertinggal sendiri dalam UKS. Menyandarkan punggung, ia pun merogoh saku rok untuk mengambil benda pipih miliknya.
"Bosan juga kalau gini. Aku main game saja deh." Tak seperti penampilannya, kelakuan gadis satu ini justru berbanding terbalik. Membuka aplikasi game online dengan tema baku tembak. Dia menggunakan headset guna meredam suara riuh dari ponselnya.
"Headshot," serunya.
Cekikikan tak karuan. Begitulah kelakuannya, suka lupa diri kalau sudah berhadapan dengan ponselnya. Andai di rumah pasti si Mama akan mengomel dengan ceramah panjang lebar. Dan Kak Zay akan mengganggu dengan kelakuan jahilnya.
Namun Khanza akan selalu punya cara untuk bisa berkutat dengan game onlinenya. "Ah nggak seru. Musuh lemah," ucapnya.
Mematikan ponsel, dia pun menengok jam di pergelangan tangan. "Sebentar lagi istirahat."
Dan benar saja. Bel menggema nyaring di luar, tinggal menunggu Dea menjemputnya di sini.