Nuansa ini terasa berbeda, asing tatapannya bahkan tak terasa bersahabat dengan naluri jiwa. Namun tekad menuntut ilmu adalah tujuan utama, semangat harus dikobarkan walau sulit rasanya.
Seperti perkiraan Dea, dia dan Khanza akan menjadi sasaran utama para kakak kelas, mencari celah untuk balas dendam dengan berbalut hukuman tak mengenakkan.
"Ayo cepat lakukan! Jangan lemah dong!"
Peluh membasahi pelipis gadis cupu tersebut, baru saja ia usai berlari mengelilingi lapangan. Namun dia dipaksa lagi untuk squat jump dua puluh kali.
"Boleh saya minum dulu kak," izinnya. "Saya lelah dan haus sekali," keluhnya.
"No-no-no! Lihat teman-teman lo cupu! Mereka masih semangat tidak seperti lo yang lemah," ujar Iva yang bahkan mendorong bahu Khanza hingga termundur satu langkah ke belakang.
"Cepat lakukan sekarang!" titah Zia.
"Atau hukuman lo mau gue tambah?!" sambung Amel.
Khanza pun mulai mengambil ancang -ancang dan melompat. Jelas saja mereka semangat, mereka mendapat tugas yang ringan sementara aku? Keliling lapangan seluas ini dengan waktu yang singkat sekali? Jelas saja gagal dan kena hukum lagi.
Hanya bisa menggerutu dalam hati, Khanza pun mau tidak mau menuntaskan squat jumpnya di depan para geng centil.
Sementara Arif dan Randra, mereka seperti mendapat durian runtuh. Tugas yang paling mudah di antara semua murid baru pun mereka kerjakan. Hanya mengumpulkan beberapa tangkai bunga yang ada di taman sekolah. Lalu ia serahkan pada Vera dan Santi yang cantik jelita.
"Kalau tugas dan pembimbingnya kaya gini, gue mau deh MOS selama setahun," cerocos Randra.
Ckck. Arif hanya berdecak dan memutar bola mata jengah menanggapi. Dan baru ia sadari kalau sepasang bola mata Vera selalu curi-curi pandang terhadapnya.
Kok semenjak tadi, dia selalu lihat gue ya? Tatapan juga agak aneh, apa ada yang salah dari penampilan gue?
Arif meneliti gaya berpakaiannya, tidak ada yang salah, hanya celana bagian lututnya yang sedikit robek. Ah gue lupa, belum ganti celana bekas kecelakaan tadi.
"Em ... Sorry. Boleh permisi ke toilet?" izin Arif ragu.
"Boleh kok ganteng." Santi mengulas senyum sejuta pesona.
"Ingat pacar lo tu, San," sindir Vera.
Santi mengerucutkan bibir pada sang sahabat. "Ingat gue," ketus gadis cantik tersebut.
"Jangan lama lo Rif," pesan Randra.
"Emangnya kenapa kalau gue lama?" balas Arif.
"Takut ada yang kangen." Randra mengedipkan sebelah mata ke arah Vera. Dan sontak pipi gadis manis tersebut merona malu.
Arif menatap Vera lembut. "Cuma sebentar kok," ujarnya lalu melenggang pergi dari sana.
Pipi itu pun semakin memerah menahan malu, apalagi Santi yang kini juga ikut menggoda dirinya. "Ciee!" Senggol sang sahabat pada bahu Vera.
"Ish San, apaan sih," elak Vera.
Pemandangan yang juga berbeda dialami seorang Nadia. Gadis molek nan seksi tersebut menjadi target balas dendam oleh sekelompok lelaki most wanted di sekolah.
"Sana! Lari lagi!" perintah Sony.
Dea tidak memang tidak menjawab atau pun bersuara, tapi dia enggan bergerak menjalankan tugasnya. Gila, memangnya mereka pikir gue kuda apa? Disuruh lari sepuluh kali putaran di lapangan seluas ini.
"Ayo! Apa lo mau kita tambah lagi hukumannya?" ujar Aldi.
Adit mendekat. "Makanya jangan sok jual mahal jadi anak baru," bisik Adit. "Andai saja lo mau main-main sama kita-kita pasti bukan begini ceritanya."
Dea menatap nyalang Adit. Memangnya mereka pikir aku gadis apaan?
"Sorry. Kalian salah orang, gue bukan wanita gampangan seperti pacar dia." Lantas Dea pun kembali melanjutkan larinya, meninggalkan ketiga pemuda dengan emosi yang kian membara.
"Sombong sekali dia," ujar Adit.
"Awas saja dia. Gue pastikan akan menyesal mengatakan itu." Kepalan tangan kanan Sony labuhkan pada telapak tangan kiri.
"Kita lihat saja, sampai mana dia mampu bertahan di sekolah ini," imbuh Aldi.
Hari pun semakin detik semakin terik. Tenaga Khanza dan Dea kian lama kian menipis, tapi hukuman demi hukuman seakan menjadi makanan wajib untuk mereka hari ini.
Kapan jam istirahat sih? Kepalaku sudah pusing dan perutku juga lapar sekali.
Seragam gadis cupu bernama Khanza sudah basah oleh keringat. Namun ia tidak bisa bergerak sebab harus mematung dengan posisi hormat pada sang saka merah putih.
"Tangannya yang benar!" hardik Zia.
"Jangan dibengkok-bengkokin dong emang kawat bisa meliuk-liuk," cerocos Amel menambahkan.
"Itu kaki juga harus tegak," tegur Iva.
Oh astaga. Perasaan Khanza sudah melakukannya dengan sangat teramat benar, tapi kenapa mereka selalu menganggap semuanya salah. Membenarkan lagi posisi, gadis cupu itu pun terus menatap lurus pada sang merah putih yang melambai-lambai di atas sana.
"Nah gitu dong," komentar Zia.
"Aduh panas sekali hari ini." Mengibaskan tangan pada muka, Amel ruwet sendiri dengan dirinya. "Gue mau beli minum dulu ah. Tenggorokan gue kering, haus," cerocosnya.
Melenggang pergi begitu saja, gadis comel nan centil tersebut pun diteriaki oleh sang sahabat.
"Mel gue ikut!" teriak Iva seraya mengejar Amel.
"Lho kalau mereka pergi, terus gadis cupu ini. Masa gue sendirian jaga dia? Ah bodoh amatlah. Lagian ngapain juga gue repot-repot nungguin dia. Nggak bakal hilang juga." Zia pun berniat menyusul dua sahabatnya.
"Eh cupu! Awas kalau lo berani bergerak sedikit saja. Gue tambahin hukuman lo!" ancam Zia.
Ditinggalkan sendirian, Khanza tidak sedikit pun berpikiran culas. Tetap tegar mengahadapi hukuman walau diterjang badai matahari menjelang siang. Namun sesekali ia mengerjapkan mata, menghalau peluh agar tidak masuk ke netra.
Kok kepalaku terasa berat ya?
Pusing mulai terasa, tapi Khanza bukan sosok gadis yang mudah mengeluh akan keadaan. Tetap memaksa, hingga pada akhirnya pandangan mulai mengabur dan buram.
Nging!
Telinganya berdenging keras, hawa pun terasa makin panas. Tubuh mungil tersebut pun mulai tidak seimbang dalam berdiri.
"Kepalaku pusing sekali," keluhnya sudah tak tahan lagi. Memegang kepala ia pun berniat menepi. Namun siapa sangka tubuh itu lebih dulu limbung dan siap roboh ke atas ubin yang panas.
***
Menghela napas lega, Arif keluar dari kamar kecil di sekolah barunya. "Syukur di sekolah ini ada menjual seragam, jadi gue tidak repot mengganti celana yang rusak."
Membuang celana yang pertama ia pakai ke sampah, Arif pun memutuskan untuk kembali kelapangan. Namun di tengah perjalanan, ekor matanya menangkap seorang gadis yang berdiri hormat di bawah bendera.
"Ngapain Khanza di sana? Apa dia kena hukum ya?"
Mungkin saja sih. Lantas Arif pun mengayunkan lagi sepasang sepatunya. Namun sesekali ia tetap menoleh pada gadis cupu yang sendirian di tengah-tengah lapangan sana.
"Tunggu! Dia kenapa?" Langkah Arif kembali terhenti, membulatkan mata sempurna, ia melihat Khanza memegang kepala.
"Jangan dibilang dia pusing akibat terlalu lama berdiri tegang?"
Tebakan pria tampan tersebut tepat sasaran. Berlari kelapangan, ia pun mencoba menyelamatkan tubuh mungil si gadis cupu agar tidak terhempas pada alas lapangan yang panas.
"Khanza," ujarnya.
Bugh!