Ibu Alfan memeluk Alfan lembut, "Abang belajar yang rajin", ibu Alfan bicara lembut kemudian berlalu bersama suaminya bersama mobilnya.
Alfan segera berbalik dan mencari keberadaan Bu Mayang.
"Kamu lihat Bu Mayang tidak...?", Alfan menghentikan salah satu siswa yang sedang melintas.
"Tadi kalau tidak salah ke kantin belakang", lelaki itu menunjuk arah Bu Mayang yang dimaksud.
"Terima kasih", Alfan memukul pelan lengan lelaki itu, sebelum berlalu pergi menyusul Bu Mayang.
Benar saja, Bu Mayang sedang menyantap sotonya dengan penuh kenikmatan.
Alfan segera duduk tepat dihadapan Bu Mayang.
"Ibuk gila, ibuk sudah tidak waras", Alfan mengeluarkan sumpah serapahnya tanpa basa-basi.
"Ngadapin orang gila kayak kamu, saya harus bisa menjadi jauh lebih gila dari pada kamu", Bu Mayang menjawab santai, sembari memasukkan suapan besar kedalam mulutnya.
"Ibuk terlalu percaya diri", Alfan tertawa remeh.
Bu Mayang tersenyum lembut, "Kalau saya tidak yakin, saya tidak akan berani membuat keputusan itu", Bu Mayang bicara lembut, senyum kembali menghiasi bibirnya.
"Bagaimana kalau Alfan berulah lagi, ibuk bisa-bisa dikeluarkan dari sekolah", Alfan bicara putus asa.
"Itu nanti akan menjadi tanggung jawab kami, mencarikan saya tempat kerja baru", Bu Mayang bicara santai.
Belum juga Alfan berhasil merespon, Bu Mayang sudah berlalu dari hadapan Alfan yang masih bengong dengan ucapan Bu Mayang.
"Ah... satu lagi, makanan saya kamu yang bayar. Sekali-kali kamu yang balik traktirin saya", Bu Mayang bicara sesaat sebelum berlalu pergi dari hadapan Alfan.
"Cih... orang gila", Alfan menertawakan dirinya sendiri.
Alfan segera menemui penjual, untuk membayar makanan dan minuman Bu Mayang barusan.
Alfan berjalan perlahan menuju kelas. Seseorang tiba-tiba merangkul Alfan dari arah belakang.
"Setan asal", Alfan berteriak karena merasa kaget.
"Aku dengar kamu di bebasin dari tuntutan...?", Aryo tertawa renyah.
"Tuntutan, kamu pikir Alfan habis di sidang apa...?", Alfan menjawab merasa tidak puas dengan ucapan Aryo.
"Kok bisa kamu bebas gitu aja...? Aku dengar Bu Yeli tidak puas dengan hasilnya", Aryo kembali menyelidiki.
"Tu nenek-nenek emang resek. Tau saja bagaimana sentimennya dia sama aku selama ini", Alfan menjawab dengan tidak berdaya.
Alfan memilih untuk duduk di bangkunya begitu masuk kelas. Disvi masih sibuk dengan buku yang masih berantakan diatas meja. Alfan hanya menatap Disvi yang sibuk mencatat, dan membolak-balik buku yang ada dihadapannya.
"Alhamdulillah... akhirnya selesai juga", Disvi menyandarkan punggungnya ke punggung kursi.
"Astagfirullah hal'azim, sejak kapan Tian disini...?", Disvi kaget melihat Alfan yang hanya bersandar di punggung kursi, dengan kedua tangan menyilang di depan dadanya.
"Sejak Vio menulis jawaban nomor dua", Alfan nyengir kuda.
"Itu kerjain tugas dari Bu Yeli", Disvi menunjuk ke arah papan tulis dengan bahasa isyarat.
Alfan hanya menatap sekilas ke papan tulis, "Males, paling juga tu nenek sihir ngoceh lagi", Alfan menjawab malas.
"Hei... kenapa...? Mukanya kesal banget...?", Disvi bertanya lembut.
"Gara-gara tu nenek sihir, Bu Mayang sekarang keseret-seret dalam masalah Tian", Alfan bicara dengan nada tidak puas.
"Maksudnya...?", Disvi bertanya bingung.
"Tu nenek sihir minta Tian di keluarin dari sekolah", Alfan bicara santai tanpa beban.
"Astagfirullah hal'azim", Disvi terkejut mendengar ucapan Alfan. "Gara-gara masalah berantem kemarin sama Dito ya...? Maaf ya, gara-gara Vio, Tian malah...", Disvi tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena Alfan sudah meletakkan jari telunjuknya di bibir Disvi.
"Suuuttt... berisik tau", Alfan bicara santai. "Jujur saja, Tian g'ak masalah di keluarin dari sekolah. Yang jadi masalah sekarang, Bu Mayang terancam di keluarkan dari sekolah", Alfan bicara lirih.
"Kok bisa...?", Disvi bertanya bingung.
"Bu Mayang menjamin Tian untuk tetap sekolah disini, kalau Tian berulah lagi, Tian akan di keluarkan, begitu juga dengan Bu Mayang", Alfan kali ini bicara dengan wajah tertekan penuh beban.
"Tian tunjukkin, kalau Tian bisa berubah", Disvi bicara penuh keyakinan.
"Tian udah pernah bilang, Tian ini nol besar Vio. Yang Tian bisa hanya buat masalah saja. Hidup Tian itu keras", Alfan bicara dengan makna jauh lebih dalam.
"Hei... batu karang saja, yang segitu kerasnya, bakalan pecah kalau di tetesin air setiap hari", Disvi bicara pelan.
"Apa Tian bisa...?", Alfan bertanya penuh keraguan.
"Bisa, Vio yakin bisa", Disvi memberikan jaminan kepada Alfan.
"Vio ajarin Tian ya", Alfan bicara penuh harap, menatap dalam ke bola mata Disvi.
"Langkah pertama, kerjain tugas dari Bu Yeli", Disvi memberikan isyarat kearah papan tulis.
Alfan ingin menarik buku tulis Disvi, akan tetapi Alfan kalah cepat dengan Disvi yang langsung menyembunyikan bukunya di laci meja.
"Kerjain sendiri", Disvi bicara dengan senyum tipis.
"Kan Tian sudah bilang, Tian g'ak bisa", Alfan bicara putus asa.
"Bisa, Vio ajarin pelan-pelan. Buka bukunya", Disvi memberi perintah.
Alfan dengan enggan membuka bukunya, mulai menulis soal pertama. Disvi membantu Alfan mengerjakan soal dengan penuh kesabaran. Tepat saat jam pulang sekolah berbunyi, Alfan menyelesaikan semua tugas yang diberikan Bu Yeli.
"Alhamdulillah... apa Vio bilang, Tian pasti bisa. Tian aja yang malas", Disvi memukul lembut lengan Alfan.
"Ayo pulang", Alfan segera meraih tasnya, setelah mengumpulkan buku tugasnya dan Disvi ke ketua kelas.
"Laper, ngebakso dulu di parkiran", Disvi merengek manja.
"Dasar, g'ak ada makan siang gratis diatas dunia ini", Alfan bicara tidak berdaya.
Disvi malah tertawa puas menatap wajah kesal Alfan.
"Ayo buruan, Tian ada latihan sore", Alfan segera beranjak dari kursinya.
Alfan dan Disvi segera melangkah perlahan ke arah parkiran motor. Disvi menyerbu ke gerobak bakso.
"Mas... Disvi racik sendiri", Disvi bicara pelan.
Penjual bakso segera menyingkir, memberikan tempat untuk Disvi.
"Teh botolnya mas", Alfan segera berteriak, tatapannya tidak pernah lepas dari Disvi yang sibuk meracik dua mangkok bakso.
Detik berikutnya, Disvi sudah menyodorkan semangkuk bakso komplit ke hadapan Alfan. "Pesanannya bang", Disvi melemparkan senyum terbaiknya.
"Terima kasih mbak", Alfan membalas candaan Disvi.
Alfan segera memasukkan suapan besar kedalam mulutnya, "Mas, pegawai baru ya ini...? Racikannya mantap", Alfan mengacungkan dua jempol tangannya ke arah penjual bakso yang duduk tidak jauh dari Alfan dan Disvi.
"Wah... mbak, besok bisa langsung kerja, g'ak usah magang dulu", penjual bakso menimpali candaan Alfan.
"Siap...", Disvi memberikan posisi hormat kepada penjual bakso, dan tertawa renyah memamerkan gigi kelincinya.
Setelah makan Disvi meninggalkan selembar uang kertas Rp.50.000,- diatas meja.
"Hei... neng, kan Tian yang bayar", Alfan bicara protes.
"Hari ini saja Vio yang bayar, Tian sudah melalui hari yang berat", Disvi tersenyum penuh makna.
"Kembaliannya ambil saja mas", Disvi kembali menimpali sebelum berlalu pergi, mengekor Alfan menuju motornya.
Alfan mengantar Disvi ke depan panti asuhan, begitu turun dari motor Disvi segera menyerahkan helm Alfan.
"Tian...", Disvi bicara lirih.
"Hem...", Alfan hanya bergumam pelan menjawab Disvi.
"Tadi Dito menghadang Vio, dia minta balikan lagi", Disvi bicara diluar dugaan Alfan.
Langit Alfan terasa runtuh mendengar pengakuan Disvi barusan.