Disvi menatap lekat wajah Alfan, kemudian melemparkan senyum terbaiknya.
"Vio baik-baik saja", Disvi bicara penuh keyakinan.
Detik berikutnya, Alfan mengacak pucuk kepala Disvi.
"Ah... resek, jadi berantakan ini", Disvi memukul pelan lengan Alfan.
Alfan tertawa melihat wajah kesal Disvi.
"Disvi...", Dito bicara lirih, Dito sudah melepaskan rangkulannya dari pundak perempuan yang ada di sampingnya.
Disvi hanya menatap bingung wajah Dito.
"Bisa kita bicara sebentar...?", Dito bertanya pelan.
Perempuan di samping Dito spontan menatap wajah Dito merasa tidak senang.
"Sudah tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi", Disvi segera menolak, kemudian berniat ingin menjauh dari hadapan Dito dan perempuan itu, yang membuat Disvi merasa gerah.
"Dito, Alfan. Ikut saya ke kantor Kepala Sekolah sekarang", Bu Mayang segera memecahkan kesunyian yang tercipta.
Alfan dan Dito segera mengekor di belakang Bu Mayang.
Disvi memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju kelas.
"Tunggu", perempuan yang bersama Dito tiba-tiba menahan langkah Disvi.
Disvi menoleh malas kearah perempuan itu.
"Kamu ada hubungan apa dengan Dito...?", perempuan itu bertanya to the poin.
"G'ak ada hubungan apa-apa, hanya teman satu kelas saja. Tidak lebih", Disvi menjawab dengan dingin.
"Kamu jangan bohong, tatapan Dito mengatakan sebaliknya", perempuan itu kembali menuntut jawaban.
Disvi tersenyum, kemudian meletakkan jemari tangan kanannya di pundak perempuan itu. Disvi mendekatkan bibirnya ke daun telinga perempuan itu.
"Sebaiknya kamu tanya sendiri sama Dito, sepertinya dia punya penjelasan yang bagus untuk kamu", Disvi tersenyum penuh arti.
"Apa maksud kamu...", perempuan itu berusaha menahan Disvi.
"Oh... satu lagi, pastikan kamu mendapat pengakuan yang jujur dari Dito", Disvi bicara dengan makna yang jauh lebih dalam.
Tidak perlu repot-repot menunggu perempuan itu merespon, Disvi segera berlalu dari hadapan perempuan itu.
***
Begitu masuk kedalam ruang kepala sekolah. Sudah ada wakil kepala sekolah, orang tua Dito dan orang tua Alfan yang sudah duduk dengan muka tidak puas.
"Duduk", Bu Mayang memberi perintah kepada Dito dan Alfan untuk mengisi bangku yang kosong.
Alfan dan Dito tidak protes, segara duduk mengikuti perintah.
Sebuah tamparan segera mendarat di pipi Alfan dari ayahnya.
"Astagfirullah hal'azim", Bu Mayang terkejut dengan gerakan ayah Alfan yang tiba-tiba.
"Bikin malu saja", Ayah Alfan bicara penuh kekesalan.
Alfan hanya tersenyum, tidak merespon perlakuan kasar ayahnya.
"Tenang pak, kita bisa bicarakan ini baik-baik", Bu Mayang berusaha menenangkan ayah Alfan.
"Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi, lihat muka Dito, babak belur karena anak ini. Saya minta dia dikeluarkan dari sekolah ini, kalau tidak nanti siapa lagi yang akan menjadi korban anak berandalan ini", ibu Dito berteriak, memuntahkan kekesalannya. Bahkan dadanya turun naik karena menahan amarah.
"Saya tahu Alfan sudah keterlaluan, tapi... saya sebagai orang tua Alfan, meminta... kalau bisa kita damai saja. Tolong jangan keluarkan Alfan dari sekolah, ini sudah hampir kenaikan kelas, akan sulit untuk kita mencari sekolah untuk Alfan nantinya", ibu Alfan bicara dengan penuh harap.
"Seharusnya Alfan memikirkan hal itu, sebelum membuat onar di sekolah ini", Bu Yeli kali ini yang menyela.
"Saya saja, sebagai wali kelasnya Alfan sudah angkat tangan menghadapi kelakuan Alfan. Sudah tidak terhitung keluhan dari pihak guru, apa lagi dari siswa dan orang tua siswa", Bu Yeli kembali menambahkan.
"Saya paham buk, tolong tenang dulu. Kita coba dengar dari Bu Mayang, sebagai guru Bimbingan Konseling sekolah. Apa Bu Mayang juga sependapat dengan Bu Yeli...?", kepala sekolah kali ini yang angkat suara, berusaha menengahi.
"Saya tahu Alfan kali ini sudah keterlaluan. Saya yakin Alfan bukanlah orang yang suka gegabah, pasti dia punya alasan memukul Dito tempo hari", Bu Mayang mulai membuka ucapannya.
"Bu Mayang masih saja membela anak kesayangannya ini", Bu Yeli mengeluarkan kata-kata pedas untuk Bu Mayang.
Bu Mayang tersenyum lembut, "Saya tidak membela Bu Yeli, saya selalu berusaha berada di posisi anak-anak. Anak seumur Alfan dan Dito, mereka masih punya emosi yang menggebu-gebu.
Benar apa yang di ucapkan oleh Bu Yeli, kali ini Alfan sudah kelewatan.
Ibunya Alfan juga ada benarnya, ini sudah mau ujian akhir kenaikan kelas, kasian kalau Alfan kita keluarkan sekarang. Tidak akan ada sekolah yang mau menerima Alfan", Bu Mayang bicara lembut.
"Itu bukan urusan kita, itu sudah menjadi resiko dari Alfan", Bu Yeli menjawab sengit tidak mau kalah.
"Bu Yeli ada benarnya, tapi... beban kita secara moral ada di sana. Kita mengabaikan hak Alfan untuk mendapatkan pendidikan yang layak", Bu Mayang bicara dengan lembut seperti biasanya.
"Lalu kita lepaskan Alfan begitu saja...? Anak saya babak belur karena anak ini", ibu Dito kembali meradang, mengacungkan telunjuk kirinya tepat kearah muka Alfan.
"Saran saya, kita dengar pendapat Dito sendiri, yang menjadi korban disini, maunya Dito bagaimana...?", Bu Mayang menatap lembut wajah Dito.
Kepala sekolah mengangguk pelan.
"Silakan Dito, ada yang kamu mau sampaikan...?", Kepala sekolah memberi kesempatan kepada Dito kali ini untuk bicara.
Dito menatap sekilas kepada Alfan yang seperti biasa acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya.
"Sebelumnya Dito berterima kasih karena masih peduli dengan Dito, sampai repot-repot berkumpul disini untuk membahas masalah Dito dan Alfan.
Pada dasarnya, kejadian kemarin hanya kesalahpahaman saja. Benar apa yang Bu Mayang bilang, ini hanya perkelahian remeh anak sekolah.
Dito sama Alfan sudah berdamai. Jadi... menurut Dito, tidak perlu kita perpanjang lagi masalah ini", Dito bicara diluar dugaan.
"Kamu bicara apa...? Kamu diancam sama anak sialan ini...?", ibu Dito bicara penuh amarah.
Dito tertawa remeh, "G'ak ada yang mengancam Dito, g'ak ada juga yang memaksa Dito bicara seperti ini. Dito sudah selesai di sini, Dito sudah menyampaikan apa yang perlu Dito sampaikan", Dito segera beranjak dari kursinya, meninggalkan ruang kepala sekolah begitu saja.
"Anak ini...", ibu Dito berteriak kesal.
"Saya rasa sudah tidak ada masalah bukan...? Dito sebagai korban sudah berdamai dengan Alfan. Jadi... saya rasa tidak perlu di perpanjang lagi bukan...?", Bu Mayang bicara lega.
"Tidak bisa, bagaimana kalau sampai kejadian ini terulang kembali. Saya tidak mau ambil resiko untuk itu", Bu Yeli merasa tidak puas dengan hasil keputusan rapat.
Bu Mayang menunduk dalam, lima detik hening, Bu Mayang mengeluarkan suara.
"Saya yang akan menjadi penjamin Alfan", Bu Mayang bicara diluar dugaan.
Semua mata langsung tertuju kepada Bu Mayang.
"Maksud ucapan anda...?", Bu Yeli kembali menantang Bu Mayang.
"Saya yang akan menjamin, kalau Alfan tidak akan membuat masalah lagi", Bu Mayang bicara penuh keyakinan.
"Bu Mayang...", Alfan kali ini yang merespon pertama kali, tidak yakin harus bahagia atau malah menangis.
"Kalau dia sampai membuat masalah lagi, anda bisa apa...?", Bu Yeli tidak mau mengalah sedikitpun.
Bu Mayang menatap lekat wajah Alfan, "Saya siap untuk di keluarkan dari sekolah bersama Alfan juga", Bu Mayang memberikan penekanan kepada setiap kata-katanya.
***
"Disvi...", Dito segera meraih jemari tangan Disvi saat Disvi akan ke kantin.
Disvi menatap dingin pada genggaman tangan Dito.
Dito segera melepaskan genggaman tangannya, "Apa tiga tahun ini sama sekali tidak ada artinya buat kamu...? Apa kamu bisa melupakan kenangan kita begitu saja...?", Dito bertanya dengan wajah penuh kecewa.
"Kamu terlalu tinggi menilai diri kamu sendiri", Disvi tertawa remeh.