Chapter 9 - Kamu harus kuat

Alfan segera mengangkat tubuh Disvi, membawa Disvi kembali ke rumahnya. Perempuan setengah baya yang tadi menyambut Alfan berjalan lebih dahulu, membukakan pintu agar mempermudah Alfan.

Alfan membaringkan Disvi keatas tempat tidur dengan sangat hati-hati, seolah-olah Disvi adalah benda rapuh yang akan pecah apabila disentuh.

"Ada minyak kayu putih buk...?", Alfan bertanya panik.

"Maaf aden, di lacinya mbak Disvi", perempuan setengah baya itu menunjuk laci di samping Alfan.

Alfan segera membuka laci yang dimaksud dan menemukan apa yang dia cari. Alfan menggosok sedikit minyak kayu putih di jemari tangannya, kemudian mendekatkan ke lubang hidung Disvi. Perlahan Disvi mulai membuka kelopak matanya.

"Astaga...", Alfan duduk lemas di lantai sembari mengusap kasar mukanya karena merasa lega. Alfan bersandar di lemari kecil di belakangnya, menatap kearah samping tempat Disvi berbaring.

"Mbak tidak apa-apa...?", perempuan setengah baya itu bertanya penuh kekhawatiran.

"G'ak apa-apa buk", Disvi menjawab lemah.

"Saya permisi dulu kalau begitu, kalau butuh apa-apa panggil saya saja di belakang", perempuan setengah baya itu berlalu pergi dari hadapan Alfan dan Disvi.

"Masih sakit perutnya...?", Alfan bertanya lembut.

"Udah g'ak, hanya sedikit lemas saja", Disvi berusaha untuk bangun, bersandar di kepala tempat tidur.

"Mau nemanin Tian nyari makan...? Tian belum makan siang dari tadi", Alfan menggosok pelan perutnya.

"Vio lagi malas makan", Disvi segera menolak.

"Ya udah, kalau gitu, Tian juga g'ak usah makan kalau gitu", Alfan menjawab santai.

"Lho... kok gitu...?", Disvi bertanya bingung.

"Tian paling malas makan sendiri, masa harus ngajakin si ibuk", Alfan memasang muka memelas.

"Dasar", Disvi tertawa kecil. "Tian tunggu di panti saja, Vio siap-siap dulu", Disvi bicara pelan.

"Gitu aja, tetap cantik kok. G'ak perlu dandan lagi, kayak mau pergi sama siapa aja", Alfan kembali protes, takut Disvi akan berubah pikiran.

Disvi kembali memaksakan senyumnya, kemudian menarik jaket yang ada di belakang daun pintu. Kemudian mengekor Alfan menuju parkiran panti.

Kali ini Alfan memilih tempat yang agak jauh dari kota, Alfan berhenti di sebuah kafe yang berada di puncak. Suasana masih sepi, sehingga Alfan bisa bicara dengan leluasa bersama Disvi. Alfan memesan sup ikan, dan bubur seafood, sengaja Alfan memilih menu yang hangat dan lembut, agar perut Disvi tidak protes. Bahkan Alfan memesan kelapa hijau untuk Disvi.

"Masih g'ak rela putus sama Dito...?", Alfan bertanya asal, sembari menunggu pesanan datang.

"G'ak juga", Disvi menjawab santai.

"Itu yang membuat Tian g'ak mau cerita ke Vio", Alfan bicara lirih.

"Cerita apa...?", Disvi bertanya bingung, keningnya segera berkerut.

"Waktu pertama Vio datang ke sekolah, jujur Tian kaget waktu Dito bilang Vio ceweknya. Terus... ditambah lagi waktu Tian nganterin Vio pulang ke panti, awalnya Tian pikir Vio salah satu anak asuh panti asuhan. Tian g'ak ikhlas saja Vio di sakiti sama Dito", Alfan sengaja bicara perlahan, disela ucapannya Alfan memperhatikan perubah aura muka Disvi.

"Disakiti...? Maksud Tian...?", Disvi bertanya bingung.

"Dito punya tunangan", Alfan bicara pelan.

Seolah petir disiang bolong, dunia Disvi runtuh seketika.

"Tunangan...? Tunangan bagaimana...?", Disvi bertanya dengan terbata-bata.

"Ayah Dito punya teman, mereka melakukan kontrak kerjasama. Dan... syaratnya Dito harus menikahi putri anak teman ayahnya Dito. Karena mereka masih sekolah, jadi... mereka bertunangan 2 tahun yang lalu", Alfan memutuskan untuk bercerita.

"Perempuan itu dimana...?", Disvi bertanya dengan suara bergetar.

"Dia sekolah di Jepang", Alfan bicara pasti.

"Jadi... selama ini Dito duain Vio...?", Disvi tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.

"Tiga lebih tepatnya", Alfan mengoreksi ucapan Disvi.

"Maksudnya...?", Disvi menagih jawaban.

"Ingat Tian berantem sama Dito tempo hari...?", Alfan bertanya pelan.

"Hem...", Disvi hanya mampu bergumam pelan.

"Tian mergokin Dito jalan sama cewek, dia juga peserta seleksi. Usut punya usut, ternyata mereka udah jadian selama satu tahun belakangan", Alfan menjelaskan panjang lebar.

"Astagfirullah hal'azim", Disvi mengusap kasar mukanya.

"Tian udah coba bicara baik-baik sama Dito. Dia janji mau ninggalin tu cewek demi Vio. Tapi... Dito hanya ngomong saja, dia tetap jalan sama tu cewek. Makanya Tian berantem sama Dito", Alfan menjelaskan semua duduk persoalannya.

"Tian g'ak menyesal apa berantem sama Dito hanya untuk membela Vio...? Yang Vio dengar dari Bu Mayang, katanya Tian terancam di DO oleh sekolah", Disvi merasa bersalah karena dia, Alfan terancam di DO oleh pihak sekolah.

Alfan tertawa renyah, "Sekolahan banyak", Alfan menjawab santai.

"Dasar", Disvi tertawa kesal melihat kelakuan Alfan yang masa bodoh.

Makanan pesanan mereka segera datang, Alfan dan Disvi segera menyantap makanan mereka tanpa basa-basi lagi.

"Terus... Vio maunya bagaimana...?", Alfan kembali bertanya, disela mengunyah makanannya.

"Vio g'ak tahu. Yang jelas, Vio harus melupakan Dito", Disvi bicara dengan tidak yakin.

"Segitu susahnya melupakan seorang Dito...?", Alfan bertanya tidak puas dengan reaksi Disvi.

"Terlalu banyak kenangan Tian, Vio sama Dito itu sudah jalan 3 tahun", Disvi bicara tidak berdaya.

"Lalu apa...?", Alfan kembali menagih jawaban.

"Entahlah, mungkin butuh waktu saja", Disvi bicara lirih.

"Tian akan bantu Vio untuk menghapus semua jejak kenangan itu. Agar Vio bisa melupakan Dito", Alfan bicara pasti.

"Caranya...?", Disvi bertanya tidak yakin.

"Kita akan datangi semua tempat yang pernah Vio datangi bersama Dito. Kita buat kenangan baru, sehingga Vio akan lupa, kalau Vio pernah datang ke sana bersama Dito di masalalu", Alfan bicara penuh keyakinan.

Disvi kali ini tidak menjawab, hanya tersenyum mendengar ucapan Alfan.

"Tugas pertama Vio, nanti sampai di rumah buat semua daftar tempat yang pernah Vio datangi bersama Dito", Alfan bicara dengan penuh semangat.

"Apa bisa kita ke sana...? Lumayan banyak lho", Disvi bertanya penuh keraguan.

"Bukan hari ini, mungkin esok atau nanti. Vio dan Tian akan menyelesaikan semua daftar tempat itu. Tidak perduli seberapa jauh dan sulitnya tempat itu untuk di capai", Alfan memberi penekanan pada setiap kata-katanya.

Setelah makan Alfan segera membayar, kemudian kembali mengantar Disvi ke rumahnya.

"Tian, terima kasih untuk hari ini", Disvi bicara lembut, sembari menyerahkan helm ke tangan Alfan.

"Besok pagi Tian jemput ke sekolah", Alfan bicara sesaat sebelum berlalu pergi.

Seperti janjinya, Alfan menjemput Disvi keesokan harinya untuk berangkat ke sekolah bersama-sama.

Alfan berjalan beriringan bersama Disvi perlahan menuju kelas, langkah Disvi terhenti begitu melihat Dito keluar dari ruang Bimbingan Konseling dengan seorang perempuan. Mereka terlihat sangat dekat, bahkan Dito tidak segan merangkul perempuan itu.

Air mata Disvi segera menyerbu untuk keluar, "Astagfirullah hal'azim", Disvi bergumam pelan, kepalanya segera tertunduk dalam berusaha keras menahan tangisnya.

Alfan menatap sekilas ke arah depan, kemudian memegang pundak Disvi lembut.

"Kamu harus kuat", Alfan bicara penuh harap.