Chereads / Dia (Kisah pelik, mengagumi dan mencintai secara diam-diam) / Chapter 8 - Dulu aku baik-baik saja tanpa kamu

Chapter 8 - Dulu aku baik-baik saja tanpa kamu

Setengah jam kemudian, tangis Disvi sudah mulai reda.

"Masih mau di sini atau mau balik...? Tian udah lapar ini", Alfan nyengir kuda sembari menggosok perutnya.

Disvi tertawa kecil, kemudian kembali naik ke bangku penumpang.

"Vio mau makan apa...?", Alfan bertanya lembut.

"Tian yang pilih, Vio ikut saja kali ini", Disvi bicara pelan.

Motor Alfan segera merayap diatas aspal jalanan. Alfan memilih untuk berhenti saat menemukan penjual gado-gado.

"Pedas atau g'ak...?", Alfan bertanya pelan.

"Pedas banget", Disvi bicara pasti.

Hanya perlu menunggu beberapa menit saja, pesanan merekapun datang. Disvi segera menyantap makanannya, air mata Disvi mengalir tanpa disadari karena kepedasan. Detik berikutnya, Disvi malah tersedak. Alfan segera menyerahkan air hangat ke hadapan Disvi, melemparkan senyum terbaiknya.

"Makannya pelan-pelan", Alfan bicara lembut.

"Lagian, g'ak akan ada yang mau mengambil makanan Vio kok", Alfan tertawa renyah.

Disvi tidak menjawab, hanya minum dengan perlahan, kemudian kembali menghabiskan makanannya.

Setelah makan, Alfan segera mengantarkan Disvi ke panti asuhan.

"Vio istirahat", Alfan mengingatkan sebelum meninggalkan Disvi.

Keesokan harinya, Alfan datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Akan tetapi bangku pojok masih kosong.

"Tumben Vio belum datang", gumam Alfan pelan.

"Permisi kak, saya bisa titip surat...?", seorang perempuan bicara sesopan mungkin.

Alfan menatap nama yang tertera di amplop surat. "Vio kenapa...?", Alfan spontan bertanya setelah melihat nama Disvi di amplop surat.

"Kak Tian...?", perempuan itu tersenyum kembali.

Alfan mengerutkan keningnya, "Kamu kenal saya...?", Alfan bertanya bingung.

"Hahaha kakak lucu, di sekolah ini siapa yang tidak kenal seorang Alfan Bagustian.

Ternyata itu kakak.

Kak Disvi banyak cerita soal kakak, katanya ada teman satu kelas yang satu-satunya memanggil dia Vio", perempuan itu kembali tertawa renyah.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya", Alfan menagih jawaban.

"Oh... kak Disvi sakit. Semalaman dia bolak-balik ke kamar mandi. Kata dokter itu karena kak Disvi makan makanan pedas, kak Disvi baru pulih dari operasi usus buntu, jadi... perutnya belum kuat sama makanan yang terlalu pedas", perempuan itu menjelaskan secara perlahan.

"Dasar orang gila", Alfan mengupat karena kesal.

"Sudah mau bel, saya permisi dulu kak", perempuan itu segera berlalu dari hadapan Alfan.

Sepanjang jam pelajaran Alfan tidak bisa konsentrasi, akhirnya yang ditunggu-tunggu oleh Alfan datang juga, bel pulang sekolah bernyanyi riang. Alfan segera meninggalkan mejanya, menuju panti asuhan.

Alfan mondar-mandir di depan pintu pagar panti asuhan. Berharap Disvi akan keluar tanpa dia harus berteriak memanggil orang yang ada di dalam rumah.

"Kak Alfan...?", seorang perempuan mengagetkan Alfan dari arah belakang punggung Alfan.

Alfan segera berbalik karena merasa kaget, mencari sumber suara. "Perempuan tadi lagi", Alfan bergumam pelan.

"Kak Alfan ngapain disini...?", perempuan itu bertanya bingung.

"Em... Vio...", Alfan bicara terbata-bata.

"Kak Alfan mau menjenguk kak Disvi...? Kok malah kesini...?", perempuan itu bertanya bingung.

"Lho... bukannya Disvi tinggal disini...?", Alfan kali ini yang malah merasa bingung dengan pertanyaan perempuan yang ada di depannya saat ini.

"Kak Disvi memang sering kesini kak, tapi... rumahnya kak Disvi harus kebelakang lagi. Ayo Anggun antar", perempuan itu menawarkan bantuan.

"Motornya...?", Alfan bertanya bingung.

"Parkir di dalam saja kak, InsyAllah aman kok", Anggun kembali melemparkan senyum terbaiknya.

Alfan segera memasukkan motornya ke halaman panti asuhan, kemudian mengekor Anggun melewati jalan kecil di samping panti asuhan.

"Kok kak Alfan malah mengira kak Disvi salah satu anak pantai asuhan...?", Anggun kembali bertanya menghilangkan rasa penasarannya.

"Memangnya bukan...?", Alfan bukannya menjawab malah balik bertanya.

"Ya bukanlah kak. Ayahnya Disvi justru yang punya panti asuhan. Karena beliau ada tugas di luar kota, makanya kak Disvi yang di minta untuk mengelola panti asuhan", Anggun menceritakan panjang lebar.

"Hem...", Alfan bergumam pelan.

"Kita udah sampe", Anggun segera berteriak memanggil orang yang ada di dalam rumah, karena Anggun memilih jalan belakang rumah, sehingga tidak ada bel sebagai penanda, seorang perempuan setengah baya membuka pintu gerbang.

"Non Anggun", perempuan setengah baya itu segera mengizinkan Anggun dan Alfan masuk.

"Kak Disvi masih di kamar buk...?", Anggun bertanya pelan.

"Iya, dari tadi tidak mau makan", perempuan setengah baya itu bicara pelan.

"Anggun masuk ya, terima kasih buk", Anggun segera mengetuk salah satu daun pintu.

Setelah mendapat izin yang punya, Anggun baru berani masuk.

"Kak Alfan tunggu disini dulu", Anggun menahan Alfan untuk tidak ikut masuk kedalam kamar Disvi.

Alfan hanya mengangguk pelan, kemudian memilih untuk duduk di kursi yang ada di depan kamar Disvi.

"Kamu dek", Disvi tersenyum lemah, kemudian berusaha untuk bangun.

"Bagaiamana keadaannya kak Disvi...?", Anggun bertanya lembut.

"Alhamdulillah udah lumayan", Disvi memaksakan senyumnya.

"Kak...", Anggun ragu-ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Hem...", Disvi bergumam pelan, kemudian menatap lekat wajah Anggun.

"Em... ada kak Alfan di depan", Anggun akhirnya memutuskan untuk memberitahukan Disvi.

"Kok bisa...?", Disvi bertanya bingung.

"Anggun pulang sekolah, kak Alfan sudah di depan panti", Anggun memasang muka tidak bersalah.

"Mau Anggun suruh pulang saja, atau bagaimana...?", Anggun kembali menawarkan.

"G'ak apa-apa, kak Disvi keluar sebentar lagi", Disvi memaksakan senyumnya.

Anggun segera membantu Disvi untuk bangun, kemudian memapah Disvi keluar kamar untuk menemui Alfan. Setelah membantu Disvi duduk, Anggun segera pamit pulang.

"Bagaimana kabar Vio...?", Alfan bertanya lembut.

"Vio udah baikan", Disvi memaksakan senyum dari bibirnya yang pucat.

"Dasar orang gila, kalau g'ak bisa makan pedas kenapa malah nekat makan pedas...?", Alfan mulai mengomel.

"Hahaha... Vio hanya butuh alasan untuk menangis", Disvi bicara dengan kepala tertunduk.

"Segitu cintanya Vio sama Dito...?", Alfan bertanya pahit..

"Bukan cinta, hanya terbiasa...", Disvi menjawab lirih, kepalanya tertunduk tidak berani menatap wajah lawan bicaranya.

"Tian pulang, agar Vio bisa istirahat", Alfan segera beranjak dari posisinya.

Disvi mengantarkan Alfan hingga ke panti asuhan.

"Disvi...", Dito meraih jemari tangan Disvi, entah muncul dari mana makhluk yang satu itu.

Disvi segera berusaha lepas dari genggaman tangan Dito. Dengan enggan Dito melepaskan tangan Disvi.

"Segitu benci dan jijiknya kamu sama aku...?", Dito menatap Disvi tidak berdaya.

"Kamu yang memilih jalan ini", Disvi menjawab sengit.

"Kita jadian secara baik-baik, aku maunya kita juga putus secara baik-baik Disvi...! Apakah sesulit itu...?", Dito bertanya lembut.

"Dimana-mana yang namanya putus itu sama saja, hanya akan menyakitkan. Aku harap kamu menjauh dariku, agar kita tidak lebih saling menyakiti lagi", Disvi bicara penuh harap.

"Apa hubungan kita selama ini g'ak ada artinya lagi buat kamu...?", Alfan kembali menagih belas kasihan.

"Hampir 3 tahun kita sama-sama Disvi...? Apa kamu bisa melupakan itu semua begitu saja...?", Dito kembali menuntut Disvi.

"Dulu aku baik-baik saja tanpa kamu", Disvi memberi penekanan pada setiap kata-katanya.

"Kemarin, hari ini, esok atau nanti. Semua akan tetap sama saja. Kamu g'ak perlu khawatir", Disvi bicara getir, berusaha keras menahan tangisnya.

"Dito minta maaf", Dito bicara lirih, kemudian berlalu dengan kepala tertunduk.

Begitu Dito menghilang dari pandangan Alfan dan Disvi, tubuh Disvi limbung. Beruntung Alfan segera menangkap tubuh Disvi.

"Vio...!!! Vio...!!! Bangun Vio...!!!", Alfan memukul panik pipi Disvi.