Hari-hari berlalu begitu saja, sudah menjadi rutinitas Alfan mengantar Disvi setiap pulang sekolah.
Seminggu berlalu begitu saja, Dito lulus seleksi paskibraka. Hari ini Dito datang ke sekolah untuk mengantar surat pemberitahuan kepada pihak sekolah, kalau Dito sudah masuk karantina selama 2 Minggu untuk latihan.
Baru saja Dito keluar dari ruang guru, Dito menerima bogem mentah dari Alfan. Siswa perempuan yang kebetulan sedang berkumpul di samping kelas, spontan berteriak ketakutan.
"Hei... kamu kenapa...?", Dito bertanya bingung.
Alfan tidak menjawab malah kembali memukuli Dito tanpa ampun.
"Alfan...!!! Stop...!!! Kamu mau membunuh Dito...?", Arya menarik kasar pundak Alfan.
"Alfan lagi...!!!", Bu Yeli berteriak entah muncul dari mana. "Kalian tidak dengar bel masuk sudah berteriak itu, bubar...!!!", Bu Yeli berteriak kesal.
Semua siswa segera bubar.
"Astagfirullah Alfan...", Bu Mayang menggeleng pelan.
"Aryo, kamu antar Dito ke UKS. Alfan, kamu ikut saya", Bu Mayang segera mengambil alih amarah Bu Yeli.
"Alfan ini, tidak ada bosan-bosannya mencari masalah", Bu Yeli mengomel kesal.
"Maaf Bu Yeli bukannya ada kelas...? Alfan biar jadi urusan saya Bu", Bu Mayang mengingatkan Bu Yeli.
"Oh iya, saya ada kelas. Gara-gara kamu ini, saya jadi lupa", Bu Yeli mengomel sembari melangkah memasuki salah satu kelas.
Bu Mayang berjalan dengan Alfan mengekor di belakang.
"Duduk", Bu Mayang memberi perintah ketus.
Alfan segera duduk tidak berani protes.
"Kamu kenapa lagi...?", Bu Mayang bertanya kesal.
Alfan hanya menunduk, tidak berani menatap wajah Bu Mayang.
"Alfan, saya lagi ngomong lho sama kamu", Bu Mayang bicara kesal, melihat tingkah Alfan yang sama sekali tidak merespon.
"Maaf buk", Alfan bicara dengan suara paling pelan.
"Kamu bisa di DO dari sekolah Fan, masalah yang terakhir saja saya...", Bu Mayang tidak melanjutkan ucapannya. "Astagfirullah hal'azim...", Bu Mayang mengusap kasar mukanya.
"Saya g'ak habis pikir, Dito itu sahabat kamu sendiri Fan. Kenapa kamu seperti ini...? Pasti ada alasannya, saya yakin itu", Bu Mayang menagih jawaban.
"Alfan g'ak bisa cerita buk", Alfan bicara pelan.
"Bagaimana saya bisa bantu kamu, kalau kamu tidak cerita masalahnya apa...?", Bu Mayang bicara putus asa menghadapi Alfan. Tidak biasa-biasanya Alfan memutuskan untuk diam seperti ini, biasanya Alfan selalu cerita apapun masalahnya.
Saat bel istirahat berbunyi, Bu Mayang akhirnya mengaku kalah, mengizinkan Alfan pergi ke kantin.
Bu Mayang memutuskan untuk menyusul Dito ke UKS.
"Dito... boleh saya masuk...?", Bu Mayang bertanya lembut.
"Masuk saja buk", Dito segera mengambil posisi duduk dari posisi tidur sebelumnya.
"Bagaimana keadaan kamu...?", Bu Mayang bertanya lembut.
"Selain muka yang bonyok, semua baik-baik saja buk", Dito tertawa renyah.
"Dito... sebenarnya kamu dan Alfan ada apa...?", Bu Mayang bertanya lembut.
Dito memilih menundukkan kepalanya, dari pada menjawab pertanyaan Bu Mayang.
"Jujur saja, posisi Alfan kali ini sulit. Masalah terakhir saja dia hampir di DO. Kalau masalah ini sampai ke kepala sekolah, besar kemungkinan Alfan di keluarin dari sekolah", Bu Mayang bicara lirih.
"Ibu g'ak bisa bantu kalian, kalau kalian memilih untuk diam seperti ini", Bu Mayang kembali angkat suara setelah melihat tidak ada respon dari Dito sama sekali.
"Jadi Bu Mayang kesini bukan untuk menanyakan keadaan saya, ini masih tentang Alfan", Dito tertawa pahit.
"Kalian sahabatan sudah lama, sebaiknya selesaikan semuanya dengan kepala dingin", Bu Mayang memutuskan untuk meninggalkan Dito sendirian, agar bisa berfikir dengan tenang.
Pulang sekolah semua siswa segera mengosongkan sekolah. Alfan memutuskan untuk bermain basket sendirian sebelum pulang.
Dito yang berniat ingin pulang segera mengurungkan niatnya, memutuskan untuk menghampiri Alfan.
"Fan... jangan kayak gini, kita berteman bukan dalam hitungan hari lho", Dito bicara pelan, berusaha menarik perhatian Alfan yang masih saja bermain basket, seolah Dito tidak ada.
"Fan, kenapa kamu jadi marah segitunya sama Dito...?", Dito kembali menagih jawaban kali ini, Dito menahan bola yang dilantunkan oleh Alfan ke tanah.
Alfan mengambil bola yang ada ditangan Dito, "Putusin tu cewek", Alfan bicara santai. Kemudian memasukkan bola ke ring basket.
"Fan... ayolah... kita itu sama. Itu hanya cewek Fan", Dito tertawa renyah menanggapi ucapan Alfan.
Alfan membanting bola dengan kasar, kemudian membiarkan bola menggelinding keluar lapangan. Alfan menarik kerah baju Dito.
"Dia g'ak pantas kamu mainin kayak gitu", Alfan mendorong Dito, sehingga Dito bisa melihat Disvi yang berdiri mematung di sudut lapangan.
"Disvi... aku... Dito...", Dito langsung menghampiri Disvi.
"Jangan berani sentuh aku", Disvi bicara berat, matanya memerah menahan tangis dan amarah.
"Disvi, kamu dengar dulu penjelasan aku", Dito berusaha menahan Disvi.
"G'ak ada yang perlu aku dengar lagi, semua sudah cukup jelas buat aku. Kita putus", Disvi memberikan penekanan pada setiap kata-katanya.
"Oke, kalau itu mau kamu. Cewek sok suci, dicium saja g'ak bisa. Semoga kamu dapat biksu sekalian biar bisa jagain kamu agar tetap mempertahankan label cewek baik-baik", Dito bicara asal meluapkan kekesalannya.
Alfan segera mendaratkan tinjunya ke pipi Dito, "Jaga omongan kamu", Alfan bicara kesal, berusaha menyadarkan Dito.
"Tian udah...", Disvi memeluk Alfan sembari menangis sejadi-jadinya.
"Tian bisa antar Vio pulang...", Disvi bicara lirih.
"Disvi...", Dito berusaha meraih jemari tangan Disvi.
Disvi segera menyentak tangannya, agar genggaman tangan Dito terlepas. Kemudian berlalu dari hadapan Dito.
"Fan...", Dito bicara lirih.
Alfan menatap malas kearah Dito.
"Jagain Disvi", Dito bicara dengan penuh harap.
"G'ak perlu kamu bilang, Alfan tahu apa yang harus Alfan lakukan", Alfan menjawab kesal.
"Fan...", Dito kembali memanggil nama Alfan.
Alfan kali ini tidak menjawab, hanya menatap Dito tidak berdaya.
"Terima kasih", Dito bicara lirih.
Alfan segera berlari menyusul Disvi yang sudah hampir tiba di gerbang sekolah. Alfan menarik jemari tangan Disvi, terlihat mata Disvi masih merah berusaha keras menahan tangisnya.
"Vio tunggu disini, Tian ambil motor dulu", Alfan bicara penuh harap.
Disvi tidak menjawab, kepalanya tertunduk dalam, tidak berani menatap wajah Alfan.
Alfan memegang kedua lengan Disvi lembut, "Vio tunggu disini, jangan kemana-mana. Vio dengar Tian kan...?", Alfan bertanya lembut, menatap lekat wajah Disvi.
Disvi mengangguk patuh.
Alfan segera berlari ke parkiran motor, kemudian menyusul Disvi dengan motornya. Alfan memakaikan helm untuk Disvi, kemudian selanjutnya Disvi naik ke motor Alfan tanpa protes.
Alfan mengendari motornya dengan perlahan, hingga akhirnya Alfan menghentikan motornya.
Alfan memasang standar motornya, kemudian melepaskan helm di kepalanya.
"Tian... kenapa kita kesini...?", Disvi bertanya bingung, setelah melihat sekeliling. Alfan bukannya mengantarkannya ke panti asuhan, melainkan membawa Disvi ke kebun kopi yang sebelumnya.
"Kalau mau nangis, nangis aja, g'ak usah di tahan. Kalau mau teriak, teriak saja, g'ak akan ada yang dengar, disini tidak ada siapa-siapa", Alfan bicara tanpa menoleh kearah Disvi yang telah turun dari motor Alfan.
"Dito jahat...!!! Kamu tega sama aku...!!! Dito jahat...!!!", Disvi berteriak sekuat tenaga, detik berikutnya Disvi duduk jongkok dan menangis sejadi-jadinya.