Disvi meraih jemari tangan Alfan. Spontan tatapan Alfan beralih menatap ke jemari tangan Disvi yang menggenggam jemari tangannya.
"Vio laper...", Disvi memasang jurus mata anjingnya, agar di kasihani oleh Alfan.
Alfan hanya mampu tersenyum tidak berdaya melihat kelakuan Disvi.
"Vio mau makan apa...?", Alfan bertanya lembut.
"Mie ayam", Disvi menjawab pasti.
"Siap nyonya", Alfan melakukan posisi hormat bendera.
Disvi hanya tertawa renyah menatap kelakuan Alfan.
Motor Alfan kembali merayap perlahan, Alfan menghentikan motornya tepat di depan SMP. Sudah banyak yang mengantri menunggu pesanan mereka dibuat.
"Rame banget...? Masih ada tempat kosong g'ak ya...?", Disvi bertanya bingung, menatap kiri dan kanan mencari tempat duduk yang kosong.
Alfan tidak menjawab, setelah memarkirkan motornya, Alfan menerobos kerumunan kemudian menghampiri seseorang yang sedang sibuk membuat pesanan. Alfan menepuk pelan pundak lelaki itu.
Lelaki yang di tepuk pundaknya segera menoleh ke belakang, "Astagfirullah, Alfan...", lelaki itu langsung memeluk Alfan.
"Tumben nyampe kesini...?", lelaki itu segera memberi isyarat kepada pegawainya untuk melanjutkan pekerjaannya, kemudian mengajak Alfan agak menjauh dari keramaian.
"Alfan kangen sama mie ayamnya, tapi...kayaknya rame, sudah tidak ada tempat kosong lagi", Alfan sengaja memasang muka yang sedikit kecewa.
"Kita ke rumah aja, Alfan mau apa...? Nanti di anterin", lelaki itu bertanya dengan penuh semangat.
"G'ak usahlah, Alfan sama teman", Alfan menunjuk kearah Disvi.
"Sekalian aja, bentar", lelaki itu segera mengambil buku menu, kertas dan pena. "Di lihat dulu menunya, silahkan ditulis pesanannya, ntar gampang dianterin ke rumah", lelaki itu bicara dengan penuh semangat.
Alfan menyerahkan buku menu ke tangan Disvi, menit berikutnya Alfan sudah menyerahkan kembali buku menu dan catatan pesanan mereka ke tangan lelaki yang sedari tadi sibuk melayani pelanggan.
Lelaki itu langsung menyerahkan kepada pegawainya, "Dianterin ke rumah ya", lelaki itu menepuk pelan pundak pegawainya, kemudian berlalu bersama Alfan dan Disvi menuju rumahnya.
Hanya butuh beberapa langkah dari tempat mereka berdiri sebelumnya, "Mari masuk", lelaki itu tertawa renyah setelah membuka pintu rumah.
"Assalamu'alaikum", Disvi mengucap salam sebelum masuk kedalam rumah.
"Wa'alikumsalam", lelaki itu menjawab santai.
"Sepi amat, kemana para penghuni...?", Alfan menatap kiri kanan.
"Lagi pada keluar kota, ngantar si bungsu mau mondok", lelaki itu bicara pelan.
Alfan asik bercerita dengan lelaki itu, dari cerita lelaki itu Disvi akhirnya tahu. Lelaki itu satu sekolah saat SMP dengan Alfan, lelaki itu sering di bully karena pendiam dan pintar. Alfan yang selalu menjadi tameng untuk lelaki itu.
Tidak perlu menunggu lama, pesanan Alfan dan Disvi sudah datang.
"Alfan jadi g'ak enak nih, Adam g'ak sekalian makan?", Alfan mulai dengan basa-basinya.
"Santai saja, tiap hari juga Adam yang buat itu. Hahahaha", lelaki itu tertawa renyah.
Setelah menghabiskan makanan, Alfan dan Disvi segera pamit. Adam tidak mau menerima uang untuk membayar makanan pesanan Alfan dan Disvi.
Alfan mengantar Disvi kembali ke panti asuhan.
"Terima kasih untuk hari ini", Disvi bicara pelan, saat mengembalikan helm Alfan.
"Kembali kasih", Alfan tersenyum lembut, sebelum berlalu begitu saja dari hadapan Disvi.
Alfan memilih untuk menuju tempat balapan, karena musuh bebuyutan Alfan kembali menantang Alfan. Kali ini musuh bebuyutan Alfan menaikkan taruhan menjadi 3 kali lipat, seperti biasa Alfan menang lagi.
Begitu menerima amplop dari hadiah kemenangannya, seperti biasa Alfan hanya mengambil seperlunya, kemudian menyerahkan kepada temannya.
"Alfan langsung pulang ya, capek", Alfan berpamitan, dan berlalu begitu saja.
"Aryo, Alfan kenapa...?", seorang perempuan menghampiri Aryo yang melepas kepergian Alfan.
"Kan dia udah bilang, dia capek barusan", Aryo bicara santai, kemudian menyerahkan amplop yang diberikan oleh Alfan ke tangan perempuan itu.
"Alfan g'ak seperti biasanya, dia ada masalah...?", perempuan itu kembali bertanya.
"Nisa yang cantik, manisku, kalau Alfan g'ak cerita apa-apa itu artinya dia baik-baik saja. So... tolong diatur ya uangnya, seperti biasa. Aryo juga mau pulang, capek", Aryo segera berlalu dari hadapan Nisa bersama motornya.
Aryo memutuskan untuk ke sekolah karena ada latihan basket. Sesuai dugaannya Alfan sedang tidur di lapangan basket dengan bola basket sebagai bantalnya.
Aryo menendang bola basket, beruntung respon Alfan cepat, sehingga kepalanya tidak terbentur ke lantai.
"Setan alas", Alfan mengupat kesal, kemudian duduk dengan merangkul kakinya yang panjang.
Aryo tertawa melihat kekesalan Alfan, "Udah Aryo duga kamu pasti disini. Ada apa lagi...?", Aryo duduk di samping Alfan.
"Saat pulang mengantar pacar Dito pulang, Alfan lihat Dito sama cewek lain", Alfan bicara lirih.
"Terus hubungannya sama kamu apa boy...?", Aryo bertanya santai.
"Alfan kasihan saja sama ceweknya. Dia baik banget, dia sama sekali g'ak pantas dimainin sama Dito kayak gitu", Alfan bicara pelan.
"Hei... sejak kapan kamu pakai hati gini...? Kayaknya g'ak Alfan banget deh", Aryo kembali tertawa terbahak-bahak.
"Resek kamu", Alfan memukul lutut Aryo asal.
Aryo bukannya marah, malah tertawa terbahak-bahak, "Kalau kamu suka, tembak aja boy. Jangan di tahan", Aryo nyeletuk asal.
"Bodoh ah", Alfan kembali mengambil bola basket, kemudian main sendirian.
"Jangan bilang kamu g'ak berani nembak tu cewek", Aryo bertanya asal.
Alfan terdiam dengan memegang bola basket, setelah mendengar pertanyaan Aryo.
"Astagfirullah Fan, kamu beneran jatuh cinta sama ni cewek...?", Aryo bertanya dengan suara setengah berteriak.
"Alfan jatuh cinta sama siapa...?", terdengar suara perempuan dari arah belakang Aryo.
Alfan menatap tajam kepada Aryo yang masih duduk.
"Aku g'ak ikutan", Aryo langsung berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke langit, sebagai isyarat tidak ingin ikut campur. Kemudian berlalu kearah kantin sekolah, mengawasi Alfan dari jauh.
"Siapa yang jatuh cinta Fan...?", perempuan itu kembali menagih jawaban Alfan.
"Aryo, naksir anak motor", Alfan menjawab asal.
Kemudian kembali memasukkan bola kedalam ring dengan sempurna.
"Kamu g'ak bohongkan Fan...?", perempuan itu kembali bertanya.
"Alfan capek, kita udahan aja ya", Alfan bicara pelan, tetap fokus memasukkan bola ke ring basket.
Perempuan itu segera menarik bahu Alfan, "Kamu becandakan Fan...?", perempuan itu kembali menagih jawaban.
"Alfan capek ngadapin sikap kami yang kayak anak-anak. Curigaan mulu, ngambekan kayak anak bocah", Alfan memuntahkan kata-kata kasar untuk menyakiti perempuan yang ada dihadapannya.
"Fan... aku...", perempuan itu mulai menangis.
"Udah deh, g'ak usah drama. Bisa pulang sendirikan...? Alfan ada latihan", Alfan bicara santai tanpa menoleh menatap lawan bicaranya.
Sebuah tamparan langsung mendarat di pipi Alfan dengan sempurna. Detik berikutnya, perempuan itu langsung berlari menjauh meninggalkan Alfan.
Keesokan harinya, Alfan datang terlambat ke sekolah. Beruntung pada jam pertama guru tidak masuk, hanya memberikan tugas.
Sama seperti sebelumnya, Alfan memilih untuk menghindar dari Disvi, bahkan lebih banyak diam didepan Disvi.
Pulang sekolah, Alfan kembali mengantarkan Disvi pulang. Kali ini, Alfan langsung mengantarkan Disvi ke panti asuhan. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Alfan sepanjang perjalanan.
"Tian kenapa...?", Disvi segera menahan Alfan begitu turun dari motor Alfan.
"G'ak apa-apa", Alfan menjawab pelan.
"Tian marah sama Vio...? Kenapa Tian dingin sama Vio sejak tadi pagi. Perasaan kita kemarin baik-baik saja", Disvi kembali menagih jawaban.
"Tian minta tolong boleh...?", Alfan bertanya pelan.
"Apa...?", Disvi bertanya bingung.
"Tolong jangan mempersulit posisi Tian, Tian capek", Alfan bicara penuh harap.
"Vio...? Tian ngomong apa...? Kitakan temen, Tian tahu sendiri Vio pacaran sama Dito", Disvi memperjelas hubungan mereka.
"Justru karena kamu pacar sahabat Tian, itu yang jauh lebih mempersulit posisi Tian", Alfan memberikan penekanan pada setiap kata-katanya.