Chapter 5 - Orang lain

Keesokan harinya, Disvi berangkat ke sekolah seperti biasanya. Ada yang berbeda dari sikap Alfan hari ini, Alfan hanya cuek tidak banyak bicara. Bahkan setiap ada jam kosong, Alfan lebih memilih untuk keluar dari kelas menghindar dari Disvi.

Disvi hanya diam melihat tingkah Alfan. Begitu bel istirahat berbunyi, Dito menghampiri Disvi.

"Hei... dari tadi bengong saja, kesambet baru tahu rasa kamu", Dito membuyarkan lamunan Disvi.

Disvi melemparkan senyum tipis.

"Yuk ke kantin, Dito lapar nih", Dito menggosok perutnya pelan.

Disvi hanya mengikuti langkah Dito, begitu masuk kantin, tatapan Disvi langsung tertuju kepada Alfan yang sedang makan sendirian di sudut kantin.

"Tian...", Disvi menghampiri Alfan, sementara Dito memesan makanan.

Alfan segera menghabiskan minumannya, dan beranjak dari kursinya.

"Bentar Yo", Alfan segera mengejar Aryo yang sudah berada di pintu kantin, dan berlalu begitu saja dari hadapan Disvi yang semakin bingung.

"Hei... kok malah bengong, bukannya langsung duduk...?", Dito menghampiri Disvi setelah mendapatkan pesanannya.

"Ayo dimakan", Dito kembali membuyarkan lamunan Disvi.

Disvi hanya tersenyum tipis membalas ucapan Dito.

Disvi hanya setengah hati menghabiskan makanannya, otaknya masih berputar memikirkan perubahan sikap Alfan yang menjadi 180 derajat dari terakhir kali mereka bertemu semalam.

'Apa aku buat salah sama Tian...? Tapi... apa...? Perasaan semalam kami baik-baik saja', Disvi membatin.

***

Alfan memilih untuk kembali ke dalam kelas, mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian olahraga. Karena setelah jam istirahat pelajaran olahraga. Aryo memilih untuk duduk di hadapan Alfan yang sedang mengganti pakaian.

"Kamu kenapa...?", Aryo bertanya pelan.

"Apanya...?", Alfan berusaha menghindar dari menjawab pertanyaan Aryo.

"Kamu sama Disvi", Aryo memutuskan untuk langsung bicara to the poin.

"G'ak ada apa-apa", Alfan lagi-lagi berusaha menghindar.

Saat Disvi muncul dari daun pintu bersama Dito, Alfan memutuskan untuk menuju lapangan. Aryo dengan setia mengekor di belakang Alfan.

Setelah bel masuk berbunyi, kelas segera kosong, semua melakukan pemanasan di lapangan. Setelah mengabsen, siswa menyebar mengisi lapangan. Ada yang membagi tim untuk main basket, sepak bola, sepak takraw, volly.

Sedangkan Disvi memilih untuk duduk bersandar di daun pintu kelas, tatapannya tidak lepas dari Alfan yang berlarian mengejar bola basket di lapangan. Sesekali tawa Alfan pecah bersama teman-temannya, saat Alfan berhasil memasukkan bola ke ring.

Dito menghampiri Alfan yang duduk tepat ditengah lapangan, setelah permainan selesai.

"Fan, Dito ada seleksi Paskibraka siang ini, Dito titip Disvi ya, anterin pulang. Kayaknya seminggu ini Dito akan fokus seleksi", Dito bicara penuh harap.

"Kenapa Alfan...?", Alfan menatap bingung wajah Dito, masih mengatur nafasnya yang tersengal.

"Hanya Alfan yang Dito percaya untuk jagain Disvi selama Dito g'ak ada. Disvi orang baru disini, dia belum kenal siapa-siapa", Dito bicara panjang lebar, kemudian menepuk pelan pundak Alfan.

"Kamu g'ak takut aku nikung kamu nantinya...?", Alfan melemparkan pertanyaan acak.

"G'ak mungkin lah kamu nikung aku Fan, aku nitip Disvi ke kamu, karena aku percaya sama kamu", Dito tertawa renyah.

"Bagaimana kalau malah dia yang jatuh cinta sama Alfan...?", Alfan memberi isyarat dengan dagunya kearah Disvi yang duduk di daun pintu kelas sendirian.

Dito mengikuti arah isyarat Alfan, terlihat Disvi yang sedang duduk sendirian di daun pintu kelas, menatap kosong kearah lapangan basket.

Suasana hening seketika, bahkan Dito tidak tahu harus merespon ucapan Alfan seperti apa. Otak Dito segera bekerja, mencari makna lain dari ucapan Alfan.

"Alfan becanda", Alfan segera beranjak dari posisinya, memukul pelan pundak Dito. Kemudian kembali bermain basket dengan teman-temannya.

Saat bel pulang sekolah berteriak nyaring, Alfan memutuskan untuk melangkah ke parkiran motor lebih cepat dari biasanya. Kemudian segera menyusul Disvi yang baru saja keluar gerbang sekolah.

"Ojek mbak...?", Alfan bertanya pelan, khas dengan nyengir kudanya.

Disvi tidak banyak basa-basi, segera naik ke bangku penumpang setelah menerima helm dari Alfan.

"Tian...", Disvi memanggil nama Alfan pelan.

Alfan segera mengerem motornya, kemudian menoleh kebelakang menatap lekat wajah Disvi.

"Jangan langsung pulang dulu bisa g'ak...?", Disvi bertanya lirih.

"Vio mau kemana...?", Alfan bertanya lembut.

"Kemana saja", Disvi menjawab pelan, dengan kepala tertunduk.

Motor Alfan kembali merayap perlahan diatas aspal jalanan.

Alfan menghentikan motornya di tempat yang tidak ada siapa-siapa. Alfan memasang standar motornya, kemudian duduk menatap jauh ke depan.

"Kita ada di mana Tian...?", Disvi bertanya bingung, saat melihat Alfan sudah mengatur posisi duduk yang nyaman diatas motor.

"Kebun kopi", Alfan menatap lekat wajah Disvi, kemudian melemparkan senyum terbaiknya.

"Punya siapa...?", Disvi bertanya bingung.

"Punya oranglah, masa punya Tian. Mana punya Tian uang buat beli ladang seluas ini", Alfan tertawa renyah.

Disvi hanya tersenyum menjawab candaan Alfan.

"Vio tahu g'ak...? Tian punya cita-cita yang sederhana", Alfan bicara santai, tanpa menoleh kearah Disvi yang duduk tepat disampingnya.

"Apa...?", Disvi menatap lembut kearah Alfan.

"Suatu saat nanti, saat Tian sudah menikah. Tian mau membuat rumah di puncak, yang suasananya masih asri. Jauh dari kebisingan kota, hanya ada Tian dan keluarga kecil Tian saja", Alfan bicara lirih.

"Mimpi yang sederhana dan indah", Disvi memberi komentar acak, kemudian tersenyum lembut.

Alfan kemudian perlahan mengalihkan tatapannya kearah Disvi, "Vio mau menjadi bagian yang akan mewujudkan mimpi itu bersama Tian...?", Alfan menatap Disvi penuh harap.

Disvi tidak menjawab, hanya menatap lekat wajah Alfan berusaha mencari jawaban atas tanya yang tidak terucap.

"Setan alas, Tian ngeledek Vio", Disvi memukul pelan lengan Alfan.

Alfan tertawa terbahak-bahak melihat kekesalan Disvi.

Setelah tawa Alfan reda, Disvi menundukkan kepalanya dalam.

"Vio kecewa Tian", Disvi bicara sangat pelan.

"Kecewa...? Kenapa...?", Alfan bertanya bingung, keningnya segera berkerut.

"Vio pikir Tian serius melemparkan pertanyaan tadi", Disvi bicara lirih.

"Ah... maksudnya...?", Alfan mulai salah tingkah.

Disvi tidak berani mengangkat kepalanya, tidak berani menatap bola mata Alfan.

"Vio... Tian minta maaf", Alfan bicara penuh harap, kemudian berdiri tepat di hadapan Alfan.

"Vio... lihat Tian, Tian minta maaf", Alfan bicara penuh harap.

"Maaf untuk apa...? Maaf karena telah mengecewakan Vio, atau maaf karena Tian hanya becandain Vio saja...?", Disvi bertanya sengit, bola matanya memerah karena menahan tangis.

"Tian yang salah, Tian minta maaf. Vio jangan nangis, Tian yang salah. Tian...", Alfan tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena Disvi sudah tertawa terbahak-bahak.

Alfan mengerutkan keningnya, kemudian duduk di jalan dengan kesalnya.

Disvi duduk di samping Alfan, "Gimana rasanya di PHP-in...?", Disvi bertanya pelan, kemudian menatap wajah Alfan.

Alfan memilih untuk menoleh kearah lain, berusaha keras menahan amarahnya. Menghindar dari tatapan Disvi.

"Hei... Tian marah...? Vio hanya bercanda", Disvi menyenggol lengan Alfan dengan sikunya.

Alfan berdehem pelan, "Balik yuk, udah sore", Alfan bicara pelan menatap lembut ke wajah Disvi penuh harap.