Chapter 4 - Aku nol besar

Alfan memilih untuk diam sepanjang jam pelajaran berlangsung. Begitu bel pulang sekolah berteriak nyaring, Alfan memilih beranjak dari bangkunya bersama tas menuju lapangan basket.

Sesuai jadwal, hari ini Alfan ada seleksi pemilihan kapten tim basket. Alfan membuang asal tasnya di ujung lapangan, detik berikutnya Alfan sudah asik berkejaran dengan bola.

"Yang, yuk balik", Dito menghampiri Disvi.

Disvi hanya mengangguk patuh.

"Fan, duluan", Dito bicara setengah berteriak.

Alfan hanya memberikan isyarat Ok kepada Dito.

Dito merangkul pundak Disvi, menuju lapangan parkir mobil.

Alfan langsung duduk bersila di lantai lapangan basket, membiarkan bola basket menggelinding keluar lapangan.

"Kenapa bro...?", seorang teman lelaki Alfan meraih bola yang masih menggelinding, kemudian ikut duduk di samping Alfan.

"Capek", Alfan bicara lirih.

"Baru juga main udah capek aja", lelaki itu nyeletuk asal.

Satu persatu teman-teman Alfan berdatangan, seleksipun segera dilaksanakan. Alfan akhirnya terpilih menjadi kapten tim basket.

"Duluan bro", teman-teman Alfan mulai pamit pulang.

Alfan memilih untuk merebahkan tubuhnya dengan tasnya menjadi bantal.

"Udah terpilih, bukannya bahagia kamu Fan", lelaki yang tadi ikut berbaring di samping Alfan.

"Alfan hanya lagi banyak pikiran aja", Alfan bicara pelan.

"Alah... gaya kamu Fan, kayak pejabat negara saja. Bahasanya berat banget", lelaki itu tertawa renyah.

Alfan tertawa hambar, "Ada satu cewek yang menarik perhatian Alfan beberapa hari ini", Alfan memutuskan untuk bicara jujur.

"Target baru lagi Fan...? Dapat aja lagi kamu Fan...", lelaki itu tertawa renyah.

"Kali ini beda Aryo", Alfan bicara lirih.

"Beda gimana...?", lelaki itu mengalihkan tatapannya kearah Alfan.

"Dia cuek banget, sama sekali g'ak mempan Alfan gombalin", Alfan bicara jujur.

Spontan lelaki itu langsung duduk bersila, menatap lekat wajah Alfan.

"Emang ada cewek yang berani menolak pesonanya seorang Alfan Bagustian...?", lelaki itu tertawa renyah.

"Sialan", Alfan menendang pelan kaki Aryo.

"Masa seorang playboy sekelas Alfan nyalinya langsung ciut gara-gara di cuekin cewek", lelaki itu kembali tertawa renyah.

"Ditambah lagi, dia udah punya pacar", Alfan bicara lirih.

"Memangnya seorang Alfan perduli yang begituan...? Sejak kapan kamu pernah mengikuti jalur yang benar...?", Aryo tertawa meremehkan Alfan.

"Dia pacarnya Dito", Alfan kembali menimpali.

"Wah... bunuh diri kamu Fan", Aryo tertawa terbahak-bahak.

"Alfan bingung, kenapa ini cewek berbeda sama cewek yang pernah Alfan deketin sebelumnya. Aryo tahu saja kelakuan Dito kayak apa. Alfan g'ak rela dia disakitin sama Dito", Alfan bicara lirih.

"Kamu berani g'ak rebut dia dari Dito...?", Aryo bertanya asal.

"Kamu kayak baru kenal aku kemarin sore aja, playboy gini pantang ngerebut pacar teman sendiri", Alfan bicara pelan.

"Yah... dia ngaku kalau dia playboy, hahahaha", Aryo tertawa renyah. "Kalau malah tu cewek yang balik ngejar kamu gimana...?", Aryo melemparkan pertanyaan acak.

"Hah...", Alfan bertanya bingung, berusaha menghindar dari menjawab pertanyaan Aryo.

"Hahahaha, udah sore. G'ak balik kamu", Aryo segera beranjak dari posisi duduknya.

***

Disvi memilih untuk mencari makanan sendirian, Disvi melangkah acak tanpa tujuan. Sebuah motor tiba-tiba menghalangi langkah Disvi.

Disvi hanya diam membisu, yang duduk diatas motor segera membuka kaca helm-nya agar Disvi bisa tahu dirinya.

"Astagfirullah, Tian...", Disvi bicara lega.

Alfan nyengir kuda, "Memangnya Vio sangka siapa...?", Alfan berpangku tangan di atas stang motornya, mendekatkan wajahnya dengan wajah Disvi.

Disvi segera mundur satu langkah.

"Vio mau kemana...?", Alfan bertanya pelan, kembali memperbaiki posisinya menjadi duduk sempurna.

"Laper, cari makan", Disvi bicara sembari mengusap perutnya.

"Mau cari cemilan, atau makanan berat sekalian...?", Alfan kembali bertanya.

"Lagi males makan nasi", Disvi menjawab santai.

"Naik", Alfan memberi perintah, segera memberikan helm kepada Disvi.

Disvi hanya mengikuti perintah Alfan tanpa protes. Setelah Disvi naik, Alfan menjalankan motornya dengan perlahan. Alfan memilih untuk diam, Disvipun demikian.

Alfan menghentikan motornya saat menemukan penjual sate langganannya. Alfan segera memarkirkan motornya, kemudian mengambil posisi tepat di samping penjual.

"Ayam, kambing, kelinci, sapi, kerang...?", Alfan bertanya menatap kearah Disvi.

"Ayam", Disvi bicara pelan, mengambil posisi duduk yang nyaman, dengan tanpa melepaskan tatapannya dari Alfan yang mulai sibuk membakar sate.

Hanya dalam hitungan menit, Alfan sudah membawa dua piring sate lengkap dengan lontong dan acar kehadapan Disvi.

"Pesanannya nyonya", Alfan bicara manis, kemudian melemparkan senyuman terbaiknya.

Disvi hanya tersenyum menerima pemberian Alfan.

"Mau minum apa...?", Alfan kembali bertanya lembut.

"Apa aja", Disvi menjawab santai.

"Cak, jual minuman apa aja g'ak...?", Alfan bertanya polos.

Tawa Disvi pecah seketika.

Alfan menikmati pemandangan langka di hadapannya, entah kenapa jantungnya berdegup kencang melihat tawa Disvi.

"Kenapa melihat Disvi seperti itu...?", Disvi bertanya salah tingkah.

"Vio cantik kalau tertawa", Alfan bicara penuh makna.

"Ehem...", Disvi berdehem pelan, kemudian mulai memakan makanannya.

Alfan tersenyum melihat Disvi salah tingkah, Alfan segera beranjak dari posisinya mengambil dua botol air mineral. Membuka satu botol, sebelum menyerahkan kehadapan Disvi.

Setelah menghabiskan makanannya, Disvi segera memanggil penjual untuk membayar. "Berapa cak...?", Disvi bertanya pelan.

"Sudah dibayar dek sama Alfan", penjual sate menjawab pelan.

Disvi segera menatap kearah Alfan yang nyengir kuda sembari melambaikan telapak tangan kanannya.

"Kok di bayarin, kan Disvi yang ngajakin makan...", Disvi mulai protes.

"G'ak ada sejarahnya seorang Alfan Bagustian dibayarin cewek makan", Alfan bicara pelan, kemudian segera menaiki motornya. "Ojek mbak...?", Alfan menyodorkan helm ke hadapan Disvi.

Disvi memukul pelan pundak Alfan sebelum mengambil helm dari tangan Alfan. Alfan hanya tertawa renyah menerima pukulan dari Disvi.

"Terima kasih cak", Disvi bicara pelan, sesaat sebelum berlalu bersama Alfan.

Saat di jalan pulang Disvi meminta berhenti saat melihat ada penjual jagung bakar, Alfan memilih untuk duduk diatas motor saja kali ini.

"Tian mau...?", Disvi bertanya disela senyumnya.

"Boleh, pedas", Alfan menjawab pelan.

Setelah memesan, Disvi memutuskan untuk duduk di trotoar jalan menatap kearah Alfan yang duduk diatas motornya.

"Tian tahu dari mana penjual sate tadi...?", Disvi bertanya pelan.

"Kenapa memangnya...?", Alfan bertanya bingung.

"Satenya enak", Disvi bicara pelan.

"Ya jelas enak lah, kokinya orang ganteng gini", Alfan tertawa renyah, sembari menarik kerah bajunya sombong.

"Aku tarik kembali ucapan ku barusan", Disvi bicara kesal.

Alfan bukannya marah, malah tertawa terbahak-bahak.

"Vio... kamu g'ak malu jalan sama aku...?", Alfan bertanya lirih, menatap lekat wajah Disvi.

"Kenapa mesti malu...?", Disvi mengerutkan keningnya.

"Aku nol besar", Alfan bicara lirih.

"Kamu ngomong apa sih...?", Disvi memukul pelan pundak Alfan.

"Yang ada di pikiran orang-orang itu, bagaimana caranya menghindar dari aku. Sebab di manapun aku berada, aku hanya membawa masalah dan bencana. Keluarga aku saja, tidak ada yang perduli sama aku Vio", Alfan bicara kata perkata dengan memberikan penekanan pada setiap kata-katanya.

"Tian jangan terlalu merendahkan diri sendiri", Disvi memukul pelan pundak Alfan, memberikan kekuatan kepada Alfan.

"Vio... jangan pernah tinggalin aku", Alfan bicara penuh harap.