Nindya POV
Aku hanya berdua dengan bu Hera di ruangan BK, ruang angker dan sangat dihindari oleh teman-temanku. Tapi aku benar-benar tidak kuat kalau harus terus pura-pura baik-baik saja ketika mamah dan papah beserta adikku kembali merantau ke Cikarang. Mereka hanya pulang sesaat, paling lama sepuluh hari berada di rumah, itu pun dengan cerita dan keluhan tentang uang yang kerap kali aku dengar.
Lantas kalau mereka tetap kekurangan kenapa tidak diam saja di sini bersamaku, setidaknya meski aku akan kekurangan uang jajan dan lainnya, tetapi aku tidak akan kekurangan kasih sayang dan perhatian dari mereka.
Aku bingung, berada di depan ibu Hera hanya satu yang ingin aku lakukan, yakni menumpahkan tangisku saja di depannya. Tangis yang selama ini selalu kutahan.
Bayangkan aku dipaksa untuk bisa mandiri tinggal di rumahku hanya seorang diri. Rumah emak dan bapak orang tua dari mamah memang bersebelahan dengan rumahku. Namun, aku lebih memilih tetap tidur dan menghabiskan seluruh waktuku sepulang sekolah di rumah sendiri.
Keluarga emak dan bapak yang aku panggil dengan sebutan, uwak dan bibi selalu bilang aku malas, selalu bangun siang, tidak bisa membersihkan rumah, tidak bisa mengurus diri. Entahlah mereka ingat atau tidak kalau aku masih belum lima belas tahun saat itu.
Aku kesiangan karena setiap malam tidak bisa menutip mata, rindu, rindu mamah dan adikku.
Aku sudah berusaha mencoba menyapu rumah, meskipun kata mereka rumahku kotor. Namun, setiap pagi aku selalu berusaha menyapu dengan benar menurutku.
Aku tidak masak karena memang mamah tidak pernah mengajariku memasak sebelumnya.
Aku selalu menunda waktu mencuci baju karena sepulang sekolah aku makan dan mengerjakan tugas, hingga seringnya ketiduran dan melanjutkannya di malam hari. Tentu saja aku tidak berani berada sendirian di rumah dan ditambah harus berlama-lama mencuci di kamar mandi malam hari.
Entah apa aku yang bodoh tidak bisa mengatur waktu, tetapi kata guru aku siswa yang cerdas karena selalu berada di peringkat satu.
Atau mungkin aku yang pemalas, tetapi aku merasa tidak pernah membuang-buang waktu.
Lantas pada siapa aku harus mengadu kebingunganku, ketidaktahuanku mengurus rumah, kesepianku, dan juga kerinduan yang kerap menyiksaku saat malam sendiri membayangkan pelukan mamah seperti saat ak masih berada didekatnya
Aku tak bisa mengeluh karena setiap hari mereka terlebih dahulu memgeluhkan sikapku.
Kata guru aku termasuk siswa introvert, pendiam dan suka sendiri. Namun, aslinya aku tidak suka sendiri, aku hanya bingung bagaimana merespon keluhan dan komentar mereka mengenai segala sikapku yang selalu dianggap salah.
Sejak saat itu aku lebih memilih diam, diam membiarkan mereka membicarakanku sesuka hati mereka.
Sejak itu aku lebih suka mengurung diri di rumah dari pada berkumpul dengan keluarga besarku yang oastinya berujung mengomentari segala kekuranganku. Memang yang mereka katakan benar, hanya saja aku bingung bagaimana membela diri di depan mereka. Yang pada akhirnya, diam adalah cara terbaikku menghibur diri.
_____I.S_____
"Nindi, minum dulu," suara Hera menyadarkan Nindya dari lamunannya.
Entah sejak kapan di meja sudah ada sebotol teh sosro dingin. Nindya meraih dan meminumnya,
"Nindi, boleh ibu tanya sesuatu?"
Nindya mengangguk mempersilakan Hera untuk mengajukan pertanyaan padanya.
"Nindi pernah ikut mamah dan papah merantau?"
Nindya kembali mengangguk. Jemari tangannya memilin-milin ujung hijab yamg dia kenakan untuk menghilangkan rasa gugup.
"Nindi suka ketika ikut merantau?"
Yang ditanya kembali mengangguk. Hera mengambil napas dalam menetralkan rasa gemasnya pada siswa yang duduk berhadapan dengannya sekarang. Pasalnya, tiga kali dia bertanya tiga kali pula hanya dibalas dengan anggukan.
Akhirnya, dia bergeser berpindah duduk di long sofa bersama Nindya.
"Kamu mau ikut merantau kembali bersama mamah papah atau kamu mau tinggal di sini bersama mereka?" tanya Hera sambil meraih tangan kanan Nindya yang masih mempermainkan ujung hijabnya. Nindya mengangkat wajah menatap Hera.
"Apapun asal bersama mereka," desisnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?" lanjut Hera.
Nindya menatap Hera penuh kebingungan, kepalanya menggeleng.
Hera menjelaskan maksud pertanyaannya. Yakni, bagaimana perasaan Nindya saat berjauhan dengan orang tua dan adiknya, Hera juga menyampaikan harapannya agar Nindya mau lebih terbuka dan menceritakan semua yang dia rasakan agar mempermudah Hera mencari cara penyelesaian terbaik.
Jika setiap pertanyaan yang Hera ajukan hanya dijawab dengan anggukan dan gelengan. Sudah dipastikan Hera tidak bisa menentukan langkah yang akan dia ambil untuk membantu Nindya.
"Aku merasa seperti terbuang. Aku hidup sendiri tanpa mama dan papah. Aku dituntut menyelesaikan apapun secara mandiri. Ketika aku bingung, tak ada tempat bertanya. Ketika aku mengadu, tanpa tahu apa yang aku rasakan mereka menyalahkan aku yang tidak benar mengurus diri."
"Aku ini anak-anak yang tidak bisa melakukan apapun tanpa bimbingan orang tua. Aku mau seperti teman-temanku yang menikmati kebebasan mereka tanpa pengawasan mamah dan papah, tapi hatiku menolak karena aku tahu seberapa keras papah melewati hari-harinya dengan bekerja. Aku gak mau mengecewakan mereka."
Nindya menarik napas dalam mencoba meredakan emosinya yang seolah tak lagi bisa dikontrol.
"Aku cuma anak-anak biasa, aku punya keinginan. Aku punya rasa takut. Aku punya rindu. Aku...." Nindya tak bisa meneruskan kalimatnya.
Air mata begitu deras mengalir membasahi pipinya. Hera membawa Nindya ke dalam pelukannya. Membiarkan Nindya menumpahkan tangis dan semua rasa yang selama ini dipendam.
Berat memang menjalani hidup sendiri tanpa pendampingan dari kedua orang tua. Namun, Hera paham kalau orang tua Nindya melakukan ini semata-mata untuk mencukupi kebutuhan sang anak agar masa depan Nindya lebih baik.
Di desa mereka sangat minim lapangan pekerjaan. Daya beli masyarakat pedesaan pun kurang sehingga tidak sedikit orang merantau ke kota untuk berdagang. Kebanyakan masyarakat di desa Nindya merantau untuk berdagang aneka gorengan. Bahkan, beberapa dari mereka memilih membeli rumah di sana. Mereka merantau ke Jabodetabek, Bandung, Lampung, dan di kota-kota besar lainnya.
Para perantau yang sudah berhasil membeli sawah dan membangun rumah untuk modal pensiun. Akhirnya, memilih menetap kembali di kampung halaman. Namun, tidak sedikit pula yang hasil merantau hanya cukup memenuhi kebutuhan harian saja.
"Minum, Nin," tawar Hera menyodorkan teh sosro yang tinggal setengah.
Nindya menerima minuman yang disodorkan Hera dan meminumnya sedikit, dia menarik napas dalam sebelum kembali mengungkapkan unek-uneknya yang selama ini sudah disimpan sendiri.
Unek-unek mengenai komentar-komentar pedas uwak, bibi dan keluarga dari pihak nenek dan kakeknya yang tinggal berdekatan. Meskipun dia merasa apa yang dikatakan keluarganya memang benar. Namun, dia bingung bagaimana harus menata dirinya agar bisa seperti apa yang dikatakan mereka.
Sesekali isakan Nindya kembali terdengar saat bercerita. Hera kerap kali mengulurkan tisu pada Nindya untuk menyeka air matanya, dengan sabar Hera terus mendengarkan cerita yang keluar dari mulut Nindya tanpa menginterupsi atau pun memotong kalimatnya.