Dari hasil diskusi, mereka memutuskan tidak perlu memanggil Nindya sekarang. Menurut Lela, lebih baik mereka nanti membahas masalah ini di rumah saja. Biar mereka bertiga bicara dari hati ke hati di saat yang dianggap tepat untuk menanyakan hal ini pada Nindya langsung.
"Ibu bisa ngomong perlahan ke Nindya, apakah dia tertarik untuk melanjutkan sekolahnya di pesantren, sekolah sambil mondok gitu Pak, Bu, agar dia tidak merasa kesepian di rumah," saran Hera
"Pas SMP dia memang ingin mondok bu, tapi saya gak setuju. Kasian bu tinggal di pondok, gak tega," cetus Lela.
"Loh kok gitu, lebih kasian lagi dia tinggal di rumah sendirian 'kan bu, kesepian."
"Nanti kami bicarakan ini dengan Nindi, Bu," kata Hadi.
Hera berpesan agar mereka mengajak Nindya bicara tanpa emosi. Takutnya dia malah terpaksa menjalani keputusan yang mereka ambil.
"Susah memang ngurus anak-anak ya, Bu. Terlalu dimanja nanti ngelunjak, terlalu dikerasin salah," keluh Lela.
"Iya Bu, namanya juga anak-anak. Namun, bagaimanapun mereka amanah yang dititipkan Tuhan pada kita. Mesti kita jaga, kita bimbing, dan kita sayangi."
"Mesti banyak-banyakin sabar ya, Mah," sambung Hadi.
Hera mempersilakan mereka minum, mereka pun membahas sekilas para tetangga yang tinggal di sekitar lingkungan Hera dan Lela, yang juga berprofesi sama. Pedagang gorengan keliling yang merantau ke kota. Dari sana Lela dan Hadi tahu, mereka beruntung meskipun meninggalkan Nindya sendiri di rumah, tapi Nindya bisa menjaga pergaulan. Tidak terlibat pergaulan bebas, juga termasuk siswa yang berprestasi di sekolah.
Banyak hal yang mereka syukuri, meskipun tak sedikit keluarga mereka yang mencibir dikap pendiam dari Nindya, si sulung. Nindya yang bagai kepompong, tak pernah berbaur dan keluar dari rumah. Nindya yang lebih suka menghabiskan waktunya tidur dan bermalas-malasan di kamar daripada berkumpul dengan keluarga atau tetangga.
"Setiap anak itu istimewa, Bu. Jangan pernah bandingkan mereka dengan anak orang lain, itu pasti menyakitkan," pesan Hera.
"Iya bu, terima kasih untuk nasehat dan bantuannya. Insyaallah kami akan belajar lebih sabar lagi dalam mendidik dan menuntun Nindya," ucap Hadi.
"Siap pak, bu. Terima kasih sudah datang memenuhi undangan saya. Jauh-jauh dari Cikarang disepatkan mudik. Sukses terus ya pak, buat usahanya."
"Tidak apa-apa, Bu. Demi anak, rasanya apa pun kami lakukan selagi mampu," jawab Hadi.
Mereka pun berjabat tangan sebelum Hadi dan Lela keluar dari ruangan Hera.
_____I.S___
Kokok ayam menjemput fajar yang menyingsing. Lela membangunkan Nindya untuk salat subuh berjamaah di rumah. Mereka sama sekali belum membahas perihal obrolan mereka dengan Hera. Semalam mereka benar-benar menjadikan waktu berkumpul mereka untuk bercanda dan bermain bersama Nindya dan Nela, Quality time bersama keluarga yang sangat jarang mereka lakukan sekarang.
"Nin, papah kemarin ke sekolah," ucap Hadi usai salat subuh, setelah Nindya mencium tangan Hadi dan Lela secara bergantian.
Nindya yang sedang melipat mukena berhenti sesaat untuk menatap sang papah.
"Maaf kalau berjauhan dari kami membuatmu kesepian."
Mata Nindya berkaca-kaca mendengar penuturan Hadi.
"Maaf kalau selama menjadi orang tua Nindi, papah dan mamah kurang memperhatikan Nindi. Papah sangat sayang Nindi, mamah sayang Nindi. Semua keluarga kita sayang Nindi. Mungkin, cara penyampaian sayang dan perhatian kami yang salah."
Hadi menggenggam jemari Nindya. Dia menarik napas sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Mamahmu hanya lulusan SMP, sama seperti kamu, dia juga dulu tinggal sendiri di rumah karena emak dan bapak merantau. Papah juga lulusan SMP. Namun, papah berharap Nindya bisa sekolah setinggi-tingginya meskipun cuma seorang anak pedagang gorengan, tetapi papah ingin melihat Nindya bisa jadi sarjana," ungkap Hadi.
Air mata mulai menetes perlahan membasahi pipi Nindya.
"Kalau papah bentak kamu, mamah marah atau orang lain mengungkapkan rasa saying pada Nindi dengan cara yang salah. Nindi anak papah yang pintar bisa mengubah bahasa mereka menjadi bahasa yang halus versi Nindi."
Hadi menjelaskan tidak semua orang menyampaikan sesuatu harus sesuai dengan keinginan Nindya. Tugas Nindya adalah menerjemahkan bahasa mereka menjadi bahasa yang indah dan enak di dengar.
Nindya bingung, belum bisa mencerna nasehat dari sang papah, dia menatap Hadi, mencoba bertanya maksud dari nasehat yang diucapkan Hadi tadi. Hadi pun tersenyum pada putri sulungnya.
"Misal begini, Uwa ngomong, Nindi mah di dalam kamar terus malas tiduran mulu. Itu artinya dia sedang memberikan perhatian pada Nindi dan ingin ditemani Nindi ngobrol. Kalau ada yang ngomong seperti itu tinggal Nindi terjemahkan menjadi kalimat indah. Contohnya kalimat tadi bisa jadi seperti ini, Nindya sayang sini Nok, ngobrol temani Uwa."
Nindya mengangguk mendengar penjelasan sang papah. Lela yang duduk di sampingnya sesekali mengusap lengan sang anak.
"Kosa kata Uwa, Nyai, emak atau bapak itu sedikit Nin, gak pintar merangkai kata kayak Nindi. Tugas Nindi yang harus pintar merubah dan menerjemahkan bahasa mereka ke dalam bahasa yang indah. Bahasa yang tidak menyakiti hati Nindi." Hadi menarik napas sesaat.
"Nindi gak bisa loh, ngatur orang harus ngomong A atau B, yang bisa Nindi lakukan adalah mendekatkan diri pada mereka yang sebenarnya sangat menyayangi Nindi, karena apa yang mereka katakana itu aslinya sebagai wujud sayang dan perhatian mereka pada Nindi. Sekali lagi papah dan mamah minta maaf kalau selama jadi orang tua kamu, kami lalai," tutup Hadi.
Nindya memeluk sang mamah. Dia terisak dan berucap maaf berulang kali. Lela mengusap punggung Nindi, menenangkan putrinya.
"Nindi masih ingin mondok gak, Sayang?" tanya Lela.
Nindi menatap manik mata sang mamah.
"Kamu kan dulu pengen mondok. Kalau mau, nanti bisa lanjut sekolahnya mondok. Insyaallah di pondok Nindi gak akan kesepian karena banyak teman," ucap Lela penuh keyakinan.
"Kata mamah aku gak boleh mondok."
Kalimat yang terlontar dari bibir mungil Nindya menerbitkan senyum di wajah Hadi.
"Nah ini contoh lagi Nin, mamah kamu itu bukan ngelarang kamu mondok. Mungkin karena mamah khawatir Nindi gak bisa berbaur dan beradaptasi tinggal di pondok makanya mamah menyekolahkan Nindi di sekolah umum. Itu salah satu bentuk perhatian dan kasih sayang mamah. Kalau sekiranya Nindi kurang pas atau ada yang ingin disampaikan Nindi harus ngomong. Jangan hanya diam menyimpan keinginan Nindi di dalam hati. Papah dan mamah gak bisa loh baca suara hati Nindi."
Hadi mengucapkan kalimatnya dengan nada candaan agar suasana lebih rileks.
"Jadi Nindi mau lanjut sekolah dimana?" sambung Lela.
"Susan mau mondok bu di Pondok pesantren Al-Hikmah, aku...boleh?" tanya Nindi ragu-ragu.
"Aku apa? Hayo aku apa," ledek Lela yang menggelitik Nindya.
"Ih mamah geli," protes Nindi dengan tawa.
'Semoga tawa ceria Nindya pagi ini memberi awal yang baik untuk langkah kedepannya,' harap Hadi dalam hati.
_____I.S_____