Aku memang terbiasa mengucapkan salam ketika masuk rumah, rumah siapa pun, ada atau tidak ada orang di dalamnya. Kebiasaan yang aku lakukan setelah mendengar Ustaz di musala memberi ceramah tentang tiga keutamaan mengucapkan salam sebelum masuk rumah, baik rumah sendiri atau orang lain, ada orangnya atau tidak, kita tetap dianjurkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu.
Pertama, rumah yang diucapkan salam sebelum kita memasukinya akan dijauhkan dari setan. Ustaz mengatakan bahwa salam termasuk bagian dari zikir kepada Allah dan setiap orang yang memasuki rumahnya dengan berzikir kepada Allah, maka dia tidak akan disertai setan, juga rumahnya tidak ditempati setan.
Kedua, akan mendapatkan keberkahan dan kebaikan dari Allah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surah al-Nur ayat 61 berikut;
فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
"Maka apabila kalian memasuki rumah-rumah, maka hendaklah kalian memberi salam kepada atas diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkah lagi baik."
Terakhir, mendapatkan perlindungan Allah dari bahaya dan bencana. Aku lupa bunyi haditsnya. Intinya, ada tiga kelompok orang yang berada dalam jaminan Allah, yaitu orang yang berangkat perang untuk berjihad di jalan Allah, orang yang pergi ke masjid untuk beribadah serta melaksanakan salat jamaah dan orang yang masuk ke rumahnya dengan mengucapkan salam.
"Nin, Emak ke rumah dulu ya, jangan lupa makan," pesan Emak menjeda jemariku yang membuka seragam. Terdengar pintu tertutup disertai langkah kaki emak meninggalkan rumahku.
Hanya beliau yang membuatku tertawa dan merasa keberadaanku di sini bukan sesuatu hal yang patut disesalkan. Namun, ketika keluhan dari adik dan kakak beliau yang tinggal berdekatan dengan kami terlontar. Beliau hanya diam tanpa membelaku. Meskipun begitu aku belum pernah mendemgar keluhan tentangku keluar dari mulut emak dan bapak secara langsung. Entahlah kalau dibelakangku mereka seperti itu atau tidak yang jelas aku selalu merasa bersalah melihat wajah emak saat mendengar keluhan-keluhan tentangku, tetapi aku tidak tahu cara mengubah diriku agar tak lagi menjadi bahan cemoohan bibi dan uwak.
Aku mengaktifkan ponsel yang sengaja aku matikan setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan meletakkan kembali ponselku di nakas yang berada di bagian atas ranjang.
"Bismillahirrahmanirrahim," aku berdoa sebelum menyantap makan siang yang disediakan 'mak Ninih. Ponsel berdering mengalunkan lagu How you like that yang dinyanyikan Blackpink terdengar menandakan ada panggilan masuk ke nomerku. Aku tetap melanjutkan makanku sampai dering ponsel kembali mati. Piring yang aku gunakan makan langsung kucuci setelah usai makan bersamaan dengan mencuci tanganku di kamar mandi. Tak ada wastafel di rumah ku, aku mencuci piring, mencuci baju di kamar mandi.
Ponsel kembali berdering saat aku memasukan piring ke dalam rak yang diletakkan di pojok dapur. Segera kaki ini berlari menuju kamar, seperti yang kuduga, mamah yang menelepon.
"Assalamualaikum, Mah."
"Waalaikumsalam, sudah makan Nin?"
"Alhamdulillah sudah, Nela mana mah?"
"Tadi papah berangkat Jumatan ikut pergi, katanya main ke Asoka."
Asoka, anak bibi Nurul, adik mamah. Emak dan bapak hanya mempunyai dua anak yang keduanya perempuan. Keduanya juga merantau di Cikarang berjualan aneka gorengan seperti risol, bakwan, tempe selimut, ledreng atau singkong yang dicelup di tepung sebelum digoreng, dan lain-lain. Bibi Nurul baru punya seorang putra yang yang berusia lima tahun, dua tahun lebih lebih tua dari Nela.
"Bu Hera tadi telepon nanya kapan mamah pulang, katanya mau diskusi kamu mau lanjut kemana, itu harus ya Nin?"
Pertanyaan mamah membuatku bingung. Pasalnya, aku sendiri tidak tahu jawaban apa yang harus aku lontarkan.
"Katanya bukan mamah saja yang di telepon wali murid lain juga sama, iya Nin?"
"Gak tahu mah, mamah gak tanya ke bunda Mirna?"
Bunda Mirna adalah guru di sekolahku, dia anak dari kakaknya emak. Hanya saja rumahnya agak jauh dari tempatku. Butuh sekitar lima belas menit bersepeda untuk menuju rumahnya.
"Bu Hera nelepon pakai hape bunda Mirna," kata mamah yang membuatku berucap 'oh'.
Mamah menutup telepon setelah berpesan padaku untuk tidak lupa salat. Meskipun, kami berjauhan mamah tak pernah lupa mengingatkanku untuk makan dan salat. Namun, bocah tak tahu diri ini benar-benar egois ingin kembali berkumpul dengan mamah, papah dan Nela, si imut yang ceriwis.
Aku berbaring sejenak menutup mata untuk menunggu waktu zuhur. Seperti biasanya, niat yang awalnya sejenak pun berakhir dengan terlelap menutup mata tanpa kehendakku.
_____I.S_____
Hiruk-pikuk teriakan dan candaan para siswa yang sedang melaksanakan kebersihan setiap Jumat pagi kembali mewarnai sekolah. Apalagi Senin pekan depan siswa kelas sembilan melaksanakan Ujian Sekolah.
Meja-meja yang berdiri kokoh dengan dua kursi yang bertengger di atasnya menjadi pemandangan di setiap kelas pagi ini. Kelas delapan dan kelas tujuh terlihat lebih bersemangat melakukan kegiatan Jumsih pekan ini. Bagaimana tidak, pekan depan mereka mendapatkan jatah libur satu minggu penuh selama sang kakak tingkat melaksanakan ujian sekolah.
Di depan ruang tata usaha terlihat beberapa wali murid yang menyelesaikan pembayaran administrasi sekolah sebagai syarat anak mereka mendapatkan kartu ujian.
Nindya yang sedang membersihkan kaca di bagian depan kelasnya menangkap sosok perempuan berbadan tinggi dan gemuk yang menguncir rambutnya ke atas. Di belakangnya seorang lelaki tinggi kurus dengan kulit coklat dan hidung mancung berjalan mengekor. Dua sosok yang sudah dua bulan tak ditemuinya, mamah dan papahnya berjalan ke ruang guru. Tak berapa lama berselang mereka ke luar lagi di antar Lelis berjalan menuju ke ruangan guru BP dan BK.
Dari deretan kelas delapan yang tepat berhadapan dengan kelas sembilan yang berjejer di sisi kanan bangunan sekolah, Nindya melihat Hera berjalan tergesa ke ruangannya.
Ada sedikit ketakutan menyelimuti benak Nindya. Takut kalau ternyata kedua orang tuanya marah karena apa yang dia ungkapkan pada Hera.
"Assalamualaikum, maaf ya Pak, Bu. Habis keliling ngecek siswa yang kebersihan," ujar Hera ketika masuk ke ruangannya.
Hadi dan Lela berdiri dari duduk, mereka menjawab salam dan menyalami Hera. Hera mengajak Lela dan Hadi, suaminya untuk kembali duduk. Mereka berbasa-basi sejenak menanyakan usaha mereka di Cikarang. Perlahan-lahan Hera pun menyampaikan inti permasalahan yang dialami dan dirasakan Nindya belakangan ini.
"Rasanya mungkin berat ya, terpisah dari keluarga apalagi untuk anak seusia Nindya," pungkas Hera mengakhiri kalimatnya.
"Itu Nindya yang ngomong, Bu?" selidik Hadi.
Hadi seolah tidak percaya anaknya yang selama ini pendiam bisa menyampaikan unek-uneknya pada orang lain.
"Iya, anak bapak sepertinya memang sedang benar-benar membutuhkan kehadiran kalian di dekatnya."
"Usaha kami di Cikarang bu, kalau harus menetap di sini saya gak tahu harus kerja apa," jelas Hadi.
Mereka kemudian berdiskusi ringan kemungkinan yang mereka ambil untuk membuat Nindya tetap merasa nyaman meskipun berjauhan dengan mereka, setidaknya sampai kelulusan sekolah. Hadi dan Lela menolak ketika Hera ingin memanggil Nindya.
_____I.S_____