Nindya sudah sedikit agak tenang, isaknya tidak lagi terdengar. Beberapa tisu bekas menyeka air matanya tergeletak di meja. Nindya telihat menarik napas dan membuangnya perlahan beberapa kali untuk menghentikan sesenggukan yang kadang masih terdengar.
"Maaf, Bu, kerudungnya jadi basah." Nindya mengusap hijab yang dikenakan Hera.
"Gak apa-apa, Nin. Boleh ibu minta nomer mamah kamu?"
Nindya mengangguk. Hera berdiri berjalan ke meja untuk mengambil pena dan secarik kertas dan diberikan pada Nindya. Nindya menulis dua belas digit nomer yang sangat dihapalnya, beserta nama sang mamah.
"Terima kasih," ucap Hera ketika menerima kembali kertas beserta pena.
"Nindi, nanti ibu akan panggil kamu lagi. Ibu minta waktu untuk mencari cara terbaik menyampaikan keinginan kamu tanpa menyinggung perasaan mamah dan papahmu."
Nindya mengangguk, kini jemarinya saling bertautan,"Berapa yang harus aku bayar untuk jasa konsultasi ke Ibu," ucapnya ragu.
"Ibu sudah digaji negara, meskipun tugas ibu Memberikan konseling kepada siswa yang mengalami permasalahan di sekolah bukan permasalahan pribadi dengan orang tua. Namun, sebagai guru BK ibu juga bertugas menjadi mediator antara sekolah dan orang tua siswa. Mungkin sifat pendiam kamu dan rendah diri yang berlebih diakibatkan beberapa faktor yang sudah kamu sampaikan tadi. Ibu akan coba untuk membantu kamu dalam mencari jalan keluar yang tepat," jawab Hera dengan senyum yang tersungging di bibir tipisnya.
Nindya pamit ke luar dari ruangan Hera. Dia berjalan menuju kamar mandi siswa untuk mencuci muka. Wajahnya sembab, kentara sekali memperlihatkan wajah seseorang yang habis menangis. Beberapa siswa yang berpapasan dengannya menatap heran, tetapi mereka enggan untuk bertanya. Selama ini Nindya memang hanya berbicara dengan teman dekatnya saja, sedangkan dengan siswa lain dia seolah menjaga jarak.
Di ruangan BP/BK, Hera memasukan nomer mamah Nindya ke ponsel dan menyimpannya. Dia mengambil buku agenda guru BP/BK untuk mengisinya dengan menuliskan permasalahan yang tadi diungkapkan Nindya.
Hera ke luar dari ruangannya untuk mencari data Nindya Kusma Dewi, baru setelahnya dia akan mengajak berdiskusi wali kelas dari Nindya.
"Mas, minta biodata Nindya Kusma Dewi kelas Sembilan C ya, yang ada alamat lengkap dan data orang tua juga," pinta Hera pada Nandi, staf administrasi di sekolah.
"Sekarang, Bu?"
"Masa tahun depan mas," canda Hera tergelak.
"Bukan begitu, Bu, ini saya lagi disuruh Bu Wiwin nyetak slip honor," ujar Nandi.
"Saya dulu aja, urgent nih, cuma satu siswa mas."
"Siap, Bu." Nandi mengacungkan jempol dan segera mencetak biodata Nindya seperti yang diminta Hera.
Hera langsung membaca alamat dan data orang tua Nindya begitu Nandi menyerahkan biodata Nindya.
Wajahnya berkerut membaca alamat Nindya.
"Ini mah tetangga saya, kok gak tahu ya," gumamnya lirih.
Dia segera berjalan ke arah ruang guru mencari Irma, wali kelas Nindya. Ruang guru tampak lengang karena jam belajar siswa sudah mulai. Irma yang dicari pun tidak ada di ruangan.
"Wan, kamu tahu alamat ini gak? Ini anaknya siapa sih, Wan? Satu desa padahal mah sama saya," tanya Hera pada Wawan dengan memperlihatkan alamat Nindya.
Wawan menjawab bahwa Nindya adalah saudara Mirna, yang juga mengajar di sekolah tersebut. Hera langsung menitip pesan pada Wawan agar jam istirahat Mirna dan Irma diminta ke ruangan BK untuk menemuinya.
_____I.S_____
Terik panas matahari jam sepuluh pagi ini terasa amat menyengat, bukan lagi hangat yang didapat. Namun, rasa terbakar jika memaksakan diri menantangnya langsung. Peluh membasahi keringat meski di ruangan berukuran tiga kali empat meter itu terdapat kipas angin berukuran enam belas inch yang berputar, tetapi hawa panas dari luar belum mampu ia kalahkan.
"Assalamualaikum, Bun," Mirna dan Irma masuk ke ruangan Hera didahului salam.
"Waalaikumsalam, panas banget nih, padahal masih jam sepuluh ya," jawab Hera sambil mengusap peluhnya dengan tisu.
"Gak ada angin, jadi kerasa gerah. Padahal kipas angin nyala ya, Bun," timpal Mirna. Mereka berdua sudah duduk di long sofa yang berhadapan dengan meja kerja Hera.
"Ini Nindya Kusma Dewi sembilan C, kata Wawan saudara Bu Mirna ya?"
Hera berdiri dari duduknya membawa beberapa kertas yang berisi coretan tulis tangannya dan biodata dari Nindya. Dia duduk di sofa dan menyerahkan data Nindya pada Mirna
"Iya, Bun, ini anak sepupu saya. Ibunya Nindya, Lela anak bibi, adiknya emak," terang Mirna.
Hera manggut-manggut mendengar jawaban Mirna.
"Sebenarnya bukan ranah sekolah sih, Bu Mirna, Bu Irma, tetapi adrenalin saya kok jadi tertantang nih sebagai BK. Nindya sampai bersedia bayar uang konsultasi loh, saking apanya coba," ujar Hera membuat Irma dan Mirna saling pandang.
Mereka belum mengerti arah pembicaraan Hera.
"Jadi gini, Bu Mirna, Bu Irma."
Hera memulai menceritakan garis besar permasalahan yang dialami Nindya. Hal ini dia lakukan agar Mirna yang masih merupakan kerabat dari Nindya bisa membantu proses mediasi nantinya.
"Banyak, loh Bun, siswa kita yang nasibnya kayak Nindya. Ditinggal merantau oleh kedua orang tua. Ada yang tinggal sendiri, ada yang sama nenek atau keluarga terdekat," komentar Irma setelah Hera selesai menceritakan perihal masalah Nindya.
"Iya ya Bu Ir, miris. Namun, mereka terpaksa juga melakukan itu karena bagaimanapun, itu semua dilakukan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Ya, kita tahu sendiri kalau di desa sekitar sini lapangan pekerjaan hampir gak ada. Kebanyakan siswa kita juga orang tuanya buruh tani."
Hera memutar bola matanya dan bergidik teringat beberapa siswa istimewa yang kerap bulak-balik apel ke ruangannya berasal dari keluarga yang keadaannya seperti Nindya.
Sudah disampaikan pula kepada orang tua siswa istimewa tersebut perihal kelakuan ajaib anak-anak mereka mungkin salah satunya dikarenakan kurang bimbingan dan perhatian dari keluarga. Hanya saja kembali lagi niat para orang tua tersebut juga karena memang tidak punya pilihan pekerjaan yang bisa dilakukan di desa sehingga membuat mereka terpaksa merantau.
"Coba aku telepon ya, bun, siapa tahu lagi gak sibuk, 'kan bisa langsung ngobrol," saran Mirna.
Dia merogoh ponsel di saku. Jarinya menari dengan lincah di atas layar ponsel datar yang dia pegang.
"Apapun keputusan orang tua Nindya, setelah kita 'pihak sekolah' menyampaikan hal ini itu ya terserah mereka. Setidaknya kita sudah mencoba memediasi antara Nindya dan orang tuanya. Tidak bisa 'kan saya berpangku tangan pada saat ada siswa datang mengadukan masalahnya," ujar Hera di saat Mirna masih mencoba melakukan panggilan suara ke nomer mamahnya Nindya.
"Nindya tuh pendiam banget loh, Bun, saya yang menjadi wali kelasnya selama hampir sepuluh bulan, itu paling interaksi sama saya cuma ketika kegiatan belajar mengajar saja. Itu pun kalau saya bertanya ke dia, dia jawab sesingkat-singkatnya, kalau saya kasih pengumuman atau apa, dia gak pernah menanggapi," papar Irma mengingat seperti apa pendiamnya Nindya di kelas.