Chereads / KONSULTAN RANJANG / Chapter 26 - Nindya 4

Chapter 26 - Nindya 4

Panggilan telepon pada mamah Nindya belum juga diangkat. Mirna mencoba meneleponnya untuk kedua kali.

"Assalamualaikum," salam Lela yang terdengar ketika panggilan suara dari Mirna dijawab. Mereka serentak menatap ke arah Mirna.

"Lel, sibuk gak?" tanya Mirna.

Mirna mengaktifkan fungsi loud speaker di ponsel agar Irma dan Hera bisa mendengar suara Lela.

"Gak, ini baru selesai bikin risol, kenapa Mir?"

"Ini guru BK di sekolah mau ngobrol Lel."

"Nindi kenapa Mir?" potong Lela dengan nada khawatir.

"Gak apa-apa sih Lel, langsung ngomong saja ya sama Bu Hera Permana biar jelas."

Mirna menyerahkan ponselnya pada Hera tanpa menunggu persetujuan dari Lela. Hera memberi kode pada Irma dan Mirna dengan matanya, mempersilakan mereka keluar dari ruangannya.

"Yo wis pamit ya, Bun. Laper banget," ucap Irma dan dijawab dengan anggukan oleh Hera.

Irma pun keluar ruangan diikuti Mirna. Mereka langsung menuju ruang guru supaya bisa makan sejenak sebelum kembali masuk ke kelas untuk mengajar.

"Assalamualaikum, Mamah Nindi. Saya Hera guru Bimbingan Konseling di sekolah Nindi. Sebelumnya saya minta maaf sudah mengganggu waktu ibu," ucap Hera membuka percakapan dengan Lela.

"Waalaikumsalam, Bu. Nindi kenapa ya Bu?" tanya Lela langsung.

Dia sangat penasaran karena selama Nindi sekolah di SMP tersebut, belum pernah sekali pun berurusan dengan guru BK.

"Ibu tenang saja, anak ibu gak ada masalah di sekolah. Hanya saja, kalau boleh saya tahu, kapan ya kira-kira ibu pulang kampung?" Hera menjeda kalimatnya.

"Ada satu hal yang membuat saya ingin berdiskusi dengan mamah Nindi, tetapi bukan perihal kenakalan Nindi di sekolah. Alhamdulillah anak ibu termasuk siswa pintar di sekolah ini. Saya telepon ibu pun Nindi gak tahu." Hera mencoba menenangkan Lela agar tidak membuat praduga yang nantinya membuat Lela berpikir negatif tentang Nindya

"Wah saya belum tahu, Bu. Nanti saya tanyakan ke papah Nindi ya bu, dia sedang istirahat soalnya."

"Oh iya, saya tunggu kabarnya ya Bu."

"Maaf Bu Hera, ini saya penasaran kalau boleh tahu hal apa yang mau ibu diskusikan ya? Nindi berbuat hal aneh di sekolah?" selidik Lela.

Hera tertawa sejenak untuk mencairkan ketegangan yang Lela rasakan karena rasa penasarannya.

"Ya diskusi masalah kelanjutan sekolah Nindi, Bu. Alhamdulillah anak ibu tidak melakukan hal aneh di sekolah kok. Dia normal-normal saja," canda Hera diselingi tawa.

"Saya juga menghubungi beberapa wali murid lain perihal ini. Hanya saja rasanya kurang gimana gitu, kalau ngobrolin masalah ini via telepon. Lebih enak langsung ketemu mamah Nindi dan wali murid lainnya," imbuh Hera dengan nada santai.

"Oh iya, iya Bu. Ya sudah nanti saya tanyakan pada papah Nindi ya, Bu."

"Siap. Siap. Saya WA mamah Nindi ya, biar nanti bisa langsung menghubungi nomer saya untuk konfirmasi waktu luang mamah Nindi buat ke sekolah. Ya syukur-syukur ke sekolahnya berdua dengan papah Nindi."

"Oh berdua, gak saya sendiri?"

"Iya berdua, Bu. Bikinnya juga berdua 'kan?" canda Hera yang membuat Lela terkekeh.

Hera langsung memutuskan panggilan suara diakhiri dengan salam, setelah menyampaikan maksud tujuannya. Dia yang sudah menyimpan nomer Lela saat Nindya ke ruangannya langsung mengirim pesan pada Lela.

[Hera Purnama]

Hera langsung mengirim pesan singkat pada Lela, memberitahu nomer kontaknya. Dia menekan tombol kunci di samping kanan layar ponsel sebelum memasukan benda berbentuk kotak persegi panjang pipih tersebut ke dalam saku baju kanannya.

Hera beranjak dari sofa membawa data diri Nindya untuk dia simpan kembali di map biru di atas mejanya yang juga terdapat sebuah kertas HVS dengan coretan tangan Hera mengenai outline masalah yang dihadapi Nindi dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Tak lupa dia mematikan kipas angin sebelum ke ruang guru untuk menyerahkan ponsel Mirna.

_____I.S_____

Nindya POV

Terik matahari yang hari ini sangat tidak bersahabat membuatku terasa berat mengayuh sepeda. Bel pulang yang berbunyi seolah sebuah lagu yang sangat dinantikan seluruh siswa kecuali aku, sudah berbunyi sejak sepuluh menit lalu.

Aku hampir tak pernah menantikan bel tersebut berbunyi. Bunyi yang terdengar sangat indah bagi kawan-kawanku yang selalu bersorak riang kala mendengarnya. Bunyi yang paling ditunggu dan akan langsung membuat mereka berhamburan meninggalkan kelas. Bunyi yang membuat sebagian lain langsung berteriak 'Hore' dengan lantang kemudian berjalan penuh semangat meninggalkan kelas.

Berbanding terbalik dengan apa yang kurasa, karena suara bel yang berbunyi selalu membuatku sadar kalau aku akan kembali hidup sendiri, berdiam diri di kamar yang sunyi. Membuatku mengulur waktu Agnes dan Susan yang sudah bersemangat untuk pulang, tetapi aku ajak berbincang. Membuatku melangkah dengan berat menuju sepeda mini berwarna merah yang selalu kayuh setiap pagi dan siang untuk berangkat dan pulang sekolah.

Kenapa aku harus mengeluh, bukankah ini keputusanku. Ini memang mauku, melanjutkan sekolah menengah pertama di kampung mamah, jauh dari Nela kecil juga mamah dan papah.

Pilihan yang aku ambil semata-mata karena rasa tak tega melihat Emak Ninih dan Bapak Bagja menghabiskan hari tua mereka hanya berdua, tanpa anak menantu dan cucu.

Pilihan yang aku jatuhkan saat usiaku genap tiga belas tahun. Bocah sok tahu yang menganggap hidup di kampung sendiri tanpa mamah dan papah akan baik-baik saja.

Bocah sok tahu yang berpikir akan ada perhatian dari Nyai dan Uwak yang tinggal berderet dan berhadapan dengan rumahku.

Bocah sok tahu yang tidak pernah mengerti kalau orang dewasa selalu mengambil kesimpulan sepihak tanpa peduli apa yang dia rasa.

Bolehkah aku menyesal dengan pilihanku?

Ah, kuusap peluh yang terus berjatuhan dengan tangan kiriku. Sepuluh menit mengayuh sepeda dengan terik matahari sepanas kobaran api dengan jarak beberapa centi, membuat perjalanan pulangku selalu lebih berat.

"Nin duluan ya," sapa beberapa kawan yang mengenalku dan membunyikan klakson saat menyalip sepedaku.

"Iya," teriakku menjawab sapaan mereka.

Lebih dari lima puluh persen siswa di sekolahku menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasi yang mereka pakai untuk pulang-pergi ke sekolah, sisanya memilih bersepeda atau berjalan kaki.

Meskipun begitu, aku tak pernah berpikir untuk meminta mamah dan papah mengganti sepeda ini dengan sebuah motor. Aku hanya ingin berkumpul bersama mereka karena nyatanya bocah sepertiku ini tak mampu menampung nyanyian syahdu yang setiap hari didendangkan para saudara nenek dan kakek yang selalu menyebutku pemalas, Putri malu, Putri tidur dan sebagainya terserah lirik yang mereka pilih khusus untuk menilai semua kekuranganku.

"Assalamualaikum," sapaku pada Emak yang duduk diteras rumah menungguku pulang. Aku mencium tangan rentanya dengan takzim.

"Waalaikumsalam, makan ya Nin, sudah emak siapkan di meja," suruhnya.

"Iya 'Mak, Nindi ganti baju dulu." Aku membuka pintu rumah sambil berucap salam meski tak ada siapanpun di dalamnya. Sunyi, sepi, taka da yang menyambut kedatanganku di rumah ini, karena memang aku hanya tinggal sendiri didalamnya.