Canda-tawa dan teriakan para siswa terdengar di hampir seluruh penjuru sekolah. Beberapa siswa terlihat hilir mudik membawa tong sampah, mereka memunguti dedaunan kering, dan sampah plastik yang satu-dua masih terlihat berserakan, tentu saja diselingi candaan dan guyonan ala bocah berseragam putih biru. Di dalam ruangan terlihat beberapa siswa yang menyapu, mengelap kaca atau membersihkan debu di angina-angin jendela.
Suasana Jumat pagi memang berbeda dari hari lainnya, usai salat duha bersama di musala sekolah anak-anak langsung mengikuti kegiatan rutin Jumsih dimana para siswa bergotong royong membersihkan lingkungan sekolah. Keceriaan mereka terlihat karena akhir pecan sudah di ujung mata.
Lelis mendapatkan tugas untuk mengawasi anak-anak membersihkan ruang UKS dan sekitarnya. Tiba-tiba dia teringat janjinya pada Nindya untuk memberikan jawaban atas keinginan Nindya mendaftarkan diri sebagai klien di biro jasanya.
"Wi, Dewi sini," panggil Lelis padaseorang siswi yang sedang mengelap kaca UKS.
"Nak, tolong panggilkan Nindya Kusma Dewi kelas sembilan C, disuruh menghadap ibu Lelis di ruang UKS ya," pinta Lelis pada Dewi.
"Nindi Sembilan C bu?"
"Iya, Nindi Sembilan C," ulang Lelis.
Dewi mengangguk dan bergegas menuju kelas Nindi karena dia paham setiap acara kebersihan Nindi akan memilih menyapu ruangan dari pada berada di area luar kelas.
Seperginya Dewi Lelis sejenak merenung, bagaimana bisa dia melupakan Nindya setelah kasus Wawan dianggap selesai. Meskipun belum seminggu dari perjanjian yang dia ucapkan pada Nindya, tapi ada rasa sedikit bersalah jika dia membiarkan Nindya begitu saja.
Tak lama berselang Nindya sudah berdiri di samping Lelis bersama Dewi.
"Bu," panggilnya diikuti gerakan menunduk dan menyalami tangan Lelis.
"Dewi bisa lanjutin bersih-bersih ya, Nak. Terima kasih ya," ucap Lelis pada Dewi.
"Ayo, Nin," ajak Lelis sambil menarik tangan Nindya.
"Kita duduk di sini saja ya," sambung Lelis sambil berjalan ke pendopo kecil yang terletak di antara ruang UKS dan perpustakaan.
Nindya mengekor di belakang Lelis kemudian ikut duduk di sampingnya.
"Nindi, Ibu sudah pikirkan mengenai niatan Nindi mendaftar jadi klien di biro jasa Ibu."
Lelis menjelaskan dengan perlahan pada Nindya, meskipun biro jasanya memang punya jargon memperbaiki hubungan rumah tangga. Namun, dia hanya menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan suami dan istri. Itu dikarenakan dirinya yang tidak punya latar belakang pendidikan psikologi dan juga tidak punya pengalaman menyelesaikan kasus mengenai hubungan orang tua dan anak.
"Jadi, Ibu minta maaf, tidak bisa membantu Nindi," tutup Lelis setelah penjelasan panjangnya.
"Aku punya tabungan bu, aku bisa bayar jasa konsultasi ke ibu sesuai harga yang ibu tetapkan," desak Nindya dengan muka memelas.
"Sayang, ini bukan soal bayaran, bukan. Ini soal komitmen dan keprofesionalan menyelesaikan masalah klien ibu, sesuai yang ibu mampu." Lelis mereaih tangan kanan Nindya dan mengusapnya untuk meyakinkan Nindya bahwa ini bukan penolakan perihal biaya konsultasi.
"Nindi kenapa tidak coba konsultasi ke bunda Hera," saran Lelis.
Dia menggenggam telapak tangan kanan Nindya yang terkepal. Dia elus kembali secara perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Bunda Hera lulusan psikologi anak terbaik, dia juga tidak diragukan lagi kinerjanya sebagai guru BK (red: Bimbingan Konseling). Nindi mau diantar ibu menemui bunda Hera?" tanya Lelis dengan mengangkat dagu Nindi yang sedari tadi menunduk.
Nindya terdiam dan tidak menjawab sepatah kata pun.
"Ada yang ingin Nindi sampaikan pada Ibu? Nindi gak usah ragu, coba Nindi cerita apa yang Nindi rasakan sekarang? Jangan takut juga mengungkapkan apa yang Nindi inginkan," terang Lelis dengan suara perlahan dan tempo yang lembut.
"Aku takut sama bunda Hera," cicit Nindya hampir tak terdengar.
Lelis tersenyum dan mengangkat kembali dagu Nindya.
"Tak kenal maka tak sayang, Nindi hanya belum mengenal seperti apa Bunda Hera. Selama ini Nindi gak pernah ada kontak langsung dengan beliau. Jadi ya wajar kalau Nindi takut, insyaallah beliau baik tidak seperti yang Nindi bayangkan."
Nindi mengangguk ragu, Lelis kembali menggenggam telapak tangan Nindi yang terasa dingin. Untuk siswa introvert seperti dia bisa mengobrol face to face dengan seseorang yang dianggapnya asing itu suatu pencapaian yang luar biasa. Biasanya, Nindya memang selalu merasa tidak nyaman untuk mengobrol dan dekat dengan orang yang belum terlalu dikenalnya, meskipun Lelis adalah gurunya.
"Kita bisa ke ruangan bunda Hera sekarang kalau Nindi mau," tawar Lelis tanpa melepaskan genggaman tangannya.
Nindya tak bergeming, tatapannya datar sulit untuk diartikan, Lelis membantunya berdiri. Dia menuntun Nindya berjalan ke ruang BP/BK tanpa menunggu jawaban dari Nindya. Pintu ruangan terbuka, tetapi sang empunya ruangan tak berada di tempat.
Lelis mengeluarkan ponsel dari saku baju. Diketiknya nama 'Bunda Hera', tak lama panggilan pun langsung dijawab.
"Waalaikumsalam, Bun aku di ruangan Ibun 'nih. Penting," kata Lelis begitu suara Hera terdengar mengucapkan salam. Panggilan kembali dimatikan setelah ada konfirmasi oke dari Hera.
"Sini Nindi duduk sama Ibu. Nindi gak usah takut." Lelis mengajak Nindya duduk bersama di long sofa yang tersedia di ruangan tersebut.
"Kenapa Lis?" tanya Hera langsung, begitu dia masuk ke ruangan.
Lelis dan Nindya berdiri dan bergantian menyalami Hera. Hera kemudian duduk di single sofa yang berada di sebelah kanan Lelis.
Begitu Hera duduk, Lelis langsung memperkenalkan Nindya beserta maksud dan tujuannya menghadap Hera. Nindya masih menunduk, memainkan jari-jemarinya yang saling bertautan.
"Tiga tahun kamu di sini, ibu baru tahu nama kamu," komentar Hera setelah mendengar penjelasan Lelis. Hera tidak mau langsung membahas pokok permasalahan Nindya. Dia ingin membuat Nindya merasa nyaman ngobrol dengannya baru kemudian membahas cara penyelesaian terbaik yang bisa diambil.
"Bunda mah hafalnya Feri, Wastiko, Yogi dan kawan-kawan yang suka bikin onar," canda Lelis dengan tawanya. Hera ikut tertawa mendengar kalimat Lelis, memang tidak dipungkiri siswa 'luar biasa aktif' yang dia hapal.
"Kamu takut banget sama ibu? Ibu gak makan orang loh, Nin, siapa panggilannya Lis?"
"Nindi, Bun," jawab Lelis.
"Nindi mau ngobrol sama ibu ditemani ibu Lelis atau kita berdua saja?" tanya Hera dengan logat sundanya.
Meskipun sudah lama mengikut suaminya tinggal di Indramayu. Namun, bahasa Sunda adalah bahasanya sejak lahir. Jadi, logat Sunda masih melekat erat di kesehariannya.
"Berdua saja Bu," jawab Nindya dengan suara sangat pelan, wajahnya diangkat sebentar menatap Hera.
"Ya sudah Bun, Lelis keliling lagi ya. Nindi ibu tinggal ya sayang."
"Terima kasih, Bu," ucap Nindya.
"Sama-sama, titip Nindi bun, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Lelis langsung keluar dari ruangan dengan menutup pintu atas perintah Hera. Dia meninggalkan Nindya di sana dengan harapan, Hera bisa menemukan jalan penyelesaian terbaik untuk Nindya. Bagaimanapun Nindya siswa yang cerdas meski kepercayaan dirinya sangat rendah. Dia berharap Hera bisa membantu Nindya menyelesaikan masalahnya.
__I.S__