Yudis menuruni anak tangga dengan lesu setelah mengiyakan permintaan ibunya untuk menerima perjodohan yang akan perempuan itu atur dengan salah satu putri keluarga Aksara, salah satu keluarga paling berpengaruh di ibu kota.
"Hmm…hmm..hmm.." Langkah laki-laki itu terhenti ketika mendengar seseorang asik menyanyikan sebuah lagu, nadanya sumbang tapi entah kenapa Yudis tertarik untuk mendengarkan nyayian itu lebih lama.
"Ck, Medda..Medda.. jangan sampai papa denger suara lo itu ya, bisa langsung di pecat nanti."
"Astaga, tuan Yudis buat saya kaget!"
"Lebai." Jawab laki-laki itu sembari duduk di sofa ruang tamu dan memperhatikan Medda yang sedang mengepel lantai, dari tempatnya duduk laki-laki itu bisa melihat beberapa bercak kemerahan di bawah tulang selangka gadis yang tahun ini berusia dua puluh tiga tahun yang saat ini sedang menunduk.
"Kamu.. punya pacar?" tanya laki-laki itu dengan sangsi, karena sebagai laki-laki dewasa Yudistira jelas tahu apa yang menyebabkan bercak-bercak kemerahan itu ada di tubuh Medda.
"Hah?"
"Kamu punya pacar?" tanya laki-laki yang tahun ini berusia dua puluh lima tahun itu sekali lagi.
"Oh, enggak. Mana sempet saya punya pacar." Yudis menganggukan kepala, Medda memang menjadi pelayang yang paling sibuk di rumah ini karena perempuan itu juga secara khusus melayani Arjuna di luar pekerjaan utamanya menjadi tukang bersih-bersih di kediaman Wardana.
"Terus, itu dari mana?" Yudistira tanpa sadar bertanya.
"Eng, jangan salah paham." Sela laki-laki itu cepat.
"Ekhm, saya bukan mau ikut campur. Cuma mau mastiin kalau di rumah ini enggak ada yang macem-macem sama kamu dan mastiin kamu enggak dapet serangan seksual dari orang lain."
"Tuan Yudis ini ngomong apa sih? Enggak paham saya." Yudis menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Itu loh, merah-merah di sekitar sini. Itu kenapa?" Medda menunduk dan memperhatikan tubuhnya.
"Oh.. ini." Medda menggembungkan pipinya,
"Gara-gara tuan Arjuna."
"Arjuna?" Tanya Yudistira dengan keheranan.
"Iya, tadi pagi saya buat salah lagi terus di hukum. Hari ini hukumannya sedikit aneh, eng tapi enak sih. Dikit. Aneh pokoknya."Medda kebingungan menjelaskan.
"Awalnya tuh jilat-jilat, rasanya kayak kesetrum loh tuan. Tapi bikin penasaran, abis itu gigit-gigit. Anehnya enggak sakit malah geli, tapi tetep aja jadi ngebekas. Di dada juga ada."
"Udah.. udah cukup. Saya enggak lagi mau denger cerita kamu." Sela Yudistira tidak lagi sanggup mendengarkan cerita Medda, wajah laki-laki itu memerah membayangkan dirinya melakukan hal yang sama kepada Medda.
"Tuan Yudis sakit? Kok mukanya merah?"
"Oh, enggak. Saya enggak apa-apa." Wajah Yudistira justru semakin memerah karena Medda memutus jarak di antara mereka, dari posisinya sekarang Yudis bisa melihat bibir tipis Medda yang basah.
"Astaga, ini merah banget mukanya. Nyonya besar pasti panik, tuan Yudis duduk dulu di sini. Biar saya siapin kompresan sebentar."
"Eh, enggak. Enggak usah." Yudis tanpa Sadar menarik tangan perempuan itu dengan kencang, akibatnya Medda kehilangan keseimbangannya dan jatuh menimpa Yudistira yang telentang di atas sofa.
"Fuck." Yudis mengumpat karena lutut Medda tidak sengaja menyentuh titik paling sensitive di tubuhnya.
"Astaga, aduh maaf tuan. Maaf, tuan sih narik saya sembarangan. Maaf." Kepala Yudistira semakin pening karena Medda yang berada di atas tubuhnya terus saja bergerak berusaha melepaskan diri dari lengannya yang tidak sengaja melingkari pinggang gadis itu.
"Medda, diem sebentar oke." desis laki-laki itu dengan pelan, yang sayangnya tidak bisa di dengar oleh Medda. Perempuan itu terus memberontak hingga sesuatu yang berada di tubuh Yudistira perlahan mulai membesar.
"Medda!" Yudistira terkejut karena mendengar suaranya menggema, sampai kemudian laki-laki itu merasa tubuh Medda di tarik paksa oleh seseorang baru lah ia paham kalau suara ke dua yang di dengarnya adalah suara Arjuna.
"Apa-apann ini." Yudistira bisa melihat rahang Arjuna mengeras, laki-laki itu pasti sedang salah paham.
"Lo jangan maruk Dis, lo sama nyokap lo udah ngambil semuanya dari gue. Yang ini masih mau lo rebut juga?!"
"Lo salah paham." Yudistira bangkit dari duduknya meski kondisi tubuhnya masih tidak nyaman.
"Gue enggak buta bangsat!"
"Gue bilang lo salah paham!" Yudistira jatuh tersungkur karena satu bogeman mentah yang di arahkan oleh Arjuna ke pipinya, laki-laki itu jelas kehilangan kendali diri karena cemburu.
"Bangun lo." Yudis membutuhkan waktu untuk kembali memfokuskan pandangannya yang sedikit kabur.
"Bangun gue bilang!" Arjuna kembali maju, tidak peduli kalau lawannya mulai kepayahan. Sedangkan Medda hanya bisa berdiri mematung, perempuan itu ketakutan karena baru pertama kali melihat kemarahan Arjuna yang seperti itu.
"Tu.. tuan Arjuna, udah." Perempuan itu mulai terisak.
"Tuan.. udah…"
"Arjuna!" satu suara menggelegar berhasil mengentikan ayunan tinju Arjuna di tubuh saudara tirinya, Dewanata datang dan langsung menjauhkan tubuh putranya dari Yudistira.
"Astaga, ada apa ini?!" Briani yang berlari dari lantai tiga menjerit histeris melihat keadaan putranya yang mengenaskan, wajahnya penuh luka dan juga darah.
"Jo! Siapin mobil, bawa Yudis kerumah sakit."Perintah Dewanata dengan cepat kepada kepala pelayan yang baru saja muncul.
"Yudis, astaga. Mama ikut, aku mau ikut temenin Yudis kerumah sakit." ucap perempuan itu kemudian berlari menyusul Jo yang sedang membopong Yudistira ke dalam mobil.
***
"Mau kemana kamu?!" Dewanata langsung menahan langkah anaknya yang sudah akan menyeret Medda ke lantai tiga, tempat di mana kamar anak laki-lakinya itu berada.
"Kamu harus menjelaskan semuanya ke papa Juna, apa-apaan tindakan bar-bar kamu barusan!"
"Papa enggak usah ikut campur." Sentak Arjuna dengan dingin.
"Papa urus aja anak papa yang serakah itu, enggak usah peduliin aku. Juna bisa ngurus diri Juna sendiri." Laki-laki itu kemudian menyeret Medda dengan kasar, sama sekali tidak peduli kalau perempuan itu tertatih-tatih mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
"Tu.. tuan.." Medda kebingungan, otaknya tidak bisa dengan cepat memproses kejadian yang baru saja terjadi.
"Apa-apaan yang tadi itu Medda?"
"I..itu.." Medda menjelaskan semuanya dengan suara terbata-bata, perempuan itu masih ketakutan melihat bagaimana mata Arjuna menatapnya dengan dingin.
"Kamu itu punya saya.." ucap laki-laki itu sembari melangkah, di usapnya pipi tembam Medda dengan ibu jarinya yang besar.
"Dari dulu saya paling enggak suka berbagi Medda, saya enggak suka kalau mainan saya di mainin sama orang lain. Kamu paham kan?" Medda menganggukan kepala, walau sejujurnya ia tidak mengerti dengan apa yang sedang di sampaikan oleh majikannya.
"Kamu tau apa yang saya lakuin ke mainan saya yang udah di pake sama orang lain?" Medda menggelengkan kepala dengan ragu-ragu, perempuan itu bergidik ketika tangan Arjuna yang sedang membelai wajahnya beralih kelehernya dan sedikit memberi tekanan di sana.
"Saya rusak dia Medda, saya rusak mainan saya yang di mainin orang lain. Jadi kalau masih mau hidup, lebih baik mulai dari sekarang kamu jaga sikap kamu itu. paham?" Medda lagi-lagi hanya bisa menganggukan kepala.