"Ma.." Briani sama sekali tidak menoleh, perempuan itu memilih tetep menatap taman dari balik jendela besar di samping ranjangnya.
"Ma.." Yudistira memeluk ibunya dari belakang, berharap pelukan itu mampu meredakan isakan perempuan yang sudah melakukan banyak hal untuk kehidupannya.
"Papa kamu itu bener-bener keterlaluan, dia selalu maksa mama untuk memperlakukan Arjuna seperti anak sendiri. Dewanata bener-bener enggak pernah ngaca, gimana cara dia memperlakukan kamu selama ini."
"Yudis enggak apa-apa ma."
"Mama yang kenapa-napa!" ucap perempuan yang sekarang sudah berhadapan dengan anaknya, bibir briani bergetar ketika tangannya menelusuri wajah anaknya yang masih menyisakan sedikit lebam.
"Mama enggak bisa ngeliat kamu begini." Isak perempuan itu.
"Mama cuma pengen ngeliat kamu dapet kasih sayang yang utuh Yudis, mama cuma pengen kamu ngerasain apa yang anak-anak lain rasain juga. Bahagia, itu aja."
"Yudis bahagia ma, karena Yudis punya mama." Briani menggelengkan kepala, matanya nanar menatap mata anaknya yang sendu.
"Maafin mama Yudis, maaf karena mama selalu salah memilih seseorang untuk menjadi ayah kamu. Mama kira Dewanata mampu menyayangi kamu seperti anaknya sendiri, mama.."
"Sttt, Yudis enggak apa-apa ma. Yudis enggak apa-apa." Laki-laki itu berusaha menenangkan ibunya.
Yudistira lahir karena ketidak sengajaan, demi karirnya Briani harus rela menjadi gundik seorang produser kenamaan di tanah air. Produser itu memang bertanggung jawab, tapi dalam pernikahannya Briani selalu mengalami kekerasan begitu juga dengan Yudistira.
Sampai kemudian Dewanata Wardana datang dan membantunya keluar dari penyiksaan mantan suaminya, laki-laki itu bahkan membuat produser kenamaan itu kehilangan pekerjaannya dan sekarang menjadi sampah di dalam penjara.
Dewanata membuat Briani melihat harapan, karena itu ia berusaha sekuat tenaga untuk merayu laki-laki itu. Sayangnya, harapan Briani pupus karena Dewanata ternyata sama sekali tidak bisa menyangi Yudistira sebaik laki-laki itu menyayangi Arjuna.
"Mama akan menebus semua kesalahan mama Yudis, mama akan jadikan kamu pemimpin keluarga Wardana yang baru. Percaya sama mama ya."
"Ma.."
"Mama enggak akan ngebiarin kamu di hina sebagai anak haram lagi, mereka semua enggak akan lagi berani merendahkan kamu, dan Dewanata, mama akan buat dia menyesal karena sudah mengabaikan kamu selama ini."
"Ma.. Yudis enggak mau mama ngelakuin sesuatu yang berbahaya." Yudistira mulai khawatir sekarang.
"Mama akan baik-baik aja Yudis, kamu enggak perlu khawatir. Demi kamu, nerakapun berani mama injak." Desis Briani dengan penuh tekad.
***
Arjuna mendengar pintu kamarnya di ketuk, layar di monitor dekat ranjangnya menampilkan sosok Medda yang kelihatan sangat kesulitan untuk menyeimbangkan nampan di sebelah tangannya sedang tangan satunya di pergunakan untuk menekan bell untuk memberitahukan kedatangannya.
"Masuk." Ucap Arjuna melalui interkom setelah menekan lock otomatis dari samping nakas.
"Tuan, saya di minta bawa makanan tuan Arjuna ke kamar. Tuan mau makan di mana? Di ranjang, balkon atau di meja depan televisi?"
"Taro ada nampannya di meja." Medda menganggukan kepala.
"Sini."
"Ya?"
"Ke sini Medda." Ucap Arjuna sembari menggerakan telunjuknya agar Medda mau mendekat, laki-laki itu langsung merebahkan kepalanya di paha Medda begitu perempuan itu duduk di samping ranjangnya.
"Elus-elus kepala saya." Perintah laki-laki yang tahun berusia dua puluh tujuh tahun itu.
"Tuan berantem lagi ya sama tuan besar?"
"Hmm." Ucap Arjuna dengan mata terpejam, ia benar-benar menikmati usapan Medda di kepalanya.
"Hehehe, kalau nyonya Padi masih hidup tuan Juna pasti di ketawain. Sudah besar masih manja."
"Enggak akan, mama pasti seneng. Liat aja Yudistira, udah sebesar itu aja masih suka di manja sama mamanya." Seyum Medda surut begitu mendengar kalimat Arjuna, majikannya itu memang mengucapkan semuanya dengan nada datar. Tapi Medda cukup mengenal Arjuna, ia tahu betapa kesepiannya tuan mudanya itu.
'cup'
Medda memberanikan diri untuk mengecup kening Arjuna, ia ingat sekali saat kecil dulu nyonya besarnya sering melakukan hal tersebut kepada Arjuna.
"Apa-apaan itu?"
"Biar tuan Juna enggak sedih lagi hehehe." Arjuna mendengus, Meski begitu laki-laki itu sama sekali tidak keberatan. Arjuna justru sekarang berusaha menyamankan diri.
"Sekali lagi." Ucap laki-laki itu semberi menunjuk keningnya, Medda langsung menyanggupi. Arjuna menunjuk bagian-bagian lain di wajahnya untuk di kecup, sampai ketika jarinya berhenti di bibir.
"Eng, kayaknya nyonya besar enggak akan sampai sana deh tuan."
"Memang, tapi karena ini kamu makanya saya mau kecupannya sampai di sini juga." Medda menurut, Bibir basah perempuan itu mendarat tepat di atas bibir Arjuna yang sedikit kehitaman.
"Udah."
"Kurang." Medda menundukan kepalanya sekali lagi, kali ini bukan sekedar kecupan tapi lumatan pelan yang Medda berikan untuk Arjuna.
"Kurang Medda."
"Maunya gimana sih tuan, saya bingung deh. Biasanya tuan kalau nyium saya ya gitu." Gerutu perempuan itu kesal, punggungnya pegal karena harus membungkukan badan beberapa kali.
"Kamu lupa sama apa yang ajarin terakhir kali?"
"Ih, itu kan hukuman. Bukan pelajaran." Arjuna tersenyum tipis mendengarkan jawaban polos Medda.
"Yah, kalau gitu biar saya ajarin kamu cari ciuman yang bener sekarang."
"Eh.." Medda tidak bisa melakukan apapun ketika Arjuna dengan cepat melumat bibir tipisnya, laki-laki itu juga memberikan gigitan kecil.
"Tu..tuan.." Medda merengek, tubuhnya lagi-lagi merasakan sensasi aneh ketika Arjuna membelit lidahnya berkali-kali. Tidak cukup sampai di sana tangan laki-laki itu juga mulai bergerak, menelusuri punggung Medda hingga ke bagian depan.
"Saya baru ingat, kamu belum di hukum karena kesalahan kamu waktu itu kan?" tanya Arjuna sembari mengecupi kulit di balik telinga Medda.
"Engh.."Medda menggigit bibirnya demi menahan suara-suara aneh yang mendesak keluar dari mulutnya.
"Sekarang kamu harus di hukum Medda, supaya kamu tau kalau enggak ada orang lain yang boleh menyentuh kamu selain saya." Medda merasakan matanya berkabut ketika akhirnya Arjuna sedikit melonggarkan pelukannya, laki-laki itu tersenyum tipis memandangi wajah Medda yang memerah.
"Siap menerima hukuman?" tanya Arjuna sembari menelusuri bibir Medda yang bengkak dengan jarinya, jari-jari itu kemudian turun menelusuri leher, tulang selangka dan terahir berhenti tepat di belahan dada perempuan itu.
"Buka kancingnya." Medda menunduk, menatap tiga kancing teratas kemeja putihnya yang tidak tertutup apron.
"Buka Medda.." perintah Arjuna sekali lagi sembari menjilati sisi wajah Medda, meski kegelian Medda tetap berusaha membuka tiga kancing kemeja dan memperlihatkan belahan dadanya yang di lapisi bra berenda berwarna hitam.
"Tu..tuan.." Tubuh Medda spontan melengkung begitu tangan Arjuna menyelinap dan meremas dadanya dari balik pakaian. Berkali-laki Medda harus bergerak resah, karena tidak mengerti dengan sensasi yang di sarakannya.
"Tu..tuan, geliโฆ"
"Geli?" Medda menganggukan kepala, bibirnya di gigit kencang agar suara-suara memalukan yang sejak tadi keluar dari mulutnya tidak lagi terdengar.
"Di mana?" Medda menggelengkan kepala, ia tidak tau harus menunjuk bagian tubuh yang mana karena saat ini dari ujung kaki hingga ujung kepalanya seolah di aliri listrik. Medda merasakan tubuhnya menjadi panas dan suara-suara aneh dari mulutnya tidak lagi bisa ia tahan.