Briani mengangguk dengan riang begitu kepala pelayan memberi kabar bahwa rumah keluarga Wardana kedatangan tamu, senyum perempuan itu mengembang kemudian memerintahkan pelayan menyiapkan peralatan makan dan kursi tambahan begitu mengetahui identitas si tamu.
"Lihat, siapa yang datang." Briani dengan riang menuntun seorang perempuan cantik menuju ruang makan.
"Mas, kenalin ini Dya. Anaknya Dewi sama Sadam, kamu belum pernah ketemu kan?"
"Siang om, maaf menganggu hari libur begini." Jawab perempuan itu dengan sopan, Dewanata menerima salam Dya dengan anggukan kepala.
"Ah, ganggu apa. Enggak kok, oh iya Dya kenalin. Ini Yudistira, anak tante." Yudistira yang namanya di sebut langsung tersedak.
"Ah, haha maaf ya. Anak itu memang gampang gugup kalau liat perempuan cantik, yuk Dya duduk. Itu kursinya udah di siapin."
"Makasih tante." Dya mencoba menyamankan diri.
"Ngomong-ngomong, apa kabar Jun? Udah lama enggak main kerumah." Pertanyaan Dya membuat Briani menyemburkan sedikut sup di dalam mulutnya, perempuan itu jelas terkejut dengan pertanyaan anak temannya itu.
"Baik." Jawab Juna sekilas, laki-laki itu sibuk memperhatikan Medda yang sedang memisahkan duri dari daging ikan yang akan menjadi lauk makan siangnya.
"Loh, Dya kenal Juna?" Dewanata tidak melewatkan kesempatan, perempuan bernama Dya itu cantik. Tutur katanya baik dan juga kelihatan anggun. Jika bisa, ia ingin mendapatkan Dya untuk Arjuna.
"Bukan Dya sih om, tapi Adri yang kenal deket sama Juna. Temen main mereka, masih suka golf bareng kan Jun?" Jawab Dya sembari menyebutkan nama kembarannya.
"Hm." Jawab Arjuna lagi-lagi seadanya.
"Kalau begitu, kenapa kalian enggak mencoba untuk saling mengenal lebih deket lagi aja?"
"Mas." Briani menggeram pelan.
"Mau kan Dya?"
"Pa."Kali ini Arjuna yang mengajukan protes, laki-laki itu mulai merasa terganggu dengan obrolan di meja makan. Arjuna sudah bisa menebak apa tujuan Briani membawa Dya makan siang bersama mereka, niat perempuan itu terbaca jelas ketika mengenalkan Dya dengan Yudistira dan mengabaikannya.
"Juna enggak suka drama, jadi papa enggak usah macem-macem."
"Iya mas, kamu jangan aneh-aneh ah. Dya kan jadi enggak nyaman."Briani langsung beralih menatap Dya dan menggumankan kata maaf.
"Enggak apa-apa tante, Dya enggak keberatan kok."
"Dya."Kali ini Arjuna yang menggeram, sedangkan Dewanata terssenyum lebar menyadari keberanian perempuan muda itu.
"Enggak ada salahnya kan om mencoba mengakrabkan diri." Ucap perempuan itu lagi sembari mengulum senyum, Dya sama sekali tidak takut pada Juna yang sekarang menatapnya tajam.
"Betul, betul sekali." Ucap Dewanata dengan riang.
"Nah, sekarang ayo makan. Makan Dya, om inget ayah kamu dulu suka sekali sup kerang. Kamu juga?" Yudistira menggelengkan kepala melihat Dewanata yang terang-terangan mengabaikan ibunya, berbeda dengan tadi kali ini Dewanata mendominasi percakapan di meja makan.
"Ma.."
"Makan Yudis, sup kerang ini juga makanan kesukaan kamu." Yudistira mengangguk dan mulai memakan supnya yang terasa hambar.
***
"Apa-apaan itu tadi?!" Briani langsung menghujani suaminya dengan tatapan tajam, mereka ada di kamar sekarang.
"Apanya?"
"Jangan pura-pura enggak paham mas! Apa maksud kamu minta Dya mengakrabkan diri sama Arjuna?!"
"Loh, memangnya salah?" Tanya Dewanata tanpa rasa bersalah.
"Kamu juga minta Yudis untuk mengakrabkan diri sama Dya kan?"
"Karena aku berniat menjodohkan Yudis sama Dya!"
"Ya silahkan, aku kan enggak melarang."
"Mas!"
"Kenapa sih Bri? Aku kan cuma minta Dya supaya lebih akrab sama Arjuna aja, bukannya mau menjodohkan mereka. Yah walau aku harus akuin Dya memang calon menantu potensial untuk keluarga ini."
"Kamu kira aku akan percaya?"
"Terserah kamu mau percaya atau enggak." Jawab Dewanata dengan santai.
"Tapi yang pasti, Dya masih belum jadi milik siapa-siapa saat ini. Dan kalau nanti dia lebih memilih Arjuna, kita bisa apa. iya kan?" Briani mengepalkan tanganya kencang, perempuan itu berusaha sekuat mungkin untuk menahan diri.
"Yang pentingkan Dya jadi menantu di keluarga ini, dengan Arjuna atau Yudistira sah-sah ajakan. Toh mereka anak-anak kamu juga, anak-anak kita juga." Dewanata memberikan sedikit tenakan pada kalimat terakhirnya.
"Yang kamu maksud anak-anak kita itu cuma Juna kan?" Tanya Briani dengan sura bergetar.
"Kamu mau aku jadi ibunya Juna, tapi kamu enggak pernah mau jadi ayahnya Yudis. Enggak adil kamu." Dewanata yang baru menutup pintu lemari langsung mendengus, laki-laki itu melangkah dengan santai menghampiri istrinya yang sudah berurai air mata.
"Karena memang alasan aku menikahi kamu adalah Arjuna kan? Kamu yang bilang kalau Juna pasti butuh sosok ibu setelah Padi meninggal, kamu bilang kamu bersedia jadi sosok ibu untuk Juna. Inget kan?"Dewanata sama sekali tidak terusik dengan raut kekecewaan di wajah istrinya.
"Jadi, penuhi janji kamu Bri. Jadi ibu yang baik untuk Juna kalau enggak mau aku tendang dari rumah ini." Ucap Dewanata dengan dingin kemudian berlalu meninggalkan Briani yang langsung jatuh terduduk di lantai kamar yang dingin.
***
Yudistira keluar dari persembunyiannya begitu Dewanata memasuki ruang kerjanya, awalnya laki-laki itu berniat menemui ibunya tapi justru ia harus mendengar pertengkaran orang tuanya. Laki-laki itu menghela napas, menyadari kalau Briani pasti sedang menangis di dalam kamarnya.
"Ma?" Yudistira melangkah masuk, dadanya ngilu melihat ibunya berusaha menghapus air mata di wajahnya.
"Yudis, kok enggak ketuk pintu dulu?" Briani mencoba berdiri, tapi langkahnya limbung. Beruntung Yudistira dengan sigap menolong ibunya.
"Enggak apa-apa ma, ada Yudis di sini. Aku ada untuk mama." Briani kembali terisak.
"Mama enggak usah mikirin Yudis, dari awal Yudis memang enggak pernah mimpi punya ayah. Buat Yudis, mama aja cukup."Ucapan Yudistira membuat tangisan Briani semakin kencang.
"Jadi mama enggak usah musingin papa ya, enggak apa kalau papa enggak pernah bisa nganggep Yudis anaknya. Enggak apa-apa kalau papa lebih sayang Juna, yang penting buat aku itu sayangnya mama."
"Yudis.." Laki-laki itu tersenyum sembari mengecup kening ibunya.
"Yudis enggak apa-apa kok kalau mama mulai perhatiin Juna, karena Yudis tau sampai kapanpun sayangnya mama akan selalu ada dan utuh untuk aku." Briani kembali sesegukan di dada anak tunggalnya, perempuan itu benar-benar merasa iba pada nasib anaknya yang harus selalu mengalah pada Arjuna. Sejak dulu, Yudistira selalu di nomor duakan karena orang-orang selalu mengutamakan kepentingan dan perasaan Arjuna.
Yudistira membaringkan ibunya di atas ranjang, perempuan itu akhirnya jatuh tertidur setelah menangis lama. Melalui interkom, Yudistira meminta pelayan membawa es batu dan juga handuk wajah ke kamar ibunya karena ia tahu Briani tidak akan senang, jika melihat matanya menjadi sebesar bola ping pong besok pagi.
"Kamu di sini?" Yudistira langsung berdiri tegak begitu mendengar suara Dewanata yang terkejut.
"Iya pa." Yudistira memperhatikan ayah sambungnya mengambil beberap barang.
"Papa enggak tidur di sini?" tanyanya tanpa bisa di tahan.
"Bukan urusan kamu." Ucap Dewanata sebelum keluar dari kamar. Yudistira menatap pintu yang tertutup, kemudian menatap ibunya yang terbaring lemas di atas ranjang. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa ibunya masih mempertahankan pernikahannya dengan Dewanata.