Medda membersihkan piring yang baru saja di cuci dengan pikiran di atas awang-awang, perempuan itu masih tidak bisa melupakan kejadian satu minggu yang lalu. Kemarahan Arjuna dan juga keadaan Yudistira yang harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit, hari ini Yudistira akan kembali ke rumah dan Arjuna sudah mewanti-wanti Medda untuk tidak menemui laki-laki itu.
"Jangan melamun Medda!" perempuan itu tersentak, piring di tangannya nyaris jatuh jika saja ia tidak cukup cekatan untuk menangkapnya.
"Ck, dasar anak emas. Kamu kira nyonya besar enggak akan marah kalau kamu mecahin itu piring?!"
"Siapa yang berani marahin Medda? Tukang ngadu satu ini pasti akan langsung lari, ngadu ke tuan Arjuna. Ngomong macem-macem sampai salah satu dari kita akhirnya di pecat."Medda mengabaikan orang-orang yang mengerumuninya, teman-temannya memang tidak begitu menyukainya entah karena apa.
"Denger-denger, kamu bukan cuma berhasil narik perhatian tuan muda Arjuna, tapi kamu juga berhasil menarik perhatian tuan muda Yudistira." Salah satu pelayan perempuan maju dan menatap Medda dari ujung kaki hingga ujung kepala, pelayan perempuan senior itu kemudian berdiri di hadapan Medda dan menunjuk-nunjuk kening perempuan muda itu dengan jari telunjuknya.
"Jangan maruk Medda, bukan cuma kamu yang berharap bisa dapet hak istimewa di rumah ini."
"Aku enggak ngerti apa maksud kalian." Jawab Medda dengan kebingungan.
"Ck, jangan pura-pura bego!" Medda mundur satu langkah ketika semakin banyak orang yang mengerubunginya.
"Denger, jangan sok karena kamu berhasil bikin ke dua tuan muda di rumah ini tertarik sama kamu. Di sini kamu bukan siapa-siapa, sadar diri. Ngerti?" Medda mengangguk, sekumpulan pelayan itu pergi setelah sekali lagi mendorong bahunya pelan.
Medda menghela napas dan memilih melanjutkan pekerjaannya, masih banyak piring basah yang harus ia keringkan sedangkan beberapa pelayan senior memilih cekikikan di dalam kamar khusus pelayan di rumah keluarga Wardana.
"Jangan melamun Medda." Perempuan itu lagi-lagi tersentak, kali ini tangannya tidak cukup sigap menahan piring yang tergelincir jatuh dan langsung menghantam lantai marmer.
"Astaga!"
"Eng, maaf. Saya bikin kamu kaget ya." Medda menatap pecahan piring keramik dan juga Yudistira bergantian, perempuan itu kemudian menghela napas dan bergegas membereskan pecahan keramik sebelum pecahan tersebut melukai seseorang.
"Aw!" pekik Medda ketika merasakan sesuatu menusuk jarinya.
"Astaga, kamu enggak apa-apa?" Dengan langkah tertatih Yudis mencoba mendekat.
"Sini, biar saya liat." Ucap Yudis yang langsung menyambar tangan Medda, di tatapnya jari yang mengucurkan darah itu dengan lekat sebelum berdecak.
"Ck, ada serpihan keramik di sini. Kamu benar-benar ceroboh!"
"Saya enggak akan luka kalau tuan enggak ngagetin saya."
"Ck, diem sebentar." Yudis membersihkan darah di jari Medda dengan hati-hati sebelum memasukan jari ramping pelayannya itu kedalam mulutnya.
"Eh!"
"Stt, diem sebentar." Medda tidak tau harus berbuat apa karena Yudis menahan tangannya dengan kencang, perempuan itu juga bisa merasakan lidah hangat laki-laki itu menekan-nekan lukanya dengan pelan seolah mencari sesuatu.
"Nah ini, serpihannya udah keluar."
"Oh eng iya, makasih."
"Lain kali jangan bersihin pecahan kaca atau keramik dengan tangan kosong Medda." Ucap Yudistira sembari berdiri, laki-laki itu menepuk-nepuk celananya sekilas sebelum memperhatikan Medda yang masih menunduk sembari memegangi salah satu pergelangan tangannya.
"Hati-hati bersihin pecahan keramiknya." Ucap laki-laki itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Medda sendirian di dapur.
***
"Yudis, kamu ini dari mana?"
"Ambil minum ma." Jawab laki-laki itu dengan santai.
"Kan bisa minta pelayaan bawain untuk kamu, kenapa harus ngambil sendiri sih. Inget loh, kamu ini baru sembuh. Enggak usah macem-macem dulu." Briani memang seberlebihan itu dengan hal yang berhubungan dengan putranya.
"Papa udah urus surat cuti kamu, satu bulan. Manfaatin itu untuk mulihin kesehatan kamu lagi ya."
"Satu bulan?! Yang bener aja mas, satu bulan terlalu sebentar untuk Yudis."
"Ma.."Yudistira menengahi.
"Satu bulan itu cukup, enggak apa-apa. makasih pa." Dewanata mengangguk.
"Kamu memang enggak pernah sayang dan peduli kan sama Yudis." Ucap Briani dengan dingin.
"Arjuna udah bikin Yudis sebegininya aja kamu masih diem aja, mana anak itu? dia enggak mau minta maaf apa sama adiknya?"
"Buat apa?" Briani menatap Arjuna yang memasuki ruang makan dengan marah, hatinya masih terluka mengingat bagaimana anak sambungnya itu memukuli putra tunggalnya beberapa waktu lalu.
"Tante Bri aja enggak pernah minta maaf karena udah ngancurin keluarga saya."
"Arjuna, kematian mama kamu bukan salah tante. Dia bunuh diri karena kemauannya sendiri kok."
"Briani!" Dewanata menggebrak meja makan dengan kesal.
"Kalau kamu enggak bisa menjaga mulut kamu itu, mending kamu enggak usah ikut makan siang." Briani yang kesal langsung angkat kaki.
"Maafin mama pa, mama cuma masih panik aja. Papa juga tau kan gimana berlebihannya mama kalau udah urusan sama Yudis"
"Anak mama." Yudis mengabaikan sindiran Arjuna.
"Yudis nyusul mama dulu ya pa, semoga papa menikmati makan siangnya." Dewanata hanya menganggukan kepala dan membiarkan Yudis pergi menyusul Briani seorang diri meski ia bisa melihat bagaimana tertatihnya langkah anak sambungnya itu.
"Jo, panggil Medda. Bilang saya mau makan." Kepala pelayan itu sudah akan pergi ketika Dewanata menahannya.
"Enggak usah Jo, saya perlu bicara sama Arjuna. Empat mata."
"Baik tuan, saya mengerti." Dewanata menunggu beberapa saat, setelah memastikan Jo mensterilkan area ruang makan baru laki-laki itu menatap Arjuna yang sedang menyilangkan kaki seolah menantangnya.
"Aku enggak akan pernah minta maaf."
"Kamu tau kenapa papa enggak mau negur kamu di hadapn Briani kan?" Arjuna mengangkat bahu tidak peduli.
"Papa enggak mau kamu merasa tersudutkan Juna, papa enggak akan pernah negur kamu di hadapan mama atau saudara kamu itu."
"Mereka bukan mama dan saudara ku pa, mereka keluarga baru papa. Bukan aku." Dewanata memejamkan mata, kehabisan akal untuk membujuk putra satu-satunya itu.
"Aku bukan penghianat kayak papa, mengakui mereka sama aja aku ngecewain mama. Dan aku enggak mau kayak gitu."
"Juna!"
"Denger pa, sebaik-baiknya papa mencoba memperbaiki kedaan apa yang udah hancur enggak akan pernah bisa utuh lagi. Lukanya Juna, kecewanya Juna enggak akan bisa ilang. Jadi jangan paksa Juna ngejalanin hidup yang sama kayak yang papa jalanin sekarang, karena untuk bisa ngedapetin hidup ini papa udah ngormabin hidupnya Juna dan mama." Dewanata tidak lagi menahan langkah putranya, ia biarkan Arjuna meninggalkan ruang makan.
"Jo, suruh Medda nganter makan siang untuk Juna."
"Baik.. tuan."
"Suruh supir siap-siap juga, saya mau kembali ke kantor sekrang."
"Baik tuan." Sebelum benar-benar meninggalkan ruang makan, Jo memberikan tanda kepada pelayan untuk membereskan makanan di meja makan. Karena hari ini seluruh keluarga Wardana memutuskan untuk tidak makan siang.