"Mas.." Briani menepuk bahu Dewanata yang sedang terpaku menatap gundukan tanah merah yang baru saja menelan jasad istrinya beberapa saat yang lalu.
"Mas Nata.."
"Pergi." Perintah laki-laki itu dengan dingin.
"Mas."
"Cukup Bri, cukup. Tolong, jangan ganggu keluarga saya lagi." Jerit laki-laki itu sembari menatap Briani dengan matanya yang merah.
"Liat apa yang kamu lakukan! Kamu membuat saya kehilangan Padi!"
"Padi memutuskan membunuh dirinya sendiri mas, itu bukan karena aku atapun kamu."
"Cukup Briana, cukup. Mulai sekarang, kamu urus hidup kamu sendiri." Tangan perempuan itu terkepal, Bariani membulatkan tekad untuk mengejar Dewanata meski laki-laki itu berkali-kali mengabaikan keberadaannya.
***
"Bu, kita sudah sampai." Briani mengerjapkan mata, perempuan itu menatap sekeliling untuk memastikan ia sedang tidak terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya sebelum berhasil meyakinkan Dewanata untuk menikahinya dulu.
"Bu?"
"Ah, iya. Saya sebentar lagi turun. Kamu tunggu sini, jangan kemana-mana. Saya cuma sebentar."
"Baik bu."
Briani memastikan dandanannya sekali lagi, perempuan itu meyakinkan diri kalau ia tidak memiliki waktu untuk menyesali pilihannya untuk mengejar Dewanata. Karena sekarang, ia harus melakukan misi besar, yaitu menemukan perempuan untuk di jodohkan dengan Arjuna atau anak laki-laki Dewanata itu akan merebut Dya dari anaknya.
"Bri!" Perempuan itu menyambut pelukan temannya.
"Ya ampun, kangen banget deh. Oh iya kenalin, ini Mima. Anak perempuanku."
"Siang tante, aku Mima." Briani memperhatikan perempuan yang sepertinya gemar bersolek di hadapannya, anak temannya itu kelihatan cantik dan juga bodoh. Jelas perempuan seperti ini yang Briani butuhkan untuk mengamankan posisi putranya nanti.
"Astaga, Mima canti sekali. Kayak model loh."
"Banyak yang bilang begitu sih tante, padahal bukan. Aku enggak kerja, mami bilang ngapain capek-capek kerja toh nanti papi pasti cariin suami yang kaya untuk aku." Ucap si perempuan sembari terkikik, Briani memperhatikan semuanya sembari mengulum senyum. Perempuan tanpa kekuasaan, bodoh dan hanya tau cara bersolek benar-benar paket lengkap untuk menjauhkan posisi Arjuna sebagai pewaris Wardana.
"Wah pas banget, tante memang mau menjodohkan kamu sama anak tante. Arjuna, kamu tau?"
"Tau." Jawab perempuan itu dengan riang.
"Siapa sih tan yang enggak tau Arjuna, laki-laki kaya dan ganteng kayak dia sih udah jadi incaran semua perempuan."
"Termasuk Mima?"
"Iya, hahahaha. Sebenernya Yudistira juga jadi incaran perempuan muda di pergaulan kelas atas sih tan, tapi statusnya yang bukan sebagai anak kandung Wardana bikin beberapa perempuan skeptis kalau dia bisa memiliki warisan Wardana walau cuma satu persen.
"Mima."
"Aw! apaan sih mi." Briani meminum tehnya demi menenangkan perasaannya yang menggelegak, demi rencananya ia harus terus berbaik hati kepada gadis bodoh di hadapannya.
"Hahahaha, Bri. Di maklum ya, Mima ini.. polos banget."
"Enggak apa-apa, aku ngerti kok. Ngomong-ngomong besok malam Mima sibuk? Tante mau ngundang Mima makan malem di rumah besok.
"Makan malam di rumah Wardana?"
"Iya, bisa?"
"Bisa! Bisa banget tante Bri, bisa."
"Oke, kalau gitu besok tante tunggu ya." ucap Briani sembari membereskan barang-barangnya.
"Sampai ketemu besok ya Mima, tante pergi dulu."
"Hati-hati tante Bri." Briana hanya menganggukan kepala sebagai jawaban sebelum akhirnya meninggalkan perempuan bernama Mima yang sedang berteriak kegirangan karena akan makan malam di rumah keluarga Wardana.
***
"Pelan-pelan."
"Manja."
"Ish, sakit tuan."
Yudistira yang baru sampai di ujung tangga bawah mengeryit begitu mendengar suara bisik-bisik di ruang keluarga Wardana. Laki-laki itu bahkan harus melihat jam di dinding untuk memastikan bahwa itu bukan waktunya anggota keluarga Wardana pulang kerumah.
"Tahan sebentar."
"Aduh, jangan kasar-kasar dong tuan." Yudistira yang sudah berada di ruang makan khusus keluarga semakin penasaran, karena itu ia langkahkan kakinya menuju ruang keluarga yang hanya di sekat oleh partisi dengan ornamen daun.
"Di tiup dulu sini sebentar."
"Enggak! Tuan Juna bukannya niup tapi malah nyembur."
"Ahahaha, apaan sih orang kemaren emang iseng kok. Sekarang di tiup beneran, janji."
"Enggak!"
"Juna?" Percakapan dua sejoli di ruang keluarga langsung terhenti, Arjuna menatapnya sekilas sebelum terang-terangan mengabaikan kehadirannya.
"Ini masih jam kantor, lo kok di sini?"
"Bukan urusan lo." Yudistira mengabaikan kesinisan saudaranya dan memilih untuk bergabung bersama dua sejoli yang sebelumnya asik sendiri tersebut.
"Medda kenapa?" tanyanya sembari menunjuk kening perempuan itu yang memar.
"Oh, eng kemarin jatuh tuan." Jawab Medda sembari melirik Arjuna takut-takut.
"Memar begitu harus di olesin salep, enggak cukup kalau cuma di kompres atau di tiup aja." Yudistira melirik Arjuna dengan terang-terangan.
"Kalau kamu mau saya punya salep untuk memar di kamar saya."
"Jangan ngelunjak Yudis!"
"Enggak, hahahah enggak perlua tuan." Medda dengan cepat menahan tangan Arjuna, ia tidak ingin laki-laki itu kembali kesetanan dan memukili saudaranya lagi.
"Tuan Arjuna juga udah beliin salep memar untuk saya."
"Oh, oke kalau gitu." Ruang keluarga mendadak hening, Medda yang merasa canggung sebenarnya tidak tahan dan ingin segera angkat kaki dari sana. Tapi perempuan itu khawatir, jika Arjuna akan kembali menyulut pertengkaran dengan saudara tidak sedarahnya tersebut.
"Ke dapur sana, ambilin saya minum." Perintah Arjuna tiba-tiba.
"Ya?"
"Ambilin saya minum Medda, saya haus."
"Oh, eng.. tapi.." Medda melirik Arjuna dan juga Yudistira secara bergantian, mencoba menimbang-nimbang apakah tidak masalah meninggalkan dua orang berdarah panas itu hanya berdua di ruang makan.
"Dua ya, saya juga haus." Ucap Yudistira sembari mengulum senyum.
"Eng.. iya tuan. Tunggu sebentar." Medda beberapa kali menoleh, untuk memastikan ke dua tuan mudanya itu masih tetap duduk diam di sofa mereka masing-masing sampai akhirnya perempuan itu menghilang di balik pintu dapur.
Arjuna melirik sebentar, setelah memastikan Medda benar-benar jauh laki-laki itu mengubah posisinya, Arjuna bersiap memulai konfrontasi dengan saudara tirinya yang belakangan ini terlihat sedikit memiliki ketertarikan dengan Medda.
"Apa?" tanya Yudistira yang jengah dengan tatapan tajam saudaranya.
"Jangan coba-coba deketin Medda, lo tau aturannya kan."
"Tau, tapi kayaknya aturan itu enggak berlaku untuk gue." Jawab Yudistira sembari mengulum senyum.
"Lo enggak akan bisa ngusir gue dari rumah ini, lo juga enggak akan bisa bertindak terlalu jauh karena-"
"Karena ada nyokap lo yang enggak tau diri itu?" potong Arjuna dengan dingin.
"Denger Yudis, lo bukan siapa-siapa di rumah ini. Nyokap lo yang murahan itu juga enggak punya kuasa apa-apa, jadi jangan tinggi hati. Cuma karena Briani menikah dengan Dewanata, bukan berarti kalian bisa jadi Wardana." Emosi Yudistira kali ini tersulut, ia tidak terima Arjuna menyebut ibunya dengan sebutan 'perempuan murahan'.
"Lo kira Dewanata akan ngizinin lo sama Medda? Sebagai pewaris keluarga, bokap lo pasti udah milihin pasangan yang layak buat lo. Dya contohnya." Yudistira sedikit menyeringai sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Jadi saran gue, jangan buat-buang waktu Juna. Lebih baik lo terima aja perjodohan yang lagi di atur bokap lo itu dan biarin Medda sama gue. Lo belum apa-apain dia kan? Oh atau udah? Ya enggak masalah juga sih, gue bisa terima dia apa adanya." Ucap Yudistira sembari tertawa terbahak-bahak, laki-laki itu jelas sangat menikmati wajah Arjuna yang memerah karena menahan amarah.