"Hiks… hiks…" Medda yang saat itu sedang bersiap untuk menjemur pakaian mengernyit, ia letakan kerjanjang kemudian mengendap-endap mendekati suara tangisan yang samar-samar terdengar dari dalam gudang.
"Tuan muda?" tanya Medda sembari memperhatikan tuan mudanya menghapus air matanya cepat, bocah laki-laki berumur sepuluh tahun itu kemudian menatap Medda dengan marah.
"Ngapain kamu?"
"Saya yang harusnya nanya, tuan Juna ngapain di sini?" Medda memperhatikan lantai penuh debu yang di duduki anak majikannya.
"Lantainya kotor, tuan Juna pasti di marahi kalau sampai tuan besar tau."
"Kalau gitu papa jangan sampai tau." Medda hanya bisa menggelengkan kepala.
"Haah, yaudah. Kalau gitu saya mau lanjut kerja lagi ya tuan."
"Kamu enggak nanya, saya kenapa?"
"Enggak, ngapain saya nanya kalau udah tau jawabannya. Ngomong-ngomong, kalau tuan masih mau lama di sini nanti saya bakal ngarang alesan ke tuan besar kalau beliau nanyain tuan kesaya." Medda memajukan tubuhnya kemudian berbisik
"Saya juga enggak akan bilang-bilang yang lain kalau tuan ada di sini, dari kemaren mereka terus aja minta tuan Juna buat enggak sedih. Padahal sedih karena kehilangan orang yang paling berharga buat kita itu kan wajar."
"Wajar?"
"Iya, normal kalau tuan sedih terus mau nangis sampai teriak-teriak. Justru kalau tuan diem aja itu namanya yang enggak wajar."
"Wajar ya.." ulang Arjuna kecil dengan suara lirih.
"Saya kerja lagi ya tuan, permisi."
"Eh, tunggu!" Medda menaikan alis karena Arjuna tidak juga menyampaikan keinginannya.
"Selesai kerja, kamu kesini lagi. Temenin saya, saya enggak mau sendirian." Medda mengulum senyum kemudian menganggukan kepala.
"Iya, nanti saya kesini lagi."
***
Medda menangis sesegukan di kamarnya, perempuan itu sejak tadi terus memukuli dadanya yang terasa sesak.
"Atau kamu berfikir kalau kamu yang layak untuk mendapingi anak saya?"
Medda kembali mengingat perkataan Dewanata yang sejujurnya sangat melukai hatinya, perempuan itu sadar akan posisinya. Berkali-kali Medda meyakinkan diri kalau semua yang di lakukannya untuk Arjuna adalah bagian dari pekerjaannya, tapi mendengar Dewanata benar-benar meremehkannya seperti tadi Medda tidak bisa untuk tidak merasa tersinggu.
'tok..tok..tok.."
Medda mengusap air matanya dengan cepat begitu mendengar pintu kamarnya di ketuk, perempuan itu bahkan harus menarik napas panjang sebelum membuka pintu dan menemukan Arjuna berdiri sembari menatapnya keheranan.
"Kamu kenapa?"
"Ha?"
"Ck, saya panggilin kamu dari interkom tapi yang dateng malah pelayan lain. Katanya kamu lagi enggak enak badan jadi ngambil waktu istirahat."
"Oh.. eng, itu.." Medda kelabakan.
"Kamu.. habis nangis? Muka kamu merah banget." Medda spontan menagkis tangan Arjuna yang terulur ingin menyentuh wajahnya.
"Medda." Geram Arjuna tidak suka.
"Sa.. saya enggak apa-apa tuan, mungkin karena saya sedikit demam. Jadi.. jadi agak merah."
"Liat saya." Medda masih berusaha menghindar.
"Liat saya Medda!" Arjuna memperhatikan wajah pelayan pribadinya lekat, laki-laki itu memperhatikan jejak-jejak air mata yang samar-samar ada di pipi Medda.
"Ck."
"Tu.. tuan.." Medda panik karena tiba-tiba saja Arjuna mendorongnya masuk dan mengunci pintu kamarnya.
"Ada apa?" tanya Arjuna langsung.
"Ada yang ganggu kamu? Salah satu pelayan di rumah ini?" Medda menggeleng.
"Enggak ada tuan saya cuma.. demam."
"Oke kalau kamu enggak mau bilang, biar saya cari tau sendiri."
"Tu.. tuan!"
Medda panik, perempuan itu setengah berlari mengejar langkah tuannya yang cepat. laki-laki itu berteriak dengan lantang meminta Jo mengumpulkan semua pekerja di ruang tengah.
"Tuan.."
"Juna, apa-apaan ini?" Dewanata menuruni anak tangga sembari mengernyit, tidurnya terganggu karena ulah anak semata wayangnya. Begitu juga Yudistira dan Briani yang hanya diam memperhatikan tinggak tuan muda Wardana dari ujung tangga.
"Jo, periksa kamera ke amanan. Lihat apa ada salah satu dari mereka yang mengganggu Medda."
"Baik tuan." Arjuna sama sekali tidak peduli dengan dengusan Briani ataupun gelengan kepala ayahnya.
"Juna, ini sudah malam. Kamu bisa minta Jo cari orangnya dan kita tidur, papa akan bilang Jo untuk pecat orang yang udah ganggu Medda itu."
"Sebelum Jo dateng, saya mau kalian sendiri yang ngaku." Dewanata menggelengkan kepala, sadar kalau anaknya sama sekali tidak ingin mendengar kata-katanya.
"Siapa di antara kalian yang berani ganggu Medda, Jawab!" semua pelayan menunduk.
"Tuan.. enggak ada yang ganggu saya, sumpah. Saya bersumpah tuan." Suara Medda bergetar.
"Sa.. saya.. nangis karena kangen ambu."
"Biar Jo yang pastiin."
"Saya enggak bohong, saya memang nangis karena tiba-tiba aja inget ambu."
"Astaga! Makanya Medda kalau apa-apa itu jelasin yang bener, kamu bener-bener ganggu jam tidur saya tau enggak."Protes Briani dari ujung tangga.
"Sudah, sekarang semua bubar. Kembali ke kamar kalian masing-masing." Dewanata memberi perintah yang langsung di lakukan oleh para pekerja.
"Ma.. maaf, karena bikin salah paham." Medda menunduk, ia bisa merasakan tatapan menusuk dari Dewanata untuknya.
"Saya enggak mau yang kayak gini ke ulang lagi Medda."
"Maaf.. tuan."
***
"Kenapa tiba-tiba kangen ambu?" tanya Arjuana yang sekarang sedang membantu Medda berbaring di ranjangnya.
"Enggak tau, tiba-tiba inget aja."
"Medda."
"Hm?"
"Besok kita ziarah." Medda tertawa.
"Tuan ini aneh, makamnya nyonya Padi aja jarang tuan datengin. Ini kok mau datengin makam orang lain."
"Besok sekalian kita ke makam mama juga." Medda menggeleng.
"Besok saya kerja, tuan juga."
"Pokoknya besok kita ziarah, siap-siap dari pagi ya. soalnya makan mama lumayan jauh." Medda memutuskan untuk mengangguk saja.
Arjuna menemani Medda sampai perempuan itu tertidur, ia sudah menerima laporan dari Jo melalui ponselnya. Tidak ada yang menyakiti Medda, perempuan itu mungkin benar-benar merindukan ambunya yang juga mantan pekerja di kediamanan Wardana. Tapi ada satu hal yang harus Arjuna pastikan, karena itu ia bergegas menaiki anak tangga menuju kamar Dewanata.
"Pa!" Arjuna mengetuk pintu dengan cepat.
"Papa!"
"Astaga, ada apa lagi sih ini?!" Briani muncul dari dalam kamar.
"Mana papa?!"
"Ck, di ruang kerjanya mungkin atau di kamar tamu. Enggak tau cari aja sana."
Arjuna mengumpat begitu Briani membanting pintu kamar tepat di depan wajahnya. Laki-laki itu kemudian menuju ruang kerja ayahnya, sayangnya terkunci. Ayahnya tidak ada disana, Arjuna sudah akan memeriksa kamar tamu sampai matanya tidak sengaja terpaku pada pintu kamar lama yang dulu di tempati mama dan papanya.
"Pa." Panggilnya setengah ragu.
"Ck, mana mungkin sih."
"Ada apa lagi?" Arjuna terkejut karena pintu kamar itu benar-benar terbuka.
"Arjuna, ada apa?" tanya Dewanata yang memperhatikan raut terkejut anaknya.
"Ada yang benar-benar mengganggu Medda? Kita bisa langsung pecat dia kalau kamu memang mau."
"Papa.. tidur di sini?" tanya Arjuna dengan tatapan mata kosong.
"Juna.."
"Kenapa baru sekarang? dulu, waktu mama masih ada papa jarang banget tidur di sini. Papa lebih sering bermalam di rumah tante Briani." Arjuna menatap ayahnya dengan tatapan tajam.
"Sekarang percuma pa, mama udah enggak ada."
"Juna.."
"Mama meninggal karena kesepian dan itu gara-gara papa."