Hubungan anggota keluarga Wardana semakin dingin, Dewanata jelas-jelas semakin mengabaikan istrinya, begitu juga Arjuna dan Yudistira yang sejak kemarin terang-terangan bermusuhan. Ke dua tuan muda itu tidak segan melempar sindiran tajam satu sama lain.
"Kenapa ada lima piring?" Tanya Dewanata begitu pelayan menyiapkan satu piring tambahan di samping Arjuna.
"Oh, aku belum bilang ya mas. Hari ini aku ngundang seseorang untuk bergabung bersama kita.
"Siapa? Dya?" Briani mengulum senyum, wajahnya semakin cerah begitu Jo masuk menuntun seorang perempuan cantik yang langsung membuat Dewanata mengerutkan kening melihatnya.
"Selamat malam, om dan tante. Saya Mima."
"Ya malam." Dewanata masih menatap Briani, sama sekali tidak mengerti dengan maksud perempuan itu.
"Juna." Panggil Briani pelan.
"Kenalin, ini Mima. Perempuan yang akan di jodohkan dengan kamu, cantikkan?" seluruh pelayan yang hari itu bertugas melayani meja makan menunduk, mereka tau akan ada perang sebentar lagi.
"Kalau kamu memang banyak waktu luang, kenapa enggak kamu gunain waktu itu untuk ngajarin Yudistira soal sopan santun dan sikap tau diri." Ucap Arjuna dengan dingin.
"Juna, jangan begitu. Kamu kan juga anak mama, sama seperti Yudis mama juga mau kamu mendapatkan yang terbaik."
"Omong kosong."
"Juna.."
"cukup." Potong Dewanata dengan tidak kalah dinginnya.
"Ini waktunya makan, bukan berdebat." Di pandanginya perempuan bernama Mima yang sejak tadi tidak bisa berhenti memangi putranya, sekali lihat Dewanata bahkan bisa menebak perempuan seperti apa yang di bawa Briani untuk di jodohkan dengan Arjuna.
"Nah, Mima duduk di sana ya. di dekat Arjuna."
"Iya tante." Mima dengan tidak tau dirinya duduk di samping Arjuna yang sedang di layani oleh Medda.
"Kamu pasti Yudistira, anak bawaan tante Bri dari pernikahannya yang pertama." Seluruh orang di meja makan menaikan alis, perempuan yang seperti tengkorak hidup itu benar-benar memiliki attitude yang buruk.
"Aku kenyang, kalian silahkan makan dengan tenang."
"Astaga! Pelayan kurang ajar, bisa kerja enggak sih kamu." Langkah Arjuna terhenti begitu mendengar suara kesakitan seseorang yang di kenalnya. Matanya menggelap begitu melihat perempuan sialan yang di bawa oleh Briani menarik rambut Medda dengan kasar.
"Dasar goblok, kamu enggak tau berapa harga gaun ini?!"
"Maaf.. maaf non, tapi tadi nona yang tiba-tiba berdiri."
"Malah ngeles!" Mima sudah akan melayangkan pukulan hingga tangannya di tahan oleh seseorang, bulu kuduknya meremang begitu melihat Arjuna berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam.
"Juna!" Briani langsung berlari, menolong Mima yang jatuh tersungkur di dorong oleh si sulung Dewanata.
"Apa-apaan kamu hah?! Mama kamu enggak pernah ngajarin kamu untuk enggak kasar sama perempuan ya?!"
"Mama saya memang enggak punya waktu untuk itu." Briani tergagap, perempuan itu melirik Dewanata yang juga sedang menatapnya dengan berang.
"Kalau kamu lupa, kamu yang bikin mama saya enggak sempet ngajarin saya gimana caranya memperlakukan perempuan."
"Juna.." Briani mulai takut, karena ia belum pernah melihat Arjuna semarah ini sebelumnya. Perempuan itu juga tau, kalau kali ini Dewanata tidak akan membantunya.
"Juna, tante.."
"Jangan banyak omong!" Mima mengkerut takut di dalam pelukan Briani yang sama gemetarnya dengan perempuan itu.
"Kalian kira, kalian siapa?! berani bersikap seenaknya di kediaman Wardana." Arjuna melangkah, menarik paksa perempuan bernama Mima hingga perempuan itu menjerit heboh.
"Sa..sakit Jun."
"Cukup." Arjuna melirik Dewanata dengan dingin.
"Jo, minta supir antar Mima pulang."
"Baik tuan, Eng.. permisi tuan Juna." Jo dengan perlahan memcoba melepaskan Mima dari cengkraman tangan Arjuna. Laki-laki paruh baya itu meringis begitu melihat memar di pergelangan tamu keluarga Wardana tersebut.
"Mari nona.." ucap Jo sembari menuntun Mima yang mengis sesegukan.
***
Dewanata diam, memperhatikan Arjuna yang langsung membopong Medda yang terisak, laki-laki itu membawa Medda ke kamarnya sama sekali tidak peduli dengan keheningan yang tiba-tiba saja memenuhi meja makan.
"Pa.."
"Lebih baik kamu masuk ke kamar kamu Yudistira, papa harus bicara empat mata dengan ibu kamu." Dewanata mengabaikan Yudistira yang langsung berdiri memasang badan untuk ibunya.
"Pa, tenang dulu ya. Mama pasti punya alesan."
"Apapun alesannya, itu sesuatu yang enggak baik untuk Arjuna, iya kan?"
"Mas.. aku.."
"Masuk ke kamar kamu sekarang Yudistira!" Briani langsung mendorong tubuh anaknya, memaksa laki-laki itu menuruti perintah Dewanata.
"Tapi ma.."
"Enggak apa-apa, kamu ke atas sekarang ya."
Yudis ragu, tapi ia tahu Dewanata tidak bisa di tolak karena itu kali ini ia menurut. Menaiki anak tangga kemudian bersembunyi di balik tembok, ia tidak bisa meninggalkan ibunya begitu aja dengan Dewanata yang sedang benar-benar di bakar emosi.
"Aku udah bilang Bri, aku mau Arjuna mendapatkan sesuatu yang sama baiknya dengan Yudistira. Tapi apa yang kamu bawa hari ini? Perempuan bodoh yang cuma bisa morotin harta Wardana."
"Mas.."
"Sekarang aku ngerti, gimana arti Arjuna di mata kamu."
"Kamu salah paham mas."
"Salah paham? Ucapan kasar kamu soal Padi tadi juga salah paham?" Briani tergagap.
"Itu.. aku.."
"Dulu aku juga berfikir kalau bersikap kasar kepada perempuan adalah kesalah Bri, karena itu aku menolong kamu dari Hendru."
"Mas.." Brini panik karena tiba-tiba saja Dewanata menarik ikat pinggangnya.
"Sekarang aku tau, akan selalu ada pengecualian di dunia ini."
"Mas!"
'cetar' 'cetar' 'cetar'
Yudistira menutup telinga kencang-kencang, tubuhnya luruh dengan gemetar di atas lantai. Samar-samar jeritan kesakitan ibunya masuk ketelinga. Hal tersebut mengingatkannya pada kejadian saat ia kecil dulu, saat Briani sering mendapat perlakuan kasar dari ayahnya.
"Ampun mas, aku mohon. Ampun.." Briani bersimpuh, memegang kaki Dewanata kencang.
"Aku minta maaf."
"Lepas!" Briani terisak begitu Dewanata menghempaskan tubuhnya dengan kasar.
"Ingat Briani, aku enggak akan pernah segan kalau kamu berani mengganggu Arjuna. Jangan serakah, karena sampai kapanpun kamu dan Yudistira enggak akan pernah benar-benar menjadi Wardana."
Dengan tubuh gemetar, Yudistira melangkah menuruni anak tangga setelah memastikan Dewanata tidak lagi berada di ruang makan.
"Ma.."
"Yu.. Yudis.." Yudistira langsung berlari, menyongsong sosok ibunya yang berusaha memperbaiki penampilan.
"Mama enggak apa-apa, mama enggak apa-apa." Yudistira mengangguk.
"Aku tau." Yudistir mengecupi puncak kepala ibunya dengan sayang.
"Yudis tau mama kuat." Bisiknya sebelum ikut terisak bersama Briani, laki-laki itu juga dengan sangat hati-hati membantu ibunya menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Sebentar, Yudis panggil Jo untuk telefon dokter."
"Enggak usah." Briani menahan lengan anaknya.
"Mama cuma mau di peluk." Permintaan sederhana itu membuat Yudistira terenyuh.
"Iya, Yudis peluk mama." Laki-laki itu berhati-hati agar tidak menyentuh luka di tubuh ibunya, Melihat semenyedihkan apa keadaan perempuan yang melahirkannya mata Yudis berkilat penuh amarah.
"Yudis janji ma, kita akan mendapatkan Wardana. Yudis janji akan buat mereka semua tunduk di bawah kaki kita, Yudis janji."