2. Ajakan Ibu Mertua
"Ihh kok gitu, sih, Mas? Bos kamu cowok apa cewek? Bilang! Biar gampang aku ngelabraknya."
Aku masih mendumel tidak jelas. Bagaimana tidak? Suami yang kukenal jujur, penyayang, baik hati, murah senyum, dan gak banyak tingkah tiba-tiba dituduh mencuri duit kasir.
Hellow!!
Gini-gini juga aku kerja sampingan di rumah buat nambah penghasilan. Aku sama Ramdan sama-sama dari keluarga berkecukupan, cuma kurang momongan aja. Tega hati bos Ramdan memfitnahnya tanpa bukti. Mentang-mentang suamiku yang jaga kasir jadi dia bebas menuduhnya.
Masih untung itu duit dijagain suamiku, coba kalau tidak? Akhir bulan suamiku gak bakal digaji kayaknya.
Ramdan setia mengelus punggungku sambil tersenyum. Posisinya tak lagi tiduran berbantal pahaku lagi, ia sudah duduk tegap dengan badan menghadap ke arahku. Aku yang masih dilanda emosi berakhir memukuli boneka pajangan sofa sebagai pelampiasan.
"Udah-udah. Emang udah takdir Mas buat resign dari sana dan cari kerjaan baru. Maafin, Mas ya," ucap Ramdan sedikit menyesal. Aku menggeleng tak setuju.
"Bisa-bisanya kamu nyalahin diri sendiri, Mas. Ini bukan salah kamu! Aku tau betul sifat kamu itu gimana. Mungkin partner kamu yang ceroboh atau mungkin dia yang nyuri uangnya," tuduhku mulai mengada-ngada.
"Hush! Jangan suudzon, Dek! Barangkali si bos lupa naruh aja terus panik dan mecat, Mas."
"Ah, Mas positif thinking terus bawaannya. Kan bisa dibicarain baik-baik. Orang jujur kayak suamiku ini jaman sekarang langka, Mas. Biarin aja mereka nyesel kalau Mas udah gak ada di sana dan malingnya masih ada."
Aku bersedekap dengan wajah cemberut. Bibirku yang hanya terpoles liptint maju 5 centi sembari menggembungkan pipi. Ramdan langsung mencubit pipiku, mengunyel pelan sebelum berakhir digigiti olehnya.
"Jangan digigiti, Mas! Nanti tambah tembem," ucapku memperingati. Berulang kali aku mencoba menjauhkan diri dari suamiku tapi ia malah merengkuh pinggangku. Jadilah sekarang aku ada di pangkuannya dengan tangan mengalung di leher Ramdan.
Aku tersipu dengan mata fokus pada sudut kamar.
"Gak apa-apa 'kan tembemnya Mas yang buat." Selesai menggigiti pipiku, Ramdan beralih mengendus leherku. Astaga, ini geli sekali. Ingin menyingkir tapi Ramdan terlalu kuat merengkuh pinggangku agar tetap dalam posisi seperti ini. Meski tidak ada yang melihat kelakuan kami, tetap saja aku malu.
"Ramdan Ihh!!"
"Berani manggil nama, ya?"
Aku cengengesan ketika netra kami bersirobok dalam waktu lama. Tak kusangka, Ramdan justru memberiku kecupan tepat di bibir, membuatku diam mematung sembari mengerjapkan kelopak mata.
Ia tersenyum lembut. "Rasa strawberry. Suka." Karena ucapannya itu, ia kembali 'menyerangku' lagi, kali ini lebih menuntut. Aku lekas membalasnya meski tak sejago suamiku.
Kumandang adzan Maghrib menghentikan aktivitas kami dengan napas terengah-engah. Mata kami kembali bersirobok, saling melempar senyum, dan berakhir pelukan.
Sungguh, aku sangat menyayangi Ramdan.
"Bikin dedek gemes yuk, Dek!" Spontan, mataku terbelalak kaget antara malu bercampur bahagia.
"MAS!"
[.]
Selepas Isya', waktunya kami makan. Aku sudah menyiapkan sayur bakso berisi; bakso, potongan wortel, brokoli, dan juga sosis. Lauknya mendoan tapi belum kumasak. Aku akan memanggil Ramdan unutuk keluar terlebih dahulu. Suamiku betah berlama-lama dengan Al-Qur'an jadi aku masih punya waktu untuk memasak lauk.
Setelah melepas celemek lusuh berwarna hijau muda, aku segera pergi ke kamar untuk memanggil suamiku.
"Shadaqallaahul 'adziim."
Pas banget, batinku senang.
TOK! TOK!
"Mas, makan yuk! Aku udah selesai masak," laporku dari luar kamar.
Kalau Ramdan sedang mengaji seperti tadi, aku tak berani masuk kamar. Takut mengganggunya. Pernah sekali-dua kali aku masuk ketika Ramdan tengah khusyuk melantunkan ayat Al-Qur'an, ia langsung menyudahinya. Aku suka dengar suaranya ketika sedang mengaji tapi Ramdan selalu saja menyudahinya ketika aku datang.
"Iya, sayang. Sebentar, ya. Mas mau ganti baju dulu," jawabnya agak samar-samar.
Ganti baju?
Mataku langsung berbinar dan reflek membuka pintu kamar. Dapat kulihat jika Ramdan berjingkrak kaget hingga punggungnya membentur lemari lantaran mendengar pintu kamar terbuka olehku. Ia baru akan melepas baju kokonya, memperlihatkan perut kotak-kotaknya yang selalu memanjakan mataku.
"Ya Allah, Dek! Yang selow buka pintunya. Mas kaget tau." Ia mengusap dadanya yang berdetak kencang.
Tau jika aku akan berulah, ia cepat-cepat melepas koko dan menggantinya dengan kaos hitam pendek. Langkahku baru mencapai pinggir kasur—dekat pintu tapi Ramdan sudah ganti baju. Terpaksalah aku berhenti, memberenggut sebal dengan tangan terlipat di depan dada sebab tak bisa membantunya berpakaian seperti biasa.
"Mas! Kenapa ganti baju sendiri? Kan bisa minta tolong aku," rengekku dengan suara cempreng. Kuentak-entakkan kaki pada ubin lantai karena kesal, terlebih ketika Ramdan mendekatiku dengan seulas senyum. Tiba-tiba ia memelukku terlebih dahulu. Tumben sekali.
"Mas bisa ganti baju sendiri. Kalau kamu yang gantiin bisa-bisa Mas diboongin lagi kayak tadi pagi."
Aku meringis, teringat momen pagi tadi ketika aku sengaja membangunkan 'dedek' suamiku. Iseng-iseng sebenarnya tapi Ramdan malah ngebet. Semoga nanti malam gak minta jatah.
Kuberanikan diri untuk melepas pelukan kami demi menatap wajah suamiku yang terlihat malang. Lekuk senyum yang menurun, mata sipit yang kini membulat, juga alisnya, aku tertawa melihatnya.
"Hehe ... maafin aku ya, Mas. Yuk makan nanti malah dingin makanannya." Ramdan mengangguk, merengkuh bahuku agar kami berjalan beriringan ke dapur.
Sesampainya di sana, aku lupa jika belum memasak mendoan untuk lauk kami. Segera kusingkirkan tangan Ramdan yang bertengger di bahuku dan bergegas memakai celemek lagi. Kompor kunyalakan, wajan berisi minyak sudah ada di atasnya, tempe dan adonan tepung juga sudah tersaji di sampingku. Hanya tinggal menggorengnya saja.
"Lho, belum bikin mendoan, Dek?" tanya Ramdan, lalu mendaratkan pantatnya di kursi—menghadap ke arahku. Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Tadi niatnya mau manggil Mas dulu 'kan biasanya Mas lama tuh ngajinya. Eh malah bentaran, aku belum sempet masak jadinya hehe ...."
"Kebeneran. Mas jadi bisa lihat isteri cantikku masak."
Mulai gombalannya.
Aku memilih fokus memasak mendoan agar kami bisa cepat-cepat makan. Kasihan suamiku pasti kelaparan karena sejak tadi belum makan. Sepulang kerja, aku hanya menyuguhkan kopi kesukaannya untuk mengganjal lapar sebelum malam tiba.
Saat hendak mengangkat mendoan dari wajan, tangan kekar suamiku melingkar di perut, membuatku sedikit kesusahan bergerak. Ketika memberontak, Ramdan justru mempererat pelukannya sampai-sampai mendoan buatanku hampir jatuh ke minyak goreng lagi.
Aku mencebik kesal. "Lepas dulu, Mas! Ini mendoannya mau tak angkat." Kudapati Ramdan menggeleng di atas bahuku. Ia sengaja mengembuskan napasnya di telingaku, menggelitik sekujur tubuh sampai-sampai aku bergidik karenanya.
"Tinggal angkat aja, apa salah Mas?" tanyanya memancing. Bola mataku berotasi, kesal.
"Susah, Mas. Tanganmu nakal raba-raba perut. Yang ada malah mendoannya nyemplung lagi ke minyak," sungutku masih mencoba menepis tangan Ramdan yang mulai 'nakal.'
Namun, Ramdan justru mempererat pelukannya saat aku berhasil memindahkan mendoan ke atas piring. Segera kubalikkan badan agar menghadap Ramdan seutuhnya. Tanpa ba bi bu, tiba-tiba ia menciumku. Kaget dong.
"Tadi belum dikasih," ucapnya sedikit merajuk. Aku tertawa dibuatnya.
"Mas gak minta, kukira gak mau. Ya sudah." Giliran aku menciumnya sekali. Sudut bibir suamiku berkedut, ingin tersenyum tapi ditahan sebab malu. Kuusap pelan rahang Ramdan yang membuatnya keenakan.
"Mas mau makan kamu aja." Ucapan Ramdan berhasil membuat mataku terbelalak. Sedetik kemudian, ia lantas mengangkatku untuk duduk di atas meja makan. Ini benar-benar tidak sopan. Masa iya makanan disejajarkan dengan pantatku. Saat hendak turun, Ramdan justru menahannya, memberiku gelengan kepala dengan sorot mata tajam.
Aku akhirnya pasrah saat Ramdan 'menyerangku' lagi. Pelan namun aku tau jika suamiku meminta lebih. Tak sadar jika tanganku sudah mengalun di lehernya yang kian menunduk karena tinggi kami berbeda.
"Astaghfirullah, kaliannn. Mata Ibu ternodai gara-gara lihat keuwuan kalian."
Kami terlonjat kaget bersamaan sampai-sampai kakiku membentur sisi pembatas meja makan. Berusaha terlihat normal, aku melompat turun dari atas meja dengan wajah bersemu. Ramdan tak beda jauh denganku, malahan pipinya lebih merah karena yang datang adalah ibunya. Ya, dia mertuaku.
Wanita itu datang membawa sekresek bahan makanan untuk kami. Ah iya, aku hampir lupa jika hari ini adalah jadwal kunjungan ibu mertuaku. Segera kuhampiri dia untuk mencium punggung tangannya yang dibalas dengan elusan singkat di kepala. Aku tersenyum senang.
"Ibu kenapa ke sininya malem-malem? Kenapa gak besok aja?" keluh Ramdan setelah mengubah ekspresi wajahnya seperti biasa. Tanganku lekas mengambil alih barang bawaan ibu untuk dibawa ke dapur. Kebetulan sekali jadi aku besok tak perlu berbelanja ke tukang sayur keliling.
Tampak wajah ibu mertuaku sedikit masam akibat ucapan Ramdan. "Kamu gak suka Ibu dateng apa gimana?"
"Bukan gitu, Bu. Ini 'kan udah malem. Ibu ke sini sama siapa coba?"
"Sendirilah. Kan Ibu mandiri." Dia melirikku sebentar, memberi seuntai senyum. "Ibu kangen sama menantu Ibu. Ramdan gak jahat ke kamu, kan?"
Kulirik Ramdan sekilas yang tengah menggelengkan kepala. Sepertinya dia memberiku isyarat, tapi aku tak paham. Pandanganku kembali ke arah ibu mertua.
"Gak jahat kok, Bu cuma suka gigitin aku aja,"ungkapku jujur. Ramdan berdecak kesal sebab tau jika aku tak bisa diajak kompromi.
"Mana yang digigit? Sini bilang ke Ibu biar nanti Ibu jewer telinganya." Wanita itu sedikit heboh, memutar tubuhku ke kanan dan kiri untuk melihat 'gigitan' Ramdan di tubuhku. Waelah si ibu ya pasti udah hilanglah! Ramdan belum beraksi lagi.
"Udah sembuh kok, Bu. Duduk dulu, yuk!"
Ibu menuntunku ke sofa ruang tengah meninggalkan Ramdan sendirian di dapur. Namun, suamiku berinisiatif untuk mengekori langkah kami dan duduk agak jauh dariku. Ibu terus merangkul lenganku.
"Kamu ngapain ngikutin kita? Sana makan aja, Nufus mau Ibu pinjem sebentar." Ramdan mendelik tak setuju.
"Pinjem buat apa, Bu? Nanti Ramdan gak ada kelon kalau Nufus dibawa balik sama Ibu."
Tentu saja Ramdan menolaknya sebab tak sekali dua kali ibunya membawaku untuk menginap di rumahnya. Ramdan yang sudah tak punya guling akhirnya menyusulku ke rumah ibu. Gak bisa tidur katanya. Ya sudah akhirnya Ramdan ikut tidur di sana.
Ibu mertuaku bersedekap, memandang sinis ke arah anaknya. "Mau Ibu bawa jalan-jalan sebentar." Lalu, tatapannya beralih padaku. "Mau 'kan ya? Mau dong."
Ingin menjahili Ramdan lagi, kuangguki permintaan ibu mertuaku yang tak seberapa. Hasilnya, wanita itu bersorak senang di sampingku sementara Ramdan kian memasamkan muka. Aku tertawa melihatnya.
"Cuma sebentar kok, Mas. Iya gak, Bu?" Ibu mertuaku mengangguk setuju. Ramdan menghela napas pasrah kemudian mengangguk.
"Cuma sampai jam 8."
"Gak! Jam 9. Masa cuma sejam doang. Cuma bolak-balik dong."
"Setengah 9 wes. Gak boleh lebih atau besok Ibu gak boleh bawa Nufus lagi."
Aku hanya menatap keduanya yang sibuk memperebutkanku. Lucu sekali, Bisa-bisanya anak dan ibu tak akur begini. Aku segera menengahi.
"Mas tenang aja. Aku balik ke sini kok malam ini. Ayo kutemani makan dulu."
Ramdan bangkit meski rasanya enggan. Berkat melihat senyumku tadi ia langsung memakan makanan buatanku dengan khidmat.
[.]