1. Namaku Nufus
Namaku Jauharan Nufus. Orang terdekat biasa memanggilku Nufus. Umurku 21 tahun dan kini berstatus sebagai isteri sah dari pria bernama Ramdan Jazar. Rumah tanggaku berjalan lancar selama setahun ini. Bisa dibilang, aku tidak kuliah dan memilih untuk nikah muda.
Dulu, tak sedikit pun terpikir olehku memilih jalan ini dengan tempo waktu cepat. Sewaktu duduk di bangku MA, aku mengimpikan kuliah bersama teman-temanku. Tapi aku sadar jika perekonomian keluargaku tak mencukupi biaya kuliahku, masih ada dua adik yang harus disekolahkan oleh orang tuaku. Kuputuskan untuk bekerja selepas menjalani wisuda MA di Jakarta.
Menikah di waktu muda nyatanya membuat kebebasanku terbatasi. Awalnya pergi hilir mudik sendiri kini harus didampingi suami. Segala kegiatanku harus mendapat izin dari suami. Bukannya mengeluh, hanya saja aku ingin mengeluarkan sedikit keluh kesah yang kupendam selama ini kepada kalian.
Sore ini, seperti biasa aku duduk santai di teras rumah menikmati segelas es teh buatanku sendiri. Aku tipe cewek yang cenderung menyukai segala minuman dingin dibanding panas. Ketika musim hujan, ketika sakit, atau kedatangan tamu bulanan, aku tetap minum minuman dingin meski cuma air putih.
Aku menatap sekitar. Halaman rumahku tidak terlalu luas namun masih bisa ditanami beberapa bunga membentuk sebuah kebun kecil yang elok dipandang. Ada gerbang kecil yang pinggirannya disemen untuk mengantisipasi maling yang suka berkeliaran di sekitar rumahku lengkap dengan gemboknya.
Jenuh menghampiriku lantaran menunggu kepulangan Ramdan selama satu jam namun tak datang jua. Kuputuskan untuk bangkit, berjalan menghampiri kran air yang bawahnya disemen tepat di depan tiang penyangga rumah. Kuambil slang panjang berwarna hijau daun selepas memutar kran tersebut. Derasnya air yang keluar kuarahkan pada bunga-bunga kesayanganku diiringi seulas senyum.
Aku suka bercocok tanam sejak SMP. Ibu mengajariku kala itu dan aku langsung menyukainya. Terkadang, aku suka mencuri bibit tanaman dari kotak simpanan ibu tanpa bilang-bilang, lalu menanamnya jauh dari belakang rumahku. Meski awalnya berakhir layu dan mati akibat kebanyakan air, aku tak menyerah hingga berhasil memekarkan sebuah bunga mawar indah.
"Assalaamu'alaikum."
Sapaan hangat dari Ramdan berhasil membuat lamunanku buyar. Aku melempar slang ke sembarang arah, berlari menghampiri Ramdan dengan senyum mengembang.
"Wa'alaaikumussalam, Mas. Akhirnya pulang juga."
Ketika sedang lari seperti tadi, kata Ramdan mirip anak kecil, lucu. Gak sekali-dua kali Ramdan akhirnya mengelus puncak kepalaku agar aku tak begitu heboh ketika ia datang.
Seperti biasa, aku memeluk Ramdan terlebih dahulu karena aku tahu suamiku itu tipikal cowok malu-malu kucing tapi ujung-ujungnya mau. Sembari menghirup aroma parfum yang menempel di baju suamiku, ia merengkuh pinggangku, mengajakku berjalan menuju teras rumah untuk duduk. Wajahnya terlihat letih, aku tak berani meminta cium kening seperti biasanya.
Sebagai gantinya, aku meraih tangan suamiku, mengelusnya pelan masih dengan senyum merekah. Ramdan asik menghirup oksigen dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Sewaktu berpelukan tadi, aku dapat merasakan debaran jantung suamiku yang menggila seperti biasa. Memikirkannya saja membuat pipiku merona. Cepat-cepat aku memalingkan wajah sebelum Ramdan memergokiku.
"Biar aku siapin air panasnya ya, Mas. Mas langsung mandi aja habis ini, baru istirahat," ucapku berpesan sebelum beranjak bangkit.
Tapi, Ramdan justru mencegah langkahku. Aku menoleh dan mendapati gelengan kecil terlontar untukku meski ia setia memejamkan matanya demi melepas penat.
"Pake air dingin aja. Papah Mas masuk, Dek! Mas lemes banget," balasnya dengan suara lirih.
Aku mengangguk, lekas memapah tubuh Ramdan yang ternyata lebih berat dari seminggu yang lalu untuk masuk ke dalam rumah.
Telingaku merasakan embusan napas Ramdan. Ternyata ia mengerjaiku. Jahil sekali. Aku pura-pura tidak tahu, tetap membantunya berjalan menuju sofa sebelum tubuhnya ambruk di atas sana.
"Ya udah, aku siapin sekarang aja. Kusut banget muka, Mas kayak gak ada gairah hidup," cibirku sebelum pergi ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar.
Dapat kudengar jika Ramdan tertawa di ruang tengah sana. Masa bodo. Aku tetap melanjutkan kewajibanku sebagai seorang isteri—melayani suami sepulang kerja.
Setelah mengecek keadaan kamar mandi yang bersih seperti biasa, aku memutuskan untuk mengambil pakaian Ramdan dari lemari, kecuali satu—celana dalamnya. Seumur-umur aku hanya menyentuhnya ketika sedang menyuci, menjemur, dan melipat pakaian. Ramdan tak minta diambilkan sebab ia malu meski kita sudah hidup bersama selama lebih dari setahun.
Kaos putih pendek dan celana hitam panjang kuletakkan di sisi kasur. Saat hendak memanggil suamiku, ia datang terlebih dahulu dan langsung menyambar handuk yang menggantung di samping lemari pakaian. Sebelum tubuhnya menghilang dari balik pintu toilet, aku berhasil menarik kerah bajunya untuk mendekat padaku.
"Jangan, Dek! Malu aku." Ramdan menutup wajahnya sendiri yang sudah memerah menggunakan tangan kiri. Sementara tangan kanannya terus menghalangi tanganku yang hendak membantunya melepas kancing baju.
"Ssst! Aku cuma mau bantu Mas aja. Nurut kayak biasa, ya!" Ia membuang muka, terlanjur malu sesekali menyentak pelan tanganku yang berhasil membuka satu persatu kancing baju miliknya. Sungguh, puas sekali mengerjai suamiku sampai pipinya merah merona bak gadis perawan.
"Dek, udah ah!"
"Gak ada yang lihat ini, Mas. Cuma aku doang. Sama isteri sendiri kayak sama siapa."
Kemeja berhasil kutanggalkan. Badan kekar yang begitu memanjakan mataku kini bisa kuakses bebas. Masih dengan senyum jahil, kuraba permukaan perutnya yang sedikit mengeras lantaran ia menahan napas. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
"Dek!"
"Nurut atau gak kelonan!"
Ramdan akhirnya bungkam. Tangannya tak lagi menahanku seperti tadi. Ia pasrah sebab aku mengancamnya. Meski luarnya terlihat cool, Ramdan ini termasuk cowok yang tidak bisa tidur tanpa guling. Karena guling miliknya terbakar obat nyamuk bakar di malam pertama kita, akhirnya ia menggantinya dengan tubuhku. Ya, tubuhku yang kurus ini harus merasakan beratnya kaki, paha, dan tangan Ramdan sewaktu tidur bersama.
"Ya udah iya tapi tanganmu gak usah jahil gitu! Mas tau kamu ngode tapi Mas belum mandi," ungkapnya pelan.
Tak ingin membuat opininya benar, aku segera beralasan, "Gak gitu, Mas. Aku 'kan cuma mau bantu kamu aja. Tadi juga kamu minta dipapah ke dalem, pasti tenagamu terkuras abis buat ngelepas pakaian." Kulihat Ramdan hanya mencibir dengan pandangan menunduk.
Kali ini saatnya melepas kancing yang menutup aset berharga suamiku. Sebelum beraksi, aku sudah curi-curi pandang ke arahnya, menggodanya dengan menaik-turunkan sebelah alisku dan sudut bibir terangkat.
"Dek Nufus! Tanggung jawab!"
Merah sudah muka Ramdan akibat ulahku. Terlebih ketika aku sengaja memegang 'miliknya' sebelum lari terbirit-birit keluar dari dalam kamar.
Kudengar pintu kamar mandi ditutup keras, berharap aku dengar dari luar. Tawaku akhirnya pecah. Senang juga mengerjai suami sendiri seperti tadi meski agak 'mesum' sedikit. Sama suami sendiri sah-sah saja, kan?
Memilih untuk mengabaikan pikiran kotorku, aku beranjak ke dapur, mengambil makan untuk Ramdan. Kerja jauh dari rumah bukan berarti Ramdan suka menggunakan uang untuk makan di warung. Ia hanya makan beberapa kali, pun ketika diajak oleh rekannya. Ramdan sendiri yang cerita padaku tempo lalu.
Lauk hari ini adalah sop dengan sayur ikan laut. Orang sini biasa menyebutnya ikan jui. Bentuknya kecil, mungil, warnanya kuning—tapi bukan kotoran lho, ya. Rasanya asin, tapi kalau dicampur sambal rasanya ah ... mantap.
Ini makanan kesukaanku. Aku sendiri kurang paham sama makanan kesukaan Ramdan. Ia cenderung memakan apa yang aku masak dan selalu menyukai masakanku yang lezatnya tak sebanding dengan makanan yang biasa dijual di tepi jalan. Sungguh, Ramdan sangat menghargaiku sebagai seorang isteri yang tak pandai memasak ini.
Sesampainya di depan kamar, aku segera masuk. Kulihat Ramdan masih bersih-bersih di kamar mandi. Tentu saja sebab aku membangunkan 'adiknya' tadi tanpa mau bertanggung jawab. Paling tidak nanti malam minta jatah. Karena masih sore, Ramdan menuntaskannya di kamar mandi.
CEKLEK!
Aku cengengesan tak jelas seolah-olah kejadian tadi tak pernah ada. Ramdan mendengus, berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian dalamnya.
"Kamu mau ngintipin aku ganti baju?" tanya Ramdan sedikit menyindir. Aku tertawa.
"Iya. Tinggal ganti aja gak apa-apa. Anggep aku gak ada, Mas."
"Mana bisa orang wujudmu aja kebesaran!"
Ramdan mendengus lagi, memilih untuk membuka pintu lemari agar pandanganku terhalang sedikit. Rupanya ia hendak memakai celana dalam. Aku tak ingin menjahilinya lagi sebelum berakhir di ranjang. Segera kusibukkan diri dengan bermain ponsel di atas sofa dalam keadaan tengkurap.
Lama tak bersuara, Ramdan selesai berganti pakaian. Duduk di samping kakiku yang terayun bebas ke atas. Aku masih asik menscroll layar beranda sampai tak dengar jika Ramdan berdeham beberapa kali agar perhatianku tertuju padanya.
PLAK!
"Kamu mau Mas banting ke kasur?"
Ancaman Ramdan terdengar sedikit menakutkan. Aku mengubah posisi menjadi duduk dengan kaki menyilang di atas sofa. Ponsel kutaruh di atas meja, beralih memegang piring beserta sendok. Saatnya beraksi lagi.
"Aaa ...."
"Mas bisa makan sendiri, Dek. Kamu istirahat aja sana, pasti capek habis ngerjain pekerjaan rumah." Ramdan berinisiatif mengambil piring itu dariku, tapi buru-buru kucegah.
"Ck! Nurut sama isteri! Aku pengin nyuapin, Mas."
Terdengar helaan napas panjang dari lubang hidung Ramdan. Suamiku ini memang penurut. Aku lekas menyuapinya dengan porsi cukup banyak agar tenaganya pulih.
"Enak. Kamu makan juga, Dek," kata Ramdan. Jarinya gesit menyambar sendok dari tanganku, gantian menyuapiku makan. Aku tersenyum malu-malu menerima suapan dari Ramdan.
Ya tuhan! Kenapa suamiku romantis sekali?
Kami bergantian saling suap-suapan. Setelah dipastikan makanan itu tandas, Ramdan langsung menaruh kepalanya di pahaku. Aku terkejut, tak biasanya Ramdan bersikap demikian. Rasa malunya yang tinggi membuat keinginan kecilnya terhambat, contohnya ketika ia ingin memelukku tapi tidak ada usaha sama sekali. Ujung-ujungnya aku yang mulai.
"Ngapain, Mas? Mau tidur? Di kasur aja yang bantalnya empuk. Pahaku keras," tuturku lirih. Netraku terus menatap manik mata Ramdan yang begitu meneduhkan. Rasanya hatiku berdesir ketika ia balas menatapku tak kalah lembut.
Ekspresinya berubah sendu. "Mas pengin cerita, Dek tapi kamu jangan marah."
Aku mengangguk. Meski aku orangnya emosian, aku masih tahu tempat.
"Ada apa, Mas?"
"Aku barusan dipecat."
3 kata itu berhasil membuat hatiku berubah gundah dalam sekejap.
[.]