Hari ini adalah hari sabtu, dimana Bela libur sekolah. Dia tidak menyangka kalau hari ibur ini malah menjadi hari tersedihnya karena bibi yang selalu menyayanginya terlihat lemah tidak berdaya di dalam ruangan kamar rumah sakit.
Niatanyannya hari ini dia ingin jualan keliling malah harus begini. Mau tidak mau dia harus menerimanya.
"Dek, bibi sedang dirawat dirumah sakit. Kamu jaga rumah ya. Bibi sudah mendapatkan pertolongan dari rumah sakit. Kamu nggak usah khawatir."Bela mengirimkan pesan kepada Rian sambil duduk di depan kamar rawat Bibi Devi.
"Kamu ngapain?"tanya Raka yang masih menemani Bela.
"Aku mau ngasih tahu adikku dulu."jawab Bela sambil fokus kearah handponennya.
"Jadi itu bibi kamu?"tanya Raka. Bela langsung mengangguk.
"Kok bisa kak? Bibi sakit apa? Aku nggak boleh kesana ini?"balas Rian dengan cepat.
"Bibi kecapekan tadi malam. Ini sudah baikan tapi belum sadar. Nggak usah, kamu dirumah saja. Di rumah ada barang berharga."balas Bela dengan cepat.
"Ya kak."
Selesai memberitahu Rian, entah kenapa Bela malah jadi mengantuk. Wajar saja, dia tadi bangun dini hari dan matanya juga masih sembab.
Raka yang berada disampingnya juga merasa ngantuk juga karena semalaman belum tidur. Biasa kalau hari libur Raka akan tidur pagi hari sampai siang.
"Huammmm."Bela menguap karena saking ngantuknya.
"Kalau boleh tahu nama kamu siapa?"Raka memberanikan diri untuk berkenalan dengan Bela yang masih belum diketahuinya kalau itu adalah Bela.
Bukannya mendapat jawaban, tiba-tiba malah Raka dikejutkan dengan sandaran kepala dari Bela di pundaknya sebelah kiri. Saking mengantuknya, Bela sampai langsung tertidur sambil bersandar di pundak Raka.
"Astaga dia tertidur."ucap Raka dengan lirih sambil melihat kearah Bela yang sudah tertutupi dengan rambut lurus.
"Dia pasti kecapekan."batin Raka sambil menata kepala Bela agar nyaman dipundaknya.
"Eh."tiba-tiba kepala Bela hendak jatuh dari sandarannya. Beruntung Raka langsung menangkapnya.
Bela memang sudah tidak kuat menahan rasa kantuknya. Alhasil dia langsung tumbang dalam tidur pulasnya itu. Bahkan dia juga tidak sadar kalau kini dia sudah bersandar di pundak ternyaman Raka. Jujur baru kali ini Raka memberikan pundak ternyamannya pada seorang cewek.
Raka tidak tega, akhirnya menempatkan kepala Bela dipangkuannya. Dia sendiri juga heran karena sudah digerakkan juga, tapi tidur Bela masih saja pulas.
"Gadis ini benar-benar pulas tidurnya. Masak udah hampir jatuh dan aku pegang nggak bangun."Raka dengan pelan-pelan menempatkan kepala Bela dipangkuannya.
"Semoga dia nyaman di pangkuanku ini."Raka melihat raut muka bBela yang sudah tertidur itu.
Raka mengamati setiap lekuk wajah Bela. Sungguh aneh tapi nyata, Raka masih saja belum mengenali kalau itu adalah Bela yang selama ini selalu berurusan dengannya di sekolah. Secara penampilannya yang sekarang berbeda sekali dengan penampilannya ketika di sekolah.
"Siapa sih nama kamu?"batin Raka sambil membelah rambut Bela dengan pelan-pelan. Matanya tidak bisa berpaling dari wajah cantik Bela yang sudah tiduran dipangkuannya itu.
Dret dret
Disaat Raka sedang berusaha mengamati Bela, tidak berselang lama handponenya bergetar. Dengan cepat dia langsung mengambilnya dan mengeceknya.
"Mamah."Raka kaget.
"Ya mah?"tanya Raka sambil mengangkat. Raka berbicara dengan pelan-pelan supaya tidak membangunkan Bela.
"Kamu dimana nak? Sampai pagi begini kamu belum pulang? Mamah khawatir lah nak? Kamu dimana ini?"mamah Raka langsung mencecar pertanyaan pada Raka.
"Aku di rumah teman aku mah."Raka terpaksa berbohong.
"Mamah nggak mau tahu. Kamu harus pulang sekarang. Mamah nggak mau lihat papah marah lagi sama kamu gara-gara nggak pulang lagi."tegas mamah raka.
"Ya mah. Aku akan pulang ini."Raka terdengar pasrah bila mamahnya sudah berkehandak.
"Harus itu nak."
Sebalum Raka pulang, dia terlihat bingung. Entah kenapa dia merasa kasihan sama Bela yang masih tidur itu. Dia tidak tega membiarkan wanita itu tidur sendirian disana. Tapi dia juga ingat dengan pesan mamahnya untuk segera pulang.
"Kamu tidur yang nyanyak."ucap Raka sambil menata Bela tidur di kursi panjang itu sambil bantalan dengan jaket jeans tebalnya itu. Memang terlihat tidak nyaman tapi bagi Bela itu nyaman sekali. Buktinya dia masih terlelap tidur.
Mau tidak mau, Raka meninggalkan Bela yang sudah tidur selonjoran di kursi panjang rumah sakit itu. tidak tega campur berat beradu jadi satu ketika melihat Bela untuk terkahir kalinya sebelum dia tinggalkan untuk pulang. Tapi itulah kenyataannya.
Sebelum dia pulang, dia menyempatkan untuk membeli makanan untuk dijadikan sarapan Bela. makanan itu diletakkan didekat Bela. Jadi ketika Bela bangun bisa langsung memakannya.
Sepeninggal Raka, berjarak beberapa jam kemudian. Dokter Shindy datang ke kamar bibi Devi untuk mengecek keadaan pasiennya itu. Betapa kagetnya bibi Devi ada wanita yang sedang tiduran di luar yang tidak lain adalah bela yang masih tiduran diluar dengan peralatan seadanya. Dokter Shindy kasihan tapi dia juga tidak tega membangunkannya.
Ceklek
Disaat dokter Shindy keluar setelah menangani bibi Devi, Bela kaget dan langsung bangun mendengar bunyi suara keras. Alhasil dia langsung bangun.
"Lho dok, dokter baru keluar dari dalam ya?"tanya Bela masih mengantuk dan belum sadar sepenuhnya.
"Ya. Kamu tadi ngantuk ya?"tanya dokter Shindy dengan tatapan kasihan sama Bela.
"Hehe ya dok. Oh ya dok, gimana kondisi bibi saya?"tanya Bela sambil mengucek matanya yang baru bangun tadi.
"Bibi kamu sekarang sudah semakin membaik keadaannya. Dia juga sudah sadar. Kalau kamu mau kedalam silahkan."dokter Shindy terlihat ikut bahagia atas kesembuhan Bibi Devi apalagi Bela malah.
"Syukurlah."ucap Bela dengan penuh bahagia.
"Eh itu barangmu ketinggalan."dokter Shindy memberitahukan Bela kalau jaket Raka tertinggal diluar.
"Jaket siapa itu?"Bela bingung sambil melihat kearah jaket jeans itu.
Otak Bela langsung berputar untuk memutar kejadian terakhirnya sebelum tertidur disana. Kemudian dia ingat kalau terakhir sebelum tidur, dia sedang bersama Raka. Tapi tiba-tiba dia bangun malah Raka sudah tidak ada.
"Itu pasti punya dia."batin Bela dalam hati.
Bela langsung mengambil jaket itu dan dibawa hendak masuk kedalam.
"Makasih ya dok."Bela tidak lupa mengucapkan terima kasih pada dokter Shindy.
Setibanya didalam kamar, Bela begitu bahagia sekali bisa melihat bibinya sudah sembuh. Bahkan bibinya bisa melihat dan berbicara dengannya lagi.
"Bibi kok kamu bawa ke rumah sakit ini sih Bel? Kita kan nggak ada uang banyak buat bayar biaya rumah sakit ini."ucap bibi Devi sambil memegang kepalanya yang sedikit masih sakit.
"Masak aku kasih tahu kalau ini sudah dibayarkan Raka? Bibi kan nggak tahu Raka itu siapa? Kalau aku nanti ditanya-tanya mengenai Raka gimana?"batin Bela dalam hati sambil bingung.
"Bel?"
"Itu bi, tadi bayarnya pakai tabungan aku."jawab Bela dengan terpaksa. Dia tidak mau kalau bibinya tahu sosok Raka yang selama ini sering berurusan dengannya di sekolah.
"Tabungan kamu? Banyak banget tabungan kamu Bel?"bibi Devi tidak percaya.
"Ya bi. Sedikit demi sedikit uang dari hasil jualanku aku tabungin."jawab Bela sambil nyengir. Dia juga sadar diri kalau selama ini dia jualan juga belum bisa membayar biaya rumah sakit bibi Devi. Secara dia jualannya tidak setiap hari alias pas hari libur saja.
"Ya sudah makasih ya. Maaf bibi malah jadi ngrepotin kamu sama minjem uang kamu. Nanti bibi ganti."kata bibi Devi.
"Nggak usah bi."jawab Bela langsung menolaknya. Lagian itu semua sudah dibayarkan Raka. Bela merasa berhutang banyak sama Raka.
"Udah biar bibi ganti saja."Bibi Devi menatap tajam Bela. Bela hanya pasrah saja.