"Put, mau nggak nganter aku ke kelas Kak Raka?"Bela membisiki telinga Puteri dengan pelan-pelan agar tidak terdengar temannya.
"Kelas kak Ra…"Bela langsung membekap mulut Puteri biar tidak keras sekali menyebut nama Raka. Nanti teman-teman sekelasnya akan tahu.
"Pelan-pelan aja Put."Bela melepaskan bekapannya itu.
"Kamu mau ngapain ke kelas dia?"Puteri langsung melotot kearah Bela yang sedang menatap sekitar berusaha memastikan sekitarnya tidak mendengar percakapan mereka.
Kini jam istirahat sudah tiba. Bela ingin mengembalikan jaket milik Raka yang sudah dipinjamnya kemarin untuk menutupi bercak darahnya di rok. Jujur dia takut kalau ingin bertemu dengan Raka tapi dia juga tidak ingin berlama-lama mengembalikan jaket Raka itu. Takutnya nanti malah jaket itu kenapa-kenapa malah dia juga yang akan menanggungnya. Sudah cukup hoodie yang rusak dan dia harus menanggungnya.
"A..aku ada urusan sama dia."Bela membisiki Puteri.
"Ya urusan apa?"Puteri mengulanginya dengan lirih sekali dan dalam benaknya sangat penasaran sekali sama urusan Bela itu.
"Aku kemarin minjam jaketnya. Dan hari ini aku mau mengembalikan jaketnya."Bela membisiki ketelinga Puteri lagi.
"Minjam jaket lagi? Kok kamu berani sih minjam dia?"Puteri jadi heran sendiri sama Bela.
Selama ini Puteri menganggap Bela sebagai anak yang susah bergaul dengan anak laki-laki. Tapi melihat hubungan Bela dengan Raka akhir-akihir ini membuatnya jadi heran sendiri. Bela kini terlihat sedikit akrab dengan Raka yang selama ini dikaguminya itu.
"Kamu kok diam-diam menghanyutkan sih Bel?"Puteri memasang muka kesal. Dia kecewa melihat Bela yang tengah mendekati Raka.
"Eh jangan salah paham dulu. Jadi gini. Kemarin aku bocor. Aku nggak bawa pembalut. Terus aku pulangnya diam-diam gitu karena rokku kena darah. Tapi ternyata pas aku jalan, kak Raka ada dibelakangku. Dan dia tahu kalau rokku basah karena terkena darah jadi dia minjami jaketnya itu ke aku."Bela menjelaskan dengan pelan-pelan agar Puteri tidak salah paham dengannya.
"Astaga. Kapan kejadiannya itu?"Puteri merasa kasihan sekarang pada Bela karena dia tidak tahu pas kejadian itu.
"Kemarin. Aku sempat ingin meminta tolong ke kamu, mau nebeng pulang ceritanya. Tapi kamu ada bimbel. Jadi aku nggak mau ganggu lah. Jadi aku nunggu sampai sekolah nampak sepi."jelas Bela dengan pelan-pelan juga.
"Oh pas itu. Ya aku ingat. Jadi pas itu kamu bocor?"Puteri kaget. Bela langsung mengangguk.
"Aduh maaf ya Bel, aku nggak tahu pas itu. Kalau kamu jelasin dari awal kalau kejadiannya seperti itu aku juga akan bantu kamu."
"Aku nggak mau lah ganggu waktu bimbel kamu."jawab Bela sambil menunduk.
"Ihh nggak ganggu kok. Masak nganter gitu aja ganggu."kata Puteri sambil memegang tangan Bela.
"Gimana kamu mau nggak nemenin aku kesana?"Bela terlihat memelas seperti ingin sekali ditemani Puteri.
Puteri terlihat sedang mempertimbangkan keputusannya. Jujur dia merasa malu sekaligus takut bila bertemu dengan Raka. Dia sudah lama mengagumi laki-laki itu. Sudah dipastikan dirinya akan deg deg an bila bertemu dengan Raka.
Braggg
Tiba-tiba ada tangan menggebrak meja Bela. Seketika Bela dan Puteri langsung kaget dan menoleh kearah sumber suara. Ternyata yang menggebrak meja itu adalah Raisa yang sekarang sudah berada di depan mereka.
"Kenapa Sa?"tanya bela sambil fokus kearah Raisa yang sedang menatapnya.
"Ternyata kamu kemarin yang jualan ya?"Raisa menatap Bela dengan sinis dan suaranya disengajain dibuat keras agar teman-temannya mendengar semua perkataannya.
Bela langsung teringat dengan kejadian kemarin saat dirinya berjualan di dekat taman dan bertemu dengan Raisa. Pertemuannya dengan Raisa itu juga tidak sengaja. Bahkan saat itu dia juga sempat berselisih dengan Raisa karena telah bersikap kasar dan tidak baik dengannya. Beruntung ada orang yang melerainya.
"Jualan? Jualan apa Sa?"Diana yang berdiri disebelah Raisa pura-pura tidak tahu dan kaget mendengarnya. Sebelumnya Raisa sudah bercerita dulu kepada Diana.
"Ya. Dia jualan jajan gitu di pinggir jalan."jawab Raisa sambil meletakkan tangannya di dagu. Tatapannya menatap Bela dengan sinis.
Semua teman sekelas Bela langsung fokus menatap dan mendengar kearah Bela dan Raisa. Mereka semua jelas mendengar apa yang barusan diucapkan Raisa itu. Apalagi Raisa nya bicaranya begitu keras hingga seisi kelasnya mendengarnya.
"Kalian tahu nggak Bela ini jualan jajan di pinggir jalan lho."Bela mengulangi ucapannya tadi dengan keras sambil menatap satu persatu temannya yang tidak istirahat ke kantin.
Semua teman-teman Bela beserta Puteri kaget sekali dengan pernyataan Raisa itu. Meski mereka semua sudah tahu kalau perekonomian keluarga Bela tidak sepadan dengan mereka tapi mereka juga tidak sampai berpikiran kalau Bela akan berjualan seperti itu.
"Kalau aku jualan kenapa memang Sa? Apa salah?"Bela terlihat terganggu ketika Raisa mempermasalahkan pekerjaan sampingnya itu.
"Astaga berarti Bela benar-benar jualan ya."ucap satu persatu dari teman-teman Bela yang duduk dibelakang.
"Ya. Aku baru tahu."semua teman-teman Bela terlihat baru tahu dan kaget.
"Terus kalau Bela jualan, apa kamu merasa dirugikan?"Puteri terlihat membela Bela yang sedang diejek Raisa.
"Nggak salah sih. Tapi apa dia nggak malu?"Raisa menatap sinis kearah Bela yang masih duduk.
"Nggak. Aku nggak malu. Itung-itung aku juga latihan hidup mandiri."kata Bela dengan lantang dan suaranya tidak kalau keras ketimbang Raisa.
Jujur saat itu Bela merasa sakit sekali hatinya. Dia tidak menduga kalau pekerjaan sampingannya itu dihina oleh Raisa dihadapan semua teman-temannya. Jujur baru kali ini dia merasa sakit sekali hatinya. Sampai-sampai dia tidak bisa bernafas dengan baik.
"Kamu jangan gitu dong Sa, emang nggak boleh kalau dia jualan. Justru dia itu hebat, latihan mandiri dengan jualan. Kita sendiri apa berani dan mau seperti dia. Jadi kalau kamu nggak mau ya udah jangan gituin dia."Puteri terlihat membantu Bela berbicara kepada Raisa.
"Khmmm. Gitu ya. Ya ya gue salut sih dia bisa mandiri kayak begitu. Aku cuma kaget aja."Riasa berbicara gitu karena terpaksa. Tapi dalam hatinya puas sekali karena sudah membuat Bela malu didepan semua teman-temannya. Membocorkan keadaan Bela sebenarnya. Dan memang benar semua teman Bela kini sudah tahu gimana keadaan keluarga Bela.
"Bela kamu harus kuat, sabar. Aku yakin kamu bisa lewatin semua ini. Memang keadaan kamu beda dari teman-temanmu ini yang semuanya orang kaya."batin Bela sambil mengelus dadanya agar kuat menghadapinya.
"Bel, nggak usah dimasukin ya kata-kata kasar dia tadi. Kamu keren lho. Kamu bisa mandiri. Aku kagum sama keberanian dan kegigihan kamu. Aku aja nggak seberani kamu."Puteri memeluk Bela sembari menguatkan Bela.
Dalam benak Bela tidak ada rasa malu sedikitpun setelah pekerjaan sampingannya itu diketahui oleh teman-temannya. Lagian menurutnya itu halal dan tidak merugikan orang lain. Jadi dia biasa-biasa saja sekarang. Cuma dia sedikit kecewa karena niatannya yang mulai dan baik itu untuk membantu bibinya malah mendapat perlakuan tidak baik dari Raisa yang terkesan menghinanya. Dia berusaha berlapang dada menerimanya.
"Kalau aku nggak kerja kayak gitu gimana nanti bibi Devi? Kasihan juga kalau semua kebutuhan dia yang penuhi sendirian."batin Bela dalam hati.
Semua teman-temannya memang terlihat acuh dan tidak peduli lagi sama urusan Bela tadi. Tapi dalam hati mereka sedikit sinis karena sudah tahu keadaan Bela begitu memprihatinkan alias tidak sebanding dengan mereka.
"Jadi Bela jualan."batin Dirga dalam hati yang ikut tercengang dengan pernyataan dan pengakuan Raisa tadi di depan kelas.
"Bel, nggak usah dipikir lagi ya. Kamu fokus belajar aja. Aku yakin kamu pasti bisa lewatin semuanya. Aku yang tahu kamu sebenarnya. Kamu begini karena kamu ingin bantu bibi kan?"kata Puteri sambil mendekat kearah Bela. Bela langsung mengangguk.
Puteri memang baru kelas 11 ini mengenal Bela. Tapi meskipun baru tapi mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Mereka sering curhat masalah pribadi. Jadi Bela sudah tahu keadaan Puteri yang sebenarnya begitupula dengan Puteri yang sudah tahu keluarga Bela.
"Bel, gimana jadi nggak ke kelas kak Raka?"tanya Puteri sambil mengingat lagi ajakan Bela tadi. Sembari melupakan kejadian tadi bersama Raisa.
"Nggak usah deh Put. Ini mau masuk soalnya."jawab Bela sambil melihat jam dinding yang hendak selesai jam istirahatnya.
"Terus kamu mau ngembaliin kapan?"tanya Puteri.
"Lain kali aja ya."jawab Bela sambil menoleh kearah Puteri.
Gara-gara meladeni Raisa tadi, membuat waktu Bela terbuang sia-sai saja. Dirinya tidak jadi mengembalikan jaket Raka. Padahal dia sudah menyiapkan jaket Raka di dalam tasnya.