Malam semakin larut, pepohonan rindang menjulang tinggi di kegelapan malam, hanya sinar bulan meneranginya. Tampak samar-samar terdengar suara hempasan angin membuat bulu kudu merinding.
Reyna yang saat itu bingung berada di sebuah hutan lebat yang entah mengapa Ia merasakan ketegangan kesunyian di balik tempat ini. Tak tau kemana arah Ia akan pergi. Berjalan tak tentu arah, rumput-rumput liar yang tak terlalu tinggi Ia injak entah berbahaya atau tidak karna gelap dan sinar bulan tak begitu menerangi sepenuhnya di hutan lebat ini.
Seseorang memanggil dengan tawanya yang khas, seorang anak kecil di balik pohon besar, memperlihatkan kepalanya saja lalu Ia melirik ke arah Reyna dan menghilang kembali dari balik pohon besar.
Reyna masih melirikan matanya ke kanan dan ke kiri. Mencari sumber suara, tak ada penerangan yang membantunya untuk menemukan suara anak kecil tersebut. Suaranya mulai bergema, menggetarkan telinganya. Bahkan suaranya melebihi satu orang anak kecil, yang satu anak laki-laki berkata "Ayo kakak, kemari!"
Dan suara anak perempuan hanya tertawa khas anak kecil.
Reyna menyipitkan kedua matanya ke depan, siapa tau Ia menemukan suara ke dua anak kecil itu.
Seperti bermain petak umpet, Reyna masih mengulurkan tangannya berjalan, tetapi....tiba-tiba saja...
Kriiiiik!!
Suara injakan kaki seseorang hingga mematahkan ranting begitu nyaring. Reyna memberhentikan langkah kakinya.
Hanya beberapa meter dari hadapannya. Muncullah dua anak kecil. Yang satu laki-laki dengan hanya memakai celana pendek putih dan anak perempuan memakai gaun putih cantik dengan bandana bunga-bunga yang banyak menghiasi ubun-ubun di kepalanya. Masih sama dengan tawa khas mereka. Seperti sedang bermain-main kedua anak kecil itu berlari kembali, Tapi entah mengapa tanpa berfikir panjang, Reyna justru mengikuti mereka.
"Ayo kakak, kemari!" anak laki-laki itu mulai melambaikan tangannya, menandakan Reyna harus ikut bersama mereka.
Entah berapa lama dan berapa jauh Reyna berjalan di kesunyian dan kegelapan tempat ini. Sungguh sunyi sepi menegangkan bahkan semilir angin membuatnya terasa tegang dan dingin. Tak terdengar suara hewan atau binatang buas lainnya di tempat ini. Padahal kalau di lihat hutan ini sangat lebat banyak sekali berbagai pohon besar menjulang, berjejer satu sama lain.
"Ini tempat apa sebenarnya? Apa yang dilakukan oleh para kedua bocah ini di tempat ini," batin Reyna bertanya-tanya.
Tibalah Reyna berhenti di sebuah ruangan satu petak, di lihat dari tempatnya mungkin itu adalah tempat kamar mandi hanya di poleskan semen tanpa warna dan tanpa hiasan apapun, hanya saja pintu kamar mandi itu terbuat dari seng hingga mengeluarkan bunyi khas seng itu sendiri. Kedua anak tersebut berjalan menuju kamar mandi itu, membuka pintu seng dan memasukinya.
Reyna merasakan hal aneh ketika berjalan perlahan menuju ruang satu petak, rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik tempat yang mungkin Ia ketahui itu kamar mandi. Di tempat seluas hutan ini ada sebuah kamar mandi kecil? entah mengapa dalam hati Reyna bertanya-tanya, bingung tak mengerti lagi.
Ia membuka pintu seng itu perlahan, satu kaki kiri Ia masukkan ke lantai yang tanpa beralaskan semen itu, lalu kaki kanannya mengikuti dan Reyna terkejut mendapati kedua anak tersebut tak nampak di dalam. Hanya ada sebuah sumur tua yang tak terlalu besar dengan bahan batu bata tanpa polesan semen, bahkan ember untuk air di sumur itu tak terlihat hanya sebuah rantai tuanya tempampang di atas sumur dengan penerangan bohlam lampu yang tak terang berwarna kuning ke emasan. Bulat dan begitu menyeramkan.
Perlahan-lahan kakinya melangkah menuju sumur itu, berharap menemukan kepastian yang meraung di benaknya rasa penasaran yang muncul begitu besar dari rasa takutnya.
Seketika Ia membungkukkan wajahnya....!!! Hanya terlihat sinar yang terang dari bawah sumur....
***
Kring,,,kring,,,kring!!!!!
Bunyi suara jam walker membangunkan Reyna dari mimpi menyeramkan dan menegangkan. Ia mengambil jam walkernya di atas meja kabinetnya dan mematikan alarm tersebut.
Ia menyeretkan pantatnya ke belakang untuk duduk menyender ke papan tempat tidur kayunya. Mengusap-usap wajahnya yang penuh butiran keringat di kening hingga jatuh ke pipinya. Seperti mandi keringat, Ia menguncir rambut panjangnya di gulung hingga menjadi cepol di belakang kepalanya. Reyna menarik nafas panjang.
"Mimpi yang aneh," gumamnya.
Lalu Ia bangkit dari tempat tidur dan beranjak ke kamar mandi.
***
Selesai mandi, ia merapihkan tempat tidurnya lalu berjalan memandangi kaca rias tepat berada di depan berhadapan dengan tempat tidurnya.
Memulai duduk dan memakai bedak padatnya, mempoleskan lip balm ke bibir kecilnya lalu menyisir rambut basahnya.
Dengan pakaian seragam kerja berwarna biru laut dan celana jeans hitamnya. Reyna berdiri mengambil tas selempang lalu mentenggerkan cantik di bahunya.
Menuruni anak tangga, Reyna melihat Bi Inah telah siap menata makanan di meja makan.
"Gak usah repot-repot Bi, kan cuma saya aja yang sarapan. Rumah ini sepi. Mengapa Bibi menyibukkan diri!" ucap Reyna sedikit tertawa kecil.
Ia menyomot sepotong roti yang telah di baluri selai setroberi dengan bentuk segitiga itu Ia masukan mulut dan melahapnya dengan pelan.
"Gak repot kok Non, kan emang ini pekerjaan Bibi," jawab Bi Inah dengan senyuman.
"Ayah menelpon tidak Bi?" Reyna menyeret kursi makan dan langsung duduk, menyeruput susu hangat yang telah di hidangkan Bi Inah di meja.
"Tidak Non," jawab Bi Inah singkat.
Reyna tak perduli dengan Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaannya keliling kota. Entah rumah yang lumayan besar ini bagi Ayahnya hanyalah sebuah penginapan.
Semenjak Ibunya meninggal dunia dua puluh tahun yang lalu, membuat Reyna kurang di perhatikan Ayahnya yang begitu sibuk dengan kepentingan pekerjaannya. Tanpa memperhatikan anak semata wayangnya yang telah beranjak dewasa.
"Reyna, Reynaaaaa!" sahut seseorang Lelaki tinggi dengan rambut cepaknya menghampiri meja makan.
Tanpa aba-aba, lelaki tinggi berkulit sawo matang itu duduk bersebelahan dengan Reyna.
Menyomot roti lalu mengambil selai coklat di atas meja. Mengoleskan selai coklatnya ke papan roti dan melahapnya dengan senang.
Raut wajah Reyna menjadi jutek, melirik sekilas dan menjulurkan lidahnya. "Weeek,, ngapain sih Lu di sini?"
"Kan mau nganter Lu kerja. Barengan gitu, kan satu pabrik Rey!" jawab lelaki itu cengar cengir sambil mengunyah sisa rotinya.
Reyna memutarkan kedua bola matanya. Menyeruput sedikit susu di gelasnya yang tinggal setengah di atas meja. Berdiri dari kursi makan lalu menarik tangan Lelaki tinggi itu.
"Ok, sebelum terlambat. Lebih baik sekarang aja ya berangkat!" Reyna melepaskan genggamannya dari Lelaki itu.
"Pemaksaan," celetuk Lelaki itu yang di ketahui namanya adalah Beni. Teman satu pekerjaannya di sebuah pabrik terkenal. Mereka sama-sama bekerja di bagian Kwaliti Control.
Reyna menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu berkata, "Bawel banget sih Lu, udah nyelonong lewat pintu belakang lagi. Kaya maling aja, gak sopan langsung nyomot makanan. Udah cepetan nanti terlambat. Gue pake sepatu dulu."
Beni berjalan di belakang Reyna mengikutinya ke pintu belakang. Menunggu Reyna memakai sepatu dan berdiri di muka pintu sambil menyenderkan bahu kanannya ke tiang pintu.
"Selesai!" ucap Reyna. "Ayo, ngapain bengong gitu."
Beni tersenyum lebar memandangi wajah manis Reyna yang tomboy itu. Melangkah menuju motor Beat hitam lalu menyalakan mesin motornya. Reyna menginjak pedal motor Beni dan duduk di belakang. Motor melaju hingga berlalu dari rumah Reyna.