"Gue kira Lu gak mau pulang bareng gue Rey?" ucap Beni memasukan kepalanya ke helm.
"Gak kok, kan Lu udah bilang kemaren!" Jawab Reyna mengambil helm di bawah cantelan setang motor Beni.
"Lu gak apa-apakan Rey?" tanya Beni langsung duduk di jok motor.
"Sedikit lelah!" Jawab Reyna Memasangkan helmnya di kepala.
"Yaudah duduk di belakang, Rey!" Beni mempersilahkan Reyna duduk di jok belakang motornya.
Reyna pun duduk di jok belakang. Menggenggam erat kedua pinggang Beni yang memakai jaket hitam. Beni melirik ke belakang dengan senyuman di bibir tebalnya, memperhatikan pinggangnya di pegang oleh Reyna dengan erat.
***
Di perjalanan yang cukup hening Reyna pun memulai pembicaraan.
"Lu gak penasaran dengan tingkah Gue yang tadi pas Mbak itu kerasukan?"
Beni melipir ke pinggir, memberhentikan laju motornya lalu memarkirkannya. Membuka helm di kepala, menaruhnya di paha kanannya.
"Gue rasa itu pribadi dan rahasia yang gak perlu untuk Gue tanya. Lu berkenan cerita pun Gue denger, kalau belum siap juga gak apa Rey, slow aja."
Reyna turun dari motor Beni, duduk di gundukan pinggiran bawah aspal.
"Gue harap Lu tak mempermasalahkan ini semua Ben," ucap Reyna lelah.
Rasanya tak ingin bercerita, tetapi di pendam membuatnya semakin tertekan. Lama sekali menekan hasrat untuk bercerita. Tapi itu butuh keberanian.
"It's ok. Gue faham kok!" Beni ikut duduk di sebelah Reyna melepaskan helm di kepala Reyna. "Buka aja helmnya. Mumpung belum larut malam, kita di sini saja untuk sementara. Apa yang Lu rasa sekarang membuat Lu lebih enakan, Gue seneng kok!"
Senyuman Beni terlihat tulus, baru kali ini Reyna menatap tajam seorang Lelaki yang begitu menerima apa yang ada di dalam dirinya. Bahkan sampai saat ini Reyna tak mengerti dengan hatinya. Dulu sedingin es mungkin perlahan Ia akan mencoba mencairkannya dengan sikap yang di berikan Beni terhadapnya.
"Gue bingung, semenjak Ibu Gue meninggal. Walaupun Gue gak pernah sama sekali lihat wajahnya sekalipun dengan nyata. Tapi rasanya rindu Ben. Tapi Ayah Gue terlalu mementingkan kesibukannya bekerja, bekerja, dan bekerja," ucap Reyna panjang lebar.
Baru kali ini Reyna mencurahkan hatinya pada seseorang. Yaah, seseorang yang baru Ia kenal selama sebulan ini.
"Sabar Rey!" Beni mengelus pundak Reyna. "Gue faham akan hal itu, Gue seorang anak yatim piatu yang di tinggal meninggal kedua orang tua. Sekarang tinggal dengan Bibi dan paman Gue di rumahnya."
Tiba-tiba suasana menjadi melow, slow dan penuh haru.
Begitu beban berat di rasakan Beni pun tak sepahit beban Reyna yang masih tersisa orang tua tunggal, yaitu Ayahnya.
"Maaf yah Ben, Gue gak tau Lu begitu amat menderita kehilangan kedua orang tua Lu," ucap Reyna ikut merasakan kesedihan yang teramat dalam.
"Gak apa-apa, Gue gak akan maksa Lu untuk mengungkapkan apa yang ada di hati Lu itu. Semua sudah pilihan hidup Rey," ucap Beni tersenyum melirik sekilas wajah Reyna yang lurus memandangi jalan.
"Mau pulang sekarang? Apa masih ada yang di pendam?" lanjut Beni lagi.
Reyna menarik nafas panjang, menggelengkan kepalanya lalu bangkit berdiri. Beni ikut berdiri memberikan helmnya pada Reyna.
"Ayuk kita pulang Ben!" senyum Reyna merekah kembali, seperti bunga yang layu tetapi mengembang kembali oleh siraman air.
"Gue seneng Lu begitu," ucap Beni mengaitkan helmnya, duduk di jok motor, menstaterkan tombol di bawah kanan stangnya. Reyna sudah duduk manis di jok belakang. Motor pun melaju.
***
"Besokkan Minggu, Gue mau ngajak Lu jalan-jalan. Yah, kalau Lu mau sih?" Tanya Beni tepat berhenti di rumah Reyna.
Reyna turun dari motor Beni, memberikan helm yang sudah Ia buka kepada Beni.
"Gak masalah, jam berapa?" tanya Reyna.
"Oke jam 10 pagi Gue jemput ya," balas Beni tersenyum.
"Oke!" jari telunjuk dan jempol Reyna membentuk O dan jari lainnya di angkatkan tanda setuju.
Beni tersenyum melambaikan tangannya pada Reyna di balas dengan lambaian juga dari Reyna sambil tersenyum manis. Motor Beni pun melaju perlahan hingga punggungnya tak terlihat lagi dari kejauhan.
***
Tetangga sebelah sedang mengadakan pengajian. Begitu terdengar merdu suara mereka mengaji.
"Pasti Bi Inah ikut juga?" batin Reyna masuk ke dalam rumah.
Reyna membuka pintu dan masuk.
"Loh kok gak di kunci?" gumam Reyna bingung. "Kenapa Bi Inah teledor sekali!"
Saat Reyna masuk ke dalam rumah, Ia mendapati seorang Wanita yang begitu cantik duduk di sofa ruang tamu.
Rambutnya panjang dengan pakaian dres merah pendek duduk menyilang dengan Orange jus di meja.
"Siapa kamu? Tanya Reyna heran tanpa basa-basi. Ia takut penglihatannya malah tertuju pada makhluk gaib lagi.
"Tapi Dia masih napak kakinya, pake sepatu heels hitam tinggi pula?" Batin Reyna melirik atas sampai bawah, dari rambut hingga ujung kaki Wanita yang tak Ia kenal tersebut.
"Oh itu teman Ayah," jawab seorang Lelaki paruh baya dengan otot-otot nya yang lumayan kekar dari sebrang dapur berjalan menuju ruang tamu.
Rendra Krisna Reksa, itulah nama Ayah Reyna. Bekerja di sebuah perusahaannya sendiri yang Ia bangun dari nol ketika sebelum Ibu Reyna tiada, kemampuan arsitektur, membuat Ayahnya menjalankan Bisnisnya ke berbagai kota untuk suatu proyek besar, hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu jarang di rumah.
Wanita cantik berkulit sawo matang itu berdiri, menjulurkan tangan, memperkenalkan dirinya pada Reyna, "Perkenalkan, Dini!"
"Mengapa ada yang aneh dengan Wanita itu? Wajahnya tampak bersinar, tapi sinarnya begitu menerangkan membuat mataku sakit," batin Reyna.
Rendra memegangi pundak Putri kesayangannya dengan perlahan, membuyarkan lamunannya.
"Eh, i-y-a!" ucap Reyna terbata-bata. "Reyna!"
Daaan tangan Reyna bertemu dengan tangan Wanita ituuu..
Matanya terpejam, seperti lorong waktu yang menyaksikan dalam layar penglihatannya begitu gelap.
Reyna menyaksikan yang tak pernah Ia bayangkan, kembali ke masa lalu Wanita itu yang kelam.
"Mbah saya ingin terlihat menggoda dan cantik ketika mata Lelaki yang melihat saya terpesona ke dalam genggaman saya. Apakah Mbah bisa melakukannya. Saya akan kasih berapapun yang Mbah minta!" ucap Dini melempar bertumpuk-tumpuk uang kemeja si dukun dengan pakaian hitam dan udeng hitamnya.
Begitu banyak barang yang aneh di sekeliling, Reyna melihat berbagai macam Kris terpampang di sudut tembok, tidak banyak hanya saja terlihat seram. Bau kemenyan dan asapnya mengebul, si Dukun memulai ritualnya, bibirnya komat-kamit membaca mantra.
Di berinyalah sebuah air putih dengan botol parfum yang kecil sekali, yang sudah si Dukun beri mantra dalam cairan air putih itu pada teman Ayahnya, Dini.
"Semprotkan ini pada wajahmu, nanti semua Lelaki memandangimu. Kaulah yang paling cantik tak ter kalahkan!" seru si Dukun dengan tertawa sambil menggoyang-goyangkan kedua jari-jari di tangannya ke sebuah kendi kecil berisikan kemenyan itu.
"Baik, Mbah!"
"Tapi ingat baik-baik, ketika bulan purnama tiba, Kau tak boleh mandi sama sekali!" perintah si Dukun itu.
Mulut Reyna Ia tutupi dengan telapak tangannya, menyaksikan yang ada di depan matanya.
Ayahnya sungguh perlu Reyna bantu dari Wanita ini.
Reyna membuka matanya kembali dengan cepat, menarik tangannya dengan gemetar.
"Ayah Aku masuk ke dalam kamar dulu!"
Ayahnya mengangguk dengan senyum dan Reyna pun berlalu menaiki tangga dan mengunci pintu kamarnya.
Melempar tas selempang yang Ia tenggerkan di bahunya ke kasur. Begitu amat menakutkan apa yang Reyna lihat.
"Wanita itu memasang susuk!" gumam Reyna menggit jarinya, mondar-mandir tak tentu arah ke kanan, ke kiri di depan pintu kamarnya.