Senja pun hampir menyapa, Matahari turun ke peraduan. Menandakan sore telah menjelang.
Jalan-jalan kali ini mengesankan bagi Reyna, pertama kalinya Ia bisa mencurahkan isi hatinya pada seseorang, mungkin Tuhan telah memberikan makhluk yang humorisnya garing bernama Beni, untuk menjadi teman dan juga sahabat bagi Reyna.
"Sudah sore, waktunya kita pulang, besok kita mulai tempur lagi bekerja," ucap Beni sambil berjalan keluar Taman Kota menuju parkiran motor.
"Makasih ya Ben, Gue gak tau, betapa senengnya Gue hari ini. Cukup membuat hati Gue legah!" senyuman mengembang di balik bibirnya yang manis, matanya yang sipit membuatnya tampak ceria.
"Gue seneng kok kalau Lu juga seneng, berbahagialah terus. Karna apapun masalah Lu. Lebih baik kita makan abis ini yuk! Hahaha!" Beni tertawa garing. Mencairkan suasana yang penuh haru Ia goreskan dengan canda tawanya yang menggelitik, tapi sedikit garing.
"Boleh!"
***
Motor Beni melaju pelan, jalanan begitu ramai karna hari libur bagi para pekerja. Membuat jalan menjadi semakin padat merayap.
Beni membuka kaca helmnya, "Mau makan apa Rey?"
"Apa aja," jawab Reyna sekenanya dari balik helm yang kacanya sudah Ia buka sedari tadi.
Beni berjalan, lalu menemukan sebuah tempat makan dengan plang nama sebuah restoran Padang 'Masakan Padang doa ibundo' begitulah kira-kira tulisannya!!
Beni melipir tepat depan restoran Padang, memarkirkan motornya lalu mereka berdua berjalan masuk mendorong pintu kaca.
Memesan makanan yang telah terpampang rapih dan berjejer di etalase.
Selesai memesan Reyna dan Beni duduk di tengah-tengah tempat makan berjereran rapih satu sama lain di sudut kiri dan kanan.
Pesanan mereka telah tiba di tata oleh si pemilik restoran.
Seketika,, Reyna memikirkan sesuatu entah apa yang aneh dalam benaknya dan bisa di bilang selalu ada tempat dimana makhluk-makhluk gaib itu bersemayam.
"Kenapa?" Beni bertanya melihat Reyna mematung.
Reyna menggeleng, "Oh, Gak! Ayuk makan lagi!"
Selesai makan, Beni pun membayar dan mereka keluar dari restoran Padang tersebut.
***
Sang Surya sudah terbit dari ufuk Timur, menandakan pagi telah tiba.
Alarm membangunkan tidur Reyna dari mimpi-mimpi yang aneh. Justru mimpi aneh itu membuat Reyna terbiasa bangun pagi.
Reyna bangkit dari tempat tidur lalu berjalan menuju kamar mandi karna waktunya pagi ini untuk berangkat bekerja.
Setelah mandi pastinya Reyna tak lupa mempoleskan bedak yang tak terlalu tebal, dan lip balm di bibir manisnya, menyisir dan menguncir rambutnya ke belakang. Tidak lupa juga Ia mentenggerkan tas di bahunya dan turun ke bawah.
Ayahnya sudah tiba di meja makan dengan membaca koran, kopi telah tersedia di atas meja sambil menyeruput kopi dan kembali membaca koran lagi, sedangkan teman wanita Ayahnya, Dini sedang sibuk mengoleskan roti selai coklat untuk Ia sajikan kepada Ayahnya, juga dirinya.
Reyna menyapa Ayahnya yang sibuk dengan korannya. " Pagi, Ayah!"
"Pagi sayang!" sapa balik Rendra melipat korannya dan meminum secangkir kopi di atas meja di hadapannya.
"Ayah bekerja hari ini?" Tanya Reyna, mengoleskan selai stroberi di papan roti.
"Pasti dong sayang, memang ada apa?" tanya Rendra. "Oh iya bagaimana pekerjaan barumu? Menyenangkan?" lanjut Rendra.
"Menyenangkan!" jawab Reyna singkat dengan senyum tipisnya.
"Bagaimana tidak menyenangkan, punya kekasih sih!" ledek Dini.
Kemaren waktu Reyna keluar dari pintu Dini sempat menengok dari balik gorden jendela, terlihat Dini juga memperhatikan gerak-gerik Reyna yang sedang menaiki motor dengan seorang Lelaki tinggi, berambut cepak, Dini tahu bahwa Reyna tak menginginkannya dekat dengan Ayahnya, maka dari itu, berbagai cara Dini mencari tahu titik lemah Reyna yang belum Ia ketahui, bahwa Dini belum mengetahui bahwa Reyna mempunyai kelebihan di balik penglihatannya lewat mata batin.
Reyna hanya mengernyitkan dahi, meneguk susu yang sudah dingin berada di atas meja. Tatapan Wanita yang Ia ketahui berkisar usianya kepala 3 itu sangat tajam, mulutnya terangkat, menyimpan makna arti penuh kepalsuan.
"Kekasih?" ucap Rendra terkejut.
"Tidak Ayah Aku tak mempunyai kekasih," jawab Reyna mengelak.
"Kemaren Tante lihat Kamu di bonceng seorang cowok tinggi, bukankah itu kekasihmu?" Dini tersenyum seperti orang malu, tapi tetap bagi Reyna senyuman Dini itu palsu.
"Sepertinya Aku sudah telat Ayah, kapan Ayah ada waktu kita untuk mengobrol?" ucap Reyna bangkit dari kursi makannya.
"Akan Ayah kabari lagi, Ayah juga sudah telat sepertinya, mau Ayah antar?" tawar Rendra.
"Tidak usah, Aku sudah di jemput temen, kalau begitu Aku pamit dulu ya, Yah!" beranjak bersaliman pada tangan Rendra.
"Sama Tante Dini juga sekalian dong sayang," ucap Rendra, agar Reyna mau bersaliman tangan dengan Dini.
Wajah Reyna datar, lalu mencium punggung tangan kanan Dini.
"Hati-hati ya," ucap Dini.
Reyna ngeloyor pergi berjalan ke pintu keluar.
Reyna menuju Beni yang telah tiba di luar pagar dengan motor Beat hitamnya.
***
"Reyna tunggu!" seseorang memanggil Reyna dengan berlari seperti terburu-buru.
Di baliknya badan Reyna yang ingin membuka gagang pintu ruangan Ia bekerja, memandangi Pak Burhan yang tengah berdiri berhadapan dengan nafas yang engos-engosan seperti habis marathonan.
"Bapak ingin berbicara sangat penting padamu, nanti istirahat bapak akan menunggu kamu di tukang Baso pak Ali," ucap Pak Burhan.
"Berbicara penting? Apa ini soal pekerjaan Pak?" tanya Reyna penasaran.
"Tidak-tidak, ini sesuatu bersifat pribadi, Bapak hanya ingin berbicara penting saja dengan Nak Reyna, apa bisa?"
"Baiklah Pak, nanti istirahat saya akan menemui Bapak di kantin." Reyna merasa ada yang janggal dengan apa yang di katakan Pak Burhan, yang Dia ingat waktu kesurupan di pabrik, Pak Burhan menanyakan hal yang membuatnya tidak bisa berbicara panjang lebar, dan menguak kelebihan Reyna kepada semua orang, bahkan pada Pak Burhan sekali pun.
Pekerjaan menumpuk setelah liburan yang begitu membahagiakan bagi semua orang untuk lebih dekat dengan orang tercinta, begitu pun dengan Reyna, semenjak ke datangan Beni dalam hidup Reyna, membuat hidup Reyna seperti terlahir kembali.
***
Reyna kembali mensurvei ke seluruh bagian mesin sudah Ia amati, berjalan berkeliling melihat kondisi barang yang bagus atau tidak bagus dari dalam mesin.
Ketika melalui mesin dua puluh lima, Ia kembali di tarik oleh ruangan kosong dengan gorden atau tirai seperti plastik itu, Ia melangkah perlahan-lahan dengan ragu, hingga mencapai tengah-tengah Ruangan. Begitu sangat kotor, sampah plastik makanan pun di temukan Reyna dimana-mana. Ia membungkuk mengambil sebuah plastik makanan itu, "Mengapa kotor sekali?" batin Reyna.
Reyna pun keluar dari Ruangan gelap tersebut dan memanggil Karyawan atau Karyawati yang bertugas membersihkan Ruangan tersebut agar di bersihkan.
"Ini kotor sekali Mbak? Apa tidak pernah di bersihkan?" Reyna berkata kepada salah satu Karyawati dengan celemek putih, di kepalanya memakai topi hitam, rambut yang Ia masukan pada topi sambil memegangi sapu dan serokan, menunduk.
"Kemarilah, Mbak akan saya bantu untuk membersihkannya." Reyna menawarkan, lalu Karyawati dan Reyna masuk ke Ruangan gelap tersebut.
Dengan gemetar memegang sapu, Karyawati menyapu perlahan yang di tunjuk Reyna.
"Tidak usah takut, kalau Ruangan ini bersihkan nyaman." Senyuman mengembang di bibir Reyna, membuat hati sang Karyawati sedikit legah tanpa gugup dan tegang lagi.
Selesai membersihkan Ruangan gelap dan berdebu tersebut, sedikit bersih dari sampah plastik atau benda lainnya.
Reyna menghela nafas panjang, tersenyum dan pergi bersama si Karyawati yang membantunya membersihkan Ruangan gelap, kosong penuh debu itu.