Mereka berciuman begitu dalam. Bibir Tommy dengan lembut melumat bibir Sherly. Sherly yang baru kali ini merasakan ciuman dahsyatnya Tommy hanya bisa pasrah dan menikmatinya.
"Maafkan aku jika aku...," kata Sherly begitu ia melepaskan bibir Tommy. "Aku tidak tahu cara berciuman." Ia tersipu malu.
Tommy meraup pipinya. Diborongnya wajah Sherly dengan tatapan lembut yang selalu membuat wanita manapun akan luluh padanya. "Tidak apa-apa, Sayang. Aku bisa mengajarimu."
Dengan cepat sesuatu terbesit dalam benak Sherly. "Boleh aku bertanya?" Tommy mengangguk. "Dengan siapa pertama kau berciuman?"
Zet!
Tommy terdiam. Ditatapnya wajah Sherly lekat-lekat. Dengan pelan ia melepaskan pelukannya dan bersandar di kursi mobil. Tatapannya lurus. Sejenak ia berpikir, "Apakah sebaiknya aku berkata jujur?"
Sherly melihat ekpresi Tommy yang tampak bingung dan diam. "Apa jangan-jangan...?" katanya dalam hati. Dengan cepat ia pun melemparkan pandangannya ke arah depan.
Tommy yang sadar akan perubahan itu langsung menyentakkan kepala menatap Sherly. Ia meraih tangan Sherly dan meremasnya kuat-kuat. "Dulu waktu aku dan Andin ke puncak," ceritanya. "Aku tidak sengaja menciumnya."
Kepala Sherly tersentak. Ia menatap Tommy. Sorot matanya tajam dan cemerlang.
"Saat itu dia sedang menatap ke arah jendela. Dan pada saat aku ingin mengagetkannya dia tiba-tiba berbalik dan bibir kami berdekatan. Lalu aku..."
"Cukup, Tom." Sherly mengalihkan pandangannya, tapi tidak sama sekali melepaskan tangan Tommy. Dalam hati ia ingin sekali mengetahui apakah Tommy yang mencium gadis itu atau sebaliknya. Ditatapnya wajah Tommy yang masih menatapnya cukup lama sebelum akhirnya ia berkata, "Jika bibir kalian berdekatan, itu berarti..." Ia menunduk. "Apakah kau yang lebih dulu menciumnya?"
Tommy menyunggingkan senyum. Ia meraih tubuh Sherly dan memeluknya. "Itu hanya kejadian yang tidak disengaja. Malah setelah kejadian itu kami saling minta maaf karena ciuman itu tak berarti bagi kami."
Mata Sherly nanar. Meski tak berarti, tapi dia sudah pernah merasakan bibir Andin. Bibir musuhnya. Dilepaskannya pelukan Tommy dan menatap jendela. "Tidak mungkin itu tidak sengaja. Kau pasti punya keinginan untuk menciumnya." Ia menyentakkan kepala menghadap Tommy. "Atau jangan-jangan waktu itu kau menyukainya?"
Tommy membuang napas panjang lalu menyandarkan kembali punggungnya di kursi. Matanya menatap setir mobil. Memang benar, kejadian itu tanpa disengaja. Ia memang ingin mencium Andin. Ia memang menyukai Andin dan sangat menginginkan Andin. Tapi perasaan itu langsung lenyap begitu ia bertemu Sherly.
Dilihatnya Sherly yang kini sedang menangis. "Maafkan aku, Sayang. Tapi itu hanya dorongan yang spontan terjadi atas dasar rasa penasaran. Aku sendiri tidak mengerti apa yang kurasakan saat itu hingga aku sangat ingin menciumnya. Tapi rasa itu tidak pernah ada lagi begitu aku mengenalmu."
Sherly menatapnya. Dilihatnya wajah Tommy yang begitu tulus. Sorot matanya lembut dan nanar. Sherly yakin, lelaki itu pasti berkata jujur. Apakah ia harus memaafkan Tommy? Iya! Ciuman itu hanya masa lalu. Toh tujuh tahun lalu Tommy belum mengenalnya dan sekarang Tommy sudah mengenalnya dan bahkan sudah menjadi miliknya. Dan jika ia tidak memaafkan Tommy hanya karena kenakalan lelaki itu semasa SMA, itu berarti ia merelakan Tommy untuk direbut Andin. Tidak! Itu tidak boleh terjadi.
Dengan isak tangis pelan ia melabur ke dalam pelukan Tommy. "Aku sangat mencintaimu, Tommy. Aku mencintaimu. Aku takut kehilanganmu."
Lelaki itu membalas pelukannya. Ia menyusupkan kepalanya di rambut Sherly yang hitam dan panjang. "Aku juga menciuntaimu, Syaang. Aku sangat mencintaimu."
Tit! Tit!
Bunyi klakson mobil membuat mereka terlonjak dan melepaskan pelukan. "Papi?" kata Tommy. Ia manatap Sherly dan mereka sama-sama tertawa. "Masuklah. Orangtuamu sudah pulang."
"Mereka ganggu saja," kata Sherly lalu memeluk Tommy lagi. Dilihatnya Lenna dan Harry turun dari mobil Charles. "Mereka kok baru tiba? Perasaan tadi mobil kita ama-sama ke sini, deh."
Tommy tersenyum. "Biasalah orangtua. Mereka pasti sengaja memberi kita waktu untuk bermesraan."
Sherly menyentakan kepalanya dan menatap Tommy. Dilihatnya bibir Tommy yang lembut dan merah. "Aku ingin kau menciumku sekali lagi sebelum turun."
Untung saja kaca mobil Tommy gelap sehingga para orangtua atau siapa pun tidak akan bisa melihat apa yang mereka lakukan di dalam sana.
Tak menunggu lama lagi Tommy langsung melumat bibir Sherly. Lumatan yang begitu pelan, lembut dan menggetarkan, membuat Sherly tidak akan bisa tidur atau mimpi indah.
***
Dengan langkah gontai Andin menuruni tangga keesokan harinya. Dilihatnya ruang makan tidak ada siapa-siapa. "Bi, papa di mana?"
"Tuan sudah berangkat sejak pagi tadi. Tuan menyuruh Non sarapan sendiri karena pagi ini Tuan ada pertemuan bersama Pak Malik, Pak Charles, dan Pak Harry."
Mendengar nama Harry Andin langsung teringat pada Sherly. Ingatannya kembali ke kejadian semalam saat Tommy memanggil gadis itu dengan sebutan sayang. TIdak! Itu tidak benar. Ia berusaha menepiakan kejadian kemarin. Ia masih syok mengetahui bahwa Tommy sudah memiliki wanita lain.
Tapi bayangan akan belaian lembut tangan Tommy di rambut juga kecupan intens di dahi Sherly saat sebelum masuk mobil membuat Andin kembali percaya bahwa kejadian itu benar. "Ya, Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku?" ucapnya dalam hati. "Apakah Tuhan balas menghukumku karena sudah menghukum Tommy?"
"Non?"
Suara Bibi mengagetkan Andin. "Heh! Ya, Bi?"
Dilihatnya wajah Andin lekat-lekat. "Non habis nangis, ya?" tanya bibi yang sedang berdiri di hadapan Andin.
"Akh, Bibi! Siapa yang nangis." Andin mendudukan dirinya di kursi biasanya. Ia membuka piring dan meraih satu lembar roti. "Bi, aku mau minum susu cokelat."
"Baik, Non. Akan bibi buatkan." Dengan cepat bibi ke dapur. Tapi bukannya langsung menghilang, si pengurus rumah itu berhenti di balik pembatas dan menatap Andin. Dilihatnya Andin yang meraih tisu untuk menghapus airmatanya. "Ya, Tuhan, apa yang terjadi padanya? Seumur-umur, ini yang kedua kalinya aku melihat Non Andin menangis." Tak ingin sang majikan menunggu lama, ia pun segera ke dapur untuk membuatkan minuman pesanan Andin.
Sejurus kemudian bibi datang dengan nampan berisi segelas susu cokelat. Tanpa sengaja ia melihat Andin menangis. "Non..."
Andin terkejut dan langsung mengambil tisu lagi untuk menghentikan airmatanya. "Maafkan aku, Bi. Aku... aku hanya..." Ia memaksa tertawa. "Aku tidak apa-apa, Bi. Sumpah." Diraihnya roti yang belum diolesi dan menjejalkannya ke mulut. "Aku tidak apa-apa, Bi. Sungguh," bohong Andin. Tapi raut wajahnya tidak bisa bohong. Airmatanya kembali menetes.
"Non kenapa? Kenapa Non menangis?" Andin menghentikan kunyahannya. "Selama ini bibi tidak pernah melihat Non menangis setelah kematian Nyonya, tapi sekarang..." Bibi menarik kursi di sebelah Andin lalu duduk. Dilihatnya airmata Andin yang semakin deras menetes. "Non? Apa Non sudah tidak mau curhat lagi pada Bibi?"
Ditatapnya wajah bibi. "Oh, Bibi!" Andin menghambur ke dalam pelukan bibi. Ia menangis.
"Menangislah, Non. Menangislah. Keluarkan semua kekesalan dalam hati Non Andin." Diusapnya kepala Andin.
Setelah tangisannya terhenti, Andin melepaskan tubuh bibi dan mulai bercerita. Ia mengungkapkan semua kesakitnhatiannya kepada sang pengurus rumah. Selama ini ia selalu mencurahkan isi hatinya kepada wanita itu, tapi tidak soal Tommy. Namun sekarang karena sudah tidak tahan lagi, ia pun terpaksa menceritakannya pada bibi.
"Non yang sabar, ya. Banyak berdoa dan minta petunjuk dari Tuhan. Toh mereka belum menikah."
"Tidak, Bi, aku tidak akan merebut Tommy. Aku tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki yang sama sekali tidak menyukaiku."
"Iya, bibi juga tidak menyuruh Non untuk merebut Den Tommy dari Non Sherly. Kalau begitu namanya pepacor, Non."
"Pepacor?"
"Perebut pacar orang, Non."
Andin tertawa. "Ya ampun, Bibi, ada-ada saja." Ia kembali meraih roti dan mulai mengolesinya.
Bibi tertawa. Senang rasanya bisa menghibur Andin. "Non mau ke kampus?"
"Tidak, Bi. Aku tidak mungkin ke kampus dengan mata sebengkak ini. Oh, iya, nanti jangan bilang ke papa ya kalau aku nangis karena Tommy?"
"Siap, Non. Tapi kalau Tuan tanya kenapa Non tidak ke kampus, bagaimana?"
"Bilang saja aku tidak enak badan."
"Baiklah. Kalau begitu Non sarapan saja lalu istirahat. Bibi ambilkan obatnya dulu." Ia mendorong kursi dan berdiri.
Andin menghentikan aktivitasnya. "Obat? Obat apa, Bi?"
"Katanya Non tidak enak badan. Bibi ambilkan antibiotik, ya?"
Andin menepuk jidat. "Ya ampun, Bi, itu kan hanya alasan saja kalau papa tanya."
"Oh, iya, ya. Maaf Non."
Hehehe.
Continued___