Berbulan-bulan pun berlalu. Hubungan Sherly dan Tommy semakin harmonis, meski hanya mendapatkan ciuman atau belaian seperti yang terjadi pada orang berpacaran pada umumnya, Sherly tidak mempermasalahkannya. Itulah yang memperkuat hubungan mereka.
Setiap kali mereka bermesraan, setiap itu juga Tommy terdorong oleh perasaan ingin tahunya soal bercinta. Ia ingin sekali merasakannya sebagaimana yang ditontonnya waktu itu. Namun, pertahanan diri Sherly membuat Tommy harus menahan gairah yang selalu bergolak dalam dirinya.
Awalnya Sherly juga tidak tega melakukan hal itu pada Tommy, karena selain ia sendiri juga bergairah, ia tidak ingin membuat Tommy mencari wanita lain untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Tapi perkataan Tommy selalu membuat mereka gagal melakukannya. "Tunggu sampai kau lulus sekolah, oke?"
Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil. Setelah jalan-jalan, nonton, dan makan malam, Tommy mengantarkan Sherly pulang di salah satu perumahan Fabian's Residence.
Tommy memeluk Sherly. Bibirnya menempel di pipi gadis itu sementara sebelah tangannya berada di atas perut Sherly.
Tak puas hanya sebatas pipi, Sherly menengadahkan kepalanya dan memagut bibir Tommy, menempelkannya sesaat sebelum melumatnya.
Tommy tersentak dan langsung melepaskan bibir Sherly. "Dari mana kau tau cara berciuman seperti itu, hah?" ledeknya.
Napas Sherly terengah-engah. "Kan kamu yang mengajariku." Ia tersenyum nakal. "Kumohon, cium aku lagi, Tom."
Tommy tersenyum dan merengkuh tubuh Sherly, tapi tidak menciumnya. "Maafkan aku, tapi kita harus menghentikannya sekarang. Kalau kita terus-terusan seperti ini, bisa-bisa aku akan mengeluarkan celanamu dan kita akan bercinta sebelum kau lulus sekolah."
"Kau tidak ingin itu terjadi, bukan?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu, tidak ada alasan bagi kita membiarkan hal itu terjadi." Sherly meraih tengkuk Tommy dan mencium bibirnya. Ia menggerakan kursinya agar posisinya semakin terbaring.
Tommy yang terhanyut oleh ciuman itu membuat dirinya tanpa sadar menindih Sherly. Tangannya yang tadi berada di wajah gadis itu kini merambat ke bagian suburnya. Sherly kaget.
Tommy terkejut. "Ada apa, Sayang? Apa aku menyakitimu?" tanya Tommy begitu ciuman mereka terlepas.
"Tidak," balas Sherly. Napasnya tak teratur.
"Lalu kenapa? Apa yang membuatmu kaget?"
Sherly tersenyum dan kembali mengalungkan tangannya di leher Tommy. "Aku hanya terkejut saat tanganmu meremas.... meremas." Wajah Sherly kontan memerah.
Tommy mengecup bibir Sherly lalu menyandarkan kepalanya di tangan yang bertumpang di kursi. "Maaf kalau tadi sikapku sulit terkontrol." Dielusnya pipi Sherly dengan punggung tangannya.
"Tidak, Sayang." Sherly meraih tangan Tommy dari pipinya. "Justru aku suka. Suka sekali."
Tommy menyunggingkan senyum. "Benarkah?" Sherly mengangguk. "Mau lagi?" Wajah Sherly pun memerah. Tommy tertawa. Didekatkan wajahnya dengan wajah Sherly. "Aku juga suka. Suka sekali. Ukurannya besar dan aku sangat menyukainya."
Bug!
Sherly memukul bahu Tommy. Meski masih SMA, tapi bentuk badan Sherly layaknya wanita dewasa. Tubuh yang sering olahraga dan mengonsumsi makanan berlemak membuat badan Sherly padat dan berisi. Memiliki dada dan bokong yang besar adalah turunan dari keluarganya.
Tak ingin waktunya terbuang sia-sia, Sherly segera meraih tangan Tommy dan membawanya ke bagian itu. Tommy menatapnya. "Aku ingin kau orang pertama yang menikmatinya, Tom."
Darah seakan mendidih dari tubuhnya. Diraupnya bagian itu dan meremasnya pelan-pelan. "Oh, Sayang. Rasanya enak sekali."
Desahan Sherly membuat Tommy tak kuasa menahan gairahnya. Dengan cepat ia memagut bibir dan mengangkat tubuh Sherly agar duduk di pangkuannya. Dengan gairah yang meluap-luap ia mencium bibir Sherly dengan tangan yang sibuk menyusup ke dalam baju untuk meraih sesuatu yang begitu diinginkannya. "Oh, Tommy."
Drtt... Drtt...
Bunyi ponsel membuat keduanya terkejut. Tommy melepaskan ciumannya dan langsung mengeluarkan tangannya dari balik blus satin yang dipakai Sherly. Napas Sherly terengah-engah. Dengan kecewa ia menatap Tommy.
Tommy mencium dahinya lama. "Kita akan melakukannya lagi. Aku janji." Diraihnya ponsel dari saku kemeja. "Pak Malik," katanya sambil menunjukan layar ponsel itu pada Sherly.
Sherly yang sudah paham pun segera turun dari pangkuan Tommy untuk mengatur kembali pakaiannya, tapi mencegahnya agar tetap di pangkuannya.
Tommy menyambungkan panggilannya dan bicara. Sedangkan Sherly berkutat dengan bra-nya yang tadi sempat dilepaskan Tommy. Dilihatnya wajah Tommy yang sedang menatapnya sambil berbicara di telepon. Tatapannya begitu sayu, mulutnya sibuk berbicara, tapi jemarinya sibuk memainkan buah dada Sherly.
Sesekali Sherly menahan erangan ketika telunjuk dan jempol Tommy memainkan pucuk buah dadanya.
Bug!
"Hentikan!" ketus Sherly tanpa suara.
Tommy tersenyum. Bukannya berhenti, ia malah mendekatkan tubuh Sherly ke wajahnya. Dilihatnya pucuk dada Sherly yang merah ranum.
Dalam hati Sherly bertanya-tanya, "Apakah dia masih fokus bebicara di telepon?"
Zet!
Sherly terkejut begitu merasakan dingin di bagian pucuknya yang mengeras. Tommy meraup bagian itu dengan mulutnya. Meski hanya sesaat, tapi hal itu mampu membuat bagian tubuhnya yang lain berdenyut-denyut.
Tommy menatapnya dengan seringai nakal. "Baiklah," kata Tommy. "Terima kasih banyak, Pak."
Tut... Tut...
"Kamu kenapa, hah?" ledek Tommy begitu sambungannya terputus. "Kau tadi seperti kesetrum."
Sherly mendadak malu. Ia bergerak di atas pangkuan Tommy dan hendak turun, tapi lagi-lagi pria itu mencegahnya. "Mau ke mana?"
"Aku mau turun." Di saat bersamaan ketika Sherly bergerak, ia merasakan keperkasaan Tommy berdiri. Ia terkejut, tapi cepat-cepat ia turun dari pangkuan Tommy. "Apakah itu yang sedari tadi membuatku rasa aneh?" pikirnya.
Ternyata keperkasaan Tommy sudah bangun sejak lelaki itu mengajaknya duduk di pangkuan. Namun kenikmatan ciuman Tommy mampu menghalaukan rasa penasarannya itu, sehingga Sherly memilih mengabaikan hal itu. Dan sekarang pun matanya terarah ke bagian itu.
Tommy menangkap sorot matanya. "Apa yang kau lihat?" Tommy tersenyum nakal.
Dengan cepat Sherly mengalihkan tatapannya ke wajah sang pacar. "Ti-tidak ada. Sungguh."
Tommy menahan tawa. Diraihnya tangan Sherly dan mengecupnya. "Masuklah. Besok aku yang akan mengantarkanmu ke sekolah."
"Ja-jangan! Eh, maksud aku tidak usah." Sherly tergagap.
Alis Tommy berkerut. "Kenapa?"
"Bukannya tidak mau, tapi aku tidak mau kau merusak dandananku."
Tommy terkejut. "Aku? Merusak dandananmu?"
Sherly kesal sambil menyisir rambutnya dengan tangan. "Ya. Kau selalu merusak tatanan rambutku, menghilangkan lipgloss di bibirku dan mengusutkan kemejaku."
Tommy terbahak. "Siapa suru tampil cantik." Diraihnya dahu Sherly hingga wajah mereka saking bertatap. "Aku janji tidak akan merusak dandananmu lagi mulai besok."
Sherly tersenyum. "Kalau sampai kau langgar bagaimana?"
"Aku akan menikahimu."
Bug!
Dipukulnya paha Tommy. "Orang serius tanya malah becanda." Tommy terkikik dan Sherly pun langsung membuka pintu untuk keluar. Lelaki itu menurunkan kaca mobilnnya. "Jangan lupa! besok jemput aku," kata Sherly.
Tommy terbahak. "Siap, Tuan Putri. Masuklah."
Sherly tersenyum dan mengecutkan bibirnya sebagai tanda mencium. "Aku masuk, ya. Kabari aku kalau sudah sampai."
"Tentu."
"Hati-hati." Tommy mengedipkan mata.
"Bye!"
Continued___