Dalam perjalanan menjemput Sherly, Tommy terus terbayang dengan perkataan Sherly yanf ingin mengajaknya bercinta. Ia sampai terkikik geli karena memikirkan hal itu.
Namun, di sela-sela ia memikirkan permintaan Sherly yang menurutnya absurt, wajah Andin tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ada rasa penyesalan menggelayuti dirinya karena telah menolak ajakan makan gadis itu. Tapi di satu sisi ia tidak mau mengecewakan Sherly, apalagi ia tahu bahwa Sherly sangat membenci Andin. Seandainya saja kalau Sherly ada aktivitas belajar-mengajar, mungkin Tommy tidak akan menolak ajakan Andin dan makan siang bersamanya tanpa sepengetahuan Sherly.
Tapi ia tidak mau. Meski belum menikah, segala sesuatu tentangnya harus diberitahukan kepada Sherly. Setuju atau tidaknya Sherly, yang penting ia sudah berkata jujur.
Dipacunya mobil semakin melaju dengan bayang-bayang wajah Andin dalam pikirannya. Tapi sekuat tenaga ia menepiskan pikiran itu dan menggantikannya dengan bayangan Sherly yang penuh gairah saat duduk di atas pangkuannya. Membayangkan hal itu pun membuat keperkasaan Tommy mengeras.
Dilihatnya wanita bertubuh tinggi dan langsing berdiri di depan gerbang dengan rambut tergerai panjang. Bayangan gadis itu di atas pangkuannya membuat emosi Tommy semakin bergolak. "Sial!" Ia tertawa.
Gadis itu adalah Sherly. Ia segera tersenyum lebar begitu melihat Tommy memarkirkan mobil tepat di hadapannya. "Kau lama sekali," kata Sherly begitu mendudukan dirinya di bangku penumpang. Ia memakai sabuk pengaman.
Tommy meraih tangan gadis itu dan mengecupnya. "Maaf. Di jalan tadi Andin meneleponku."
Mendengar nama Andin wajah Sherly berubah kusut. "Kenapa lagi dia?" kesal Sherly, menghadap lurus.
Tommy mengelus-elus punggung tangan Sherly dengan jempolnya. "Dia menanyakan soal ajakan makan siang yang kemarin."
Kepala Sherly tersentak menatapnya. "Jangan bilang kalau kita akan makan siang bersamanya!" Ia membuang muka menghadap jendela.
Tommy tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku sudah membatalkannya."
Kepala Sherly dengan cepat menatap Tommy. "Kenapa?"
"Karena kamu. Kan aku ingin makan siang bersama pacarku," katanya pelan.
"Oh, Tommy!" Ia menghambur memeluk Tommy. "I love you so much. Love you so much."
Tommy tersenyum lebar. "I love you to, Sayang." Ia menginjak kompleng dan memindahkan persneling. Sambil merangkul Sherly ia menginjak pedal gas dan memacu mobilnya di bawah kecepatan normal.
Dalam hati Sherly sangat bahagia karena Tommy sudah membatalkan makan siangnya bersama gadis itu. Dengan wajah yang disusupkan ke dada Tommy ia tersenyum puas. "Pasti dia marah sekali padaku, karena Tommy memilih aku daripada dia," katanya dalam hati.
"Sayang?" panggil Tommy.
"Hmm." Sherly sibuk memainkan jarinya di kancing kemeja Tommy yang paling bawah.
"Kau yakin ingin melakukannya?"
Sherly tersentak. Ia bangun, duduk kembali ke kursinya dan menatap Tommy. "Jangan bicara hal itu kalau sedang berdua."
Tommy terbahak. Tangannya di atas pahan Sherly. "Kenapa?" Diusapnya paha Sherly dengan lembut.
"Karena, eh... aku takut tidak bisa mengontrolnya. Aku tidak mau melakukannya di mobil."
Tommy tersenyum lebar. "Kalau tidak mau di mobil, lantas di mana dong?" godanya. Tangan yang tadinya mengelus paha Sherly kini meremas-remas paha itu.
Hal itu menarik perhatian Sherly. Diliriknya tangan Tommy yang sedang memijat-mijat paha mulusnya. "Aku ingin melakukannya di kamar." Wajah Sherly kontan memerah. Ia sendiri tak percaya dengan apa yang barusan dikatakannya. Dengan cepat ia melemparkan pandangannya ke luar jendela.
Tommy yang merekam gerak-geriknya hanya bisa tertawa. "Tidak usah malu, bisiknya. Toh aku calon suamimu."
Sherly tak menghiraukan perkataan Tommy. Yang jelas ia sudah sangat malu karena sudah mengajak dan menyebutkan tempat untuk sesuatu yang menurutnya selalu dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman.
Meski belum pernah merasakan kenikmatan itu, tapi diam-diam ternyata Sherly sama seperti Tommy, ia sering mencari tahu adegan ranjang itu lewat situs atau mengorek informasi dari temannya yang sudah berpengalaman.
Sejurus kemudian mereka pun tiba di restoran ikan bakar yang menjadi tempat makan langganan keluarga Fabian. Setelah memarkir mobilnya, Tommy turun dan diikuti oleh Sherly. Mereka sama-sama masuk ke dalam restoran terbuka itu sambil bergandengan tangan.
"Selamat siang, Pak Tommy," sapa salah satu pegawai yang sudah mengenal Tommy.
"Siang, Pak," balas Tommy kepada pria yang ternyata adalah manager restoran itu.
"Mau pesan apa, Pak?" Toommy menyebutkan pesanannya. Begitu juga Sherly. "Baik. Hanya ini, Pak Tommy?"
"Iya, Pak." Dilihatnya wajah Sherly. "Sayang yakin itu saja?" Sherly mengangguk. "Itu saja, Pak."
"Baik. Ayo silahkan duduk, Pak Tommy." Lelaki itu mengarahkan meja kosong paling pojok yang berhadapan dengan laut.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, Pak Tommy. Mohon ditunggu," katanya sambil menunduk hormat lalu pergi.
"Dia mengenalmu, ya?" tanya Sherly.
"Ini restoran langganan keluarga."
"Pantas." Sherly lalu menghadap pantai.
"Sayang, aku ke toilet sebentar, ya?" kata Tommy.
"Ya." Dilihatnya Tommy berjalan menjuhi meja. "Kau tampan sekali, Sayang. Aku sangat bersyukur mama dan papa mencalonkan kita berdua," ucapnya dalam hati.
Ting!
Bunyi notifikasi di ponsel Tommy membuyarkan ingatan Sherly. Dilihatnya layar ponsel yang ada di sebelahnya menunjukan satu pesan dari nomor tanpa nama.
"Halo, Tommy. Apa aku mengganggumu? Kau pasti sedang makan siang, ya? Kau...."
Sherly mengerutkan alisnya saat membaca pesan yang tak semuanya ditampilkan. "Siapa itu, ya? Kenapa dia tahu Tommy sedang makan siang? Ingin sekali ia membuka pesan itu, tapi takut pada Tommy.
Meski Tommy selalu menuruti kemauannya, tapi yang berbau hal pribadi Sherly selalu memberikan privasi kepada pacarnya. Ada hal-hal yang memang harus ia tahu, ada juga yang tidak. Walau selama ini Tommy selalu terbuka padanya, tapi ia tidak dengan bebasnya mengotak-atik ponsel untuk memeriksa segala sesuatu tentang Tommy.
Tapi entah kenapa ia ingin sekali memeriksa pesan itu. "Apa aku buka saja, ya?" Setelah menimang-nimang untuk menyetujui instingnya, Sherly mengulurkan tangannya untuk meraih ponsel itu, namun di saat yang bersamaan Tommy muncul.
Zet!
Mata Sherly terbelalak. Dengan cepat ia menarik kembali tangannya dan meletakkannya di pangkuan. Dengan gugup ia mengalihkan pandangan ke arah pantai.
"Belum datang juga ya pesanannya?" tanya Tommy begitu bokongnya menyntuh kursi yang ada di samping Sherly.
Sherly menengadah. "Belum. Ngomong-ngomong tadi ponselmu berbunyi, sepertinya ada pesan masuk." Ia menatap Tommy yang sedang menyemportkan tangannya dengan antiseptik.
"Dari siapa?"
"Tidak tahu. Aku tidak membukanya." Ia berharap Tommy akan menyuruhnya untuk membuka pesan itu, tapi ternyata salah. Dilihatnya Tommy meraih ponselnya dan membuka pesan yang tadi sempat dibacanya.
Wajah Tommy biasa. ia tidak menunjukan ekpresi apa saat membaca pesan itu. Sherly yang penasaran, dengan spontan melontarkan pertanyaa. "Siapa?"
Bukannya menjawab, Tommy malah memberikan ponsel itu padanya. "Dari Andin. Bisa tolong kau yang balaskan? Aku ke depan dulu untuk menambah satu menu lagi. Tadi aku lupa."
Sherly tersenyum manis. "Baiklah. Ngomong-ngomong aku harus balas apa?"
Tommy berdiri. "Terserah kamu saja, Sayang."
Dengan senang Sherly bersorak dalam hati. "Andin?" katanya. "Oh, jadi kau sengaja ya mengirim pesan pada Tommy di saat dia sedang bersamaku. Pantas saja kau tahu Tommy sedang makan. Kau pasti ingin meledekku, ya? Baiklah, ayo kita mulai permainannya."
Dilihatnya pesan yang bertuliskan. "Halo, Tommy. Apa aku mengganggumu? Kau pasti sedang makan siang, ya? Kalau nanti malam apa kau bisa makan malam bersamaku? Sebenarnya ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu, tapi aku tidak tahu itu penting buatmu atau tidak."
"What!" pekik Sherly. "Apa maksud wanita ini mengatakan hal penting menurutnya dan mungkin tak penting bagi Tommy." Ia berpikir sejenak lalu membalas pesan Andin.
"Hal penting apa? Katakan saja. Nanti kalau ada lowong aku akan sempatkan waktu untuk makan siang atau makan malam denganmu." Sherly membaca lagi pesan itu sebelum membalasnya.
Dilihatnya Tommy sedang berbincang-bincang dengan Pak Manager restoran. "Bagus, kau berlama-lama saja di sana, Tommy. Aku masih ingin bermain dengan sahabatmu yang kecentilan itu."
Ting!
Bunyi pesan masuk membuat Sherly dengan cepat menarik ponsel Tommy dari meja lalu membukanya. Dilihatnya pesan itu dengan mata terbelalak. "Aku tahu ini tidak penting bagimu, tapi bagiku ini penting karena aku menyukaimu. Aku menyukaimu Tommy. Aku sangat menyukaimu."
Continued___