"Apa-apaan dia ini?!" kesal Sherly.
Ditatapnya Tommy yang masih mengobrol dengan manager restoran. Sejenak ia berpikir bahwa sikap Tommy yang begitu jujur dan penyayang mungkin adalah pemicunya Andin hingga bersikeras mengutarakan perasaanya pada Tommy. Perempuan mana yang tidak mau memiliki pacar seperti Tommy, selain tampan, kaya, baik, penyayang dan jujur. Dan karena saat ini Tommy sudah menjadi miliknya, ia pun takkan rela lelaki itu direbut oleh wanita lain apalagi itu Andin.
Sherly mengalihkan pandangannya ke layar ponsel. Ia memikirkan apa yang akan dibalasnya agar gadis itu berhenti mengganggu pacarnya. Sejenak senyumnya melebar dan jari-jarinya pun langsung bergerak dengan cepat untuk membalas pesan itu.
"Pasti kau jatuh cinta padaku waktu aku menciummu, kan?" Sherly sengaja menggunakan alasan itu agar Andin yakin bahwa Tommy-lah yang membalas pesannya. "Aku minta maaf, Andin. Ciuman itu tidak sengaja dan tidak berarti bagiku. Aku mencintai Sherly dan hanya akan mencintainya. Sebentar lagi kami akan menikah. Jadi, sebagai sahabat aku harap kau tidak akan mengganggu hubungan kami lagi."
Sherly tersenyum puas. Sebelum menekan logo kirim di layar sentuh ponsel itu, ia membaca sekali lagi pesan itu dan akhirnya mengirimnya.
Di saat yang bersamaan Tommy muncul. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Ia merangkul Sherly.
Sherly terkejut. Tapi ia segera melebarkan senyum dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Tommy. "Terima kasih kau mau jujur padaku."
Tommy mengecup pucuk kepalanya. "Sudah sepantasnya sebagai seorang pacar untuk selalu terbuka. Bukannya ketidakjujuran akan menghancurkan suatu hubungan?"
Sherly mengeratkan pelukannya. "Oh, Tommy. Aku sangat mencintaimu. Jangan pernah kau tinggalkan aku hanya demi wanita lain."
"Itu tidak akan terjadi, Sayang."
"Permisi." Suara pelayan dari arah belakang mengagetkan mereka.
Sherly melepaskan pelukannya, tapi Tommy mencegahnya sehingga posisi mereka masih seperti semula.
Dengan bangga Sherly semakin mengeratkan pelukannya. Pelayan wanita yang membawa nampan berisi pesanan pun sesekali melirik ke arah mereka. Dia iri dengan kemesraan mereka dan terlebih pada Sherly karena Tommy begitu tampan dan maskulin.
"Kau balas apa?" tanya Tommy begitu jangkauan mereka sudah tidak di dengar oleh pelayan.
"Aku belum menghapusnya. Kau bisa membacanya nanti."
Tommy tersenyum manis kepada pelayan yang kedua saat membawa pesanan mereka lagi. "Aku heran kenapa dia mengirimi pesan seperti itu padaku."
Sherly melepaskan pelukannya. Ia menatap Tommy yang kini sedang menatapnya. "Kalau seandainya kau belum pacaran denganku, apa kau akan menerima perasaannya?"
Tommy terkekeh. "Ya."
Bug!
Sherly memukul paha Tommy dengan keras. Pemuda itu meringgis pura-pura sakit. "Berarti kau juga menyukainya," ketus Sherly sambil mengalihkan pandangannya.
Tommy terkekeh. "Toh aku belum dimiliki siapa-siapa. Tapi sekarang karena aku sudah dimiliki oleh wanita cantik dan galak, maka aku tidak akan membiarkan wanita manapun merusak hubungan kita. Aku akan membantainya." Wajah Sherly memerah. Ia melirik Tommy dengan sikap malu. "Makanlah, kau sudah lapar, kan?"
Sherly tersenyum dan menurut. Tommy yang selalu berhasil membujuk gadis itu merasa senang dan mengecup dahinya sebelum mengambilkan menu untuk dirinya sendiri.
"Setelah ini aku akan mengajakmu ke suatu tempat," kata Tommy.
Tangan Sherly yang sedang mengambil sayuran berhenti di udara. "Suatu tempat? Di mana?" Ia tersenyum lebar.
"Itu kejutan, Sayang. Nanti kau akan tahu setelah ini."
Sherly tersenyum malu. "Apakah dia sudah mempertimbangkan perkataanku tadi?" katanya dalam hati. Bayangan kamar yang indah bernuansa romantis, ranjang besar yang beralaskan seprai putih yang bersih membuat wajah Sherly kontan memerah. Pikiran akan dirinya dan Tommy bercinta membuat bagian tubuh lainnya merespon.
Diliriknya mulut Tommy yang sedang mengunyah. Dan hal itu ternyata membuat gairah dalam dirinya semakin bergolak. Tak ingin lelaki itu tahu pikiran kotornya, Sherly pun langsung mengalihkan pandangan ke piring dan mulai menikmati makan siangnya.
***
Setelah makan siang berlalu, Tommy membawa mobilnya menuju tempat yang sudah dijanjikannya pada Sherly.
Tak sabar dengan kejutan Tommy yang sudah dibayangkannya membuat wajah Sherly kontan memerah. "Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak berpengalaman," katanya dalam hati. Bayangan Tommy akan kecewa padanya membuat Sherly segera membuang pikirannya. Ditatapnya wajah Tommy yang sedang tersenyum lebar menatapnya.
"Kau kenapa? Kenapa wajahmu merah begitu? Apa yang kau pikirkan?"
Sherly membuang muka. "Ti-tidak ada! Aku tidak memikirkan apa-apa, kok. Sumpah."
Tommy terkekeh. Diraihnya sebelah tangan Sherly untuk digenggam. "Kau pasti akan menyukai tempatnya," katanya pelan.
Sejurus kemudian mereka pun sampai. Saat Tommy memarkirkan mobilnya, Sherly mengedarkan pandangan ke arah pepohonan rindang dengan pemandangan yang indah. "Di mana ini?"
Tommy tidak menjawab. Ia turun dari mobil dan berlari ke arah kursi penumpang untuk membukakkan pintu untuk Sherly, tapi gadis itu sudah lebih dulu keluar dari mobil.
Tommy tertawa. "Ayo, ikut aku. Kau pasti akan suka tempat ini." Tommy menggenggam tangannya dan membawanya menaiki tanah berbukit.
"Tempat ini sangat indah, Tom," kata Sherly saat melihat sebuah pondok kecil yang dikelilingi bunga-bunga dan tanaman tropis. "Apa nama tempat ini? Apa di sana ada orang yang tinggal?" Sherly menunduk pondok yang jauh dari mereka.
"Dulunya tempat ini adalah lokasi pariwisata. Tempat ini sangat ramai oleh pengunjung lokal maupun luar kota. Bahkan ada beberapa pasangan muda yang melakukan prewed di tempat ini. Tapi sejak longsor melandanya, tempat ini jadi sepi dan ditutup."
"Tapi sepertinya tempat ini terawat?" Ia melangkah mengikuti Tommy. Estetikanya tampak jelas di wajahnya yang cantik.
"Benar. Mungkin pemiliknyalah yang menyewa orang untuk merawatnya." Tommy menatap Sherly. "Kau mau masuk ke sana?"
Sherly menolah. "Ya, aku mau."
Dengan cepat Tommy mengajaknya menuju pondok. Mereka berjalan menaiki tanah yang sedikit berbukit sambil melihat seantero lokasi yang dulu sering dikunjunginya berdama Andin.
"Tempat ini tidak berubah," katanya.
"Kau sering ke sini?" tanya Sherly tanpa menatap Tommy.
"Ya." Ditatapnya wajah Sherly yang sedang melihat pepohonan. "Setiap pulang sekolah, aku dan Andin selalu ke sini. Di sinilah ciuman itu terjadi."
Kepala Sherly tersentak menatapnya. Dan dengan cepat Tommy berkata, "Itu sebabnya aku mengajakmu ke sini." Ditariknya tubuh Sherly hingga membentur dadanya. "Aku ingin kita memiliki kenangan di tempat ini dan mengubur semua kenanganku bersama Andin dan menggantikannya dengan kenangan kita."
Wajah Sherly memerah. Ia sebenarnya ingin memberontak, tapi pesona Tommy selalu memadamkan amarah yang selalu bergolak dalam dirinya dan menggantikannya dengan emosi lain yang begitu meluap-luap.
Tommy mendorong pintu pondok yang tidak pernah terkunci itu dengan pelan. Bau kelembaban dari kayu meruap hingga menyapa hidung mereka. Tommy menutup pintunya lalu memeluk Sherly. Ia menyandarkan gadis itu di belakang pintu. "Aku harap kau tidak akan cemburu pada Andin karena kejadian tujuh tahun lalu yang terjadi di tempat ini. Tapi berikanlah aku kenanangan di tempat ini agar aku tidak akan melupakannya seumur hidupku."
Sherly tersenyum. Rasa malu menggelayuti dirinya hingga wajahnya merona merah. Didorongnya tubuh Tommy lalu berjalan mendekati jendela. Dilihatnya pandangan kota di bawah puncak itu. "Tommy?"
Lelaki itu segera mendekat dan melingkarkan kedua tangannya di perut Sherly. "Apa, Sayang?" bisiknya dengan suara parau.
Sherly melapisi tangannya. "Di sini sangat indah."
Tommy tidak menjawab. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya dan menyusupkan wajahnya ke leher Sherly.
"Apa papimu tahu tempat ini?"
"Hmm," sahutnya sambil menyusupkan tangannya ke balik blus Sherly untuk meraup buah dadanya.
Tangan Tommy yang mengelus bagian lembut di balik bra-nya membuat Sherly bergetar, tapi ia berusaha mencoba untuk menepiskan getaran itu dengan berkata, "Bagaimana kalau kita beritahu papi dan papa mengenai tempat ini."
Tangan Tommy beehenti memainkan pucuk buah dadanya, tapi tidak melepaskannya. "Untuk apa?"
"Siapa tahu mereka bisa membudidayakan tempat ini. Ya, meski tidak menjadi tempat pariwisata seperti sebelumnya, tapi aku yakin, mereka pasti mau mengelolah tempat ini untuk dijadikan hotel atau vila."
Tommy tersenyum dan kembali memainkan telunjuk dan jempolnya untuk menimbukan gairah dalam diri Sherly. Ia tahu, sedari tadi gadis itu sengaja mengalihkan pembicaraan untuk mengalihkan gairah yang sedari tadi sudah disadari Tommy saat pucuk dadanya mengeras ketika tangan lelaki itu menyentuhnya.
Dengan spontan Sherly mengalungkan tangannya di atas kepala Tommy untuk memberi akses lebih bagi tangan lelaki itu agar lebih leluasa meraup semua buah dadanya. "Menurutku ini tempat yang strategis itu vila. Pemandangannya bagus. Suasananya juga sepi dan udara di sini sangat sejuk."
"Benarkah?" bisik Tommy dengan suara yang hampir tak terdengar.
Sherly mendonggakkan kepalanya menatap Tommy. "Iya. Masa kau...." Suaranya kontan terhenti begitu bibir Tommy melumat bibirnya. Bukannya menolak, Sherly justru membalas lumatan bibir Tommy dengan lembut tapi panas.
Continued___