"Aku menjelaskan padanya apa yang sebenarnya terjadi, bila mana Harry yang mendesak kami agar menjodohkan Tommy dengan putrinya. Aku juga bilang padanya kalau saat itu aku dan istriku tidak memaksakan Tommy. Jadi sebagai orangtua, aku dan Lisa hanya mendukung Tommy saat tahu dia menjalin hubungan dengan Sherly."
"Lalu, Pi? Ferry bilang apa? Ya Tuhan." Lisa bergerak-gerak gelisah. "Bukannya mami tidak suka dengan Sherly. Dia anak yang baik, kok. Tapi kalau tahu begini, mami lebih setuju Tommy bersama Andin."
Mata Charles menatap istrinya. Ia menarik napas panjang lalu membuangnya pelan. "Papi juga, Mi. Entah kenapa papi lebih senang kalau Tommy menjalin hubungan dengan Andin."
"Mungkin karena Andin sangat dekat kita," Lisa berpendapat. "Tapi jika dibandingkan...." Ia mengendus. "Sudahlah, semua juga sudah terjadi. Lagipula Tommy juga sangat bahagia dengan Sherly. Apalagi gadis itu sekarang sudah hamil. Jadi kita harus mengsuportnya agar dia tidak depepresi."
"Entalah, Mi. Tapi entah kenapa sesuatu akan terjadi."
Alis Lisa berkerut. "Sesuatu? Tentang apa, Pi?"
Charles menggeleng. "Kita lihat saja nanti. Yang jelas pasti akan terjadi sesuatu pada hubungan mereka. Tapi semoga itu tidak benar." Lisa menatap sedih. "Ayo, Mi kita siap-siap. Bukannya kita harus menjemput Tommy?"
Lisa seakan bangun dari lamunannya. "Oh, iya. Ayo."
Di sisi lain.
"Kita harus ke dokter, Sayang, kalau tidak nanti kita tidak akan tahu pasti apa sebenarnya yang kau rasakan."
"Aku takut pada Papa, Ma," kata Sherly. "Aku takut papa akan marah dan memukuliku."
Lenna tertawa. "Itu tidak mungkin, Sayang. Begini saja, besok mama akan membeli testpack di apotek dan kita lihat hasilnya. Bagaimana?" Sherly mengangguk. "Ya sudah, sekarang istirahatlah. Mama akan membicarakan dengan papamu soal masalah ini."
Sherly berbaring di atas kasur. Lenna yang begitu menyayangi putri keduanya itu menutupi tubuh gadis itu dengan selimut. Setelah memastikan sang ibu sudah ke luar dari kamar, Sherly pun mulai memejamkan mata, meski sebenarnya itu sangat sulit dilakukan.
Di sisi lain.
Lenna menuruni tangga setelah memadamkan lampu di depan kamar Sherly. Dilihatnya Harry sedang duduk di ruang tamu sambil menatap laptop.
"Sakit apa dia? Kenapa dia tidak mau turun untuk makan malam?" tanya Harry begitu melihat istriya menjejalkan kaki di anak tangga terakhir.
Lenna mendekat dan mendudukan dirinya di sofa bersama suaminya. "Dia hanya terlambat makan. Lambungnya masih sensitif untuk menerima makanan."
"Kau sudah memberikannya obat? Atau kita bawa saja dia ke dokter."
Lenna menggeleng. "Dia tidak mau, Pa." Entah kenapa rasanya ia tak sanggup berkata jujur. Tapi demi keingintahuannya akan respon Harry mengenai masalah kehamilan Sherly, ia pun membawa topik yang tepat ke dalam pembicaraan mereka. "Pa?"
"Hmm?" Harry sedang memerhatikan laptopnya.
"Kan Sherly beberapa bulan lagi akan lulus. Kalau setelah itu kita nikahkan dia dengan Tommy bagaimana?"
Harry menengadahkan wajahnya pada Lenna. "Itu kan memang tujuan kita. Aku memang belum membicarakannya padamu, tapi aku berniat pas lulus SMU nanti, Sherly harus segera dinikahkan dengan Tommy."
Mata Lenna cemerlang. "Aku setuju. Kalau begitu besok kita harus undang keluarga Fabian dan membicarakan hal ini."
Alis Harry berkerut. "Kenapa harus besok, Ma?"
"Tidak apa-apa. Lebih cepat kan lebih baik. Mama takut kalau kelamaan, Tommy malah berubah pikiran."
Harry merangkulnya. "Itu ide yang bagus, Ma. Papa juga berpikiran seperti itu."
***
Malam semakin larut. Semua orang bahkan burung atau semua makhluk kecuali paniki sudah terlelap dalam kegelapan, tapi Sherly tidak. Ia tidak bisa tidur karena gelisah memikirkan kehamilannya. Normalnya, Sherly pasti akan sangat bahagia ketika mendapat restu dari ibunya atau tahu ada alasan agar dirinya bisa mengikat Tommy ke tahap yang lebih serius lagi. Namun, kegelisahannya itu disebabkan oleh statusnya yang masih seorang siswi. Bagaimana nanti ia akan menghadapi ujian tiga bulan ke depan sementara perutnya semakin hari semakin besar?
"Tidak! Aku tidak hamil. Ini hanya masalah menstruasi yang terlambat karena stres memikirkan Tommy. Aku yakin," katanya dalam hati.
Sejak Tommy menangani proyek di luar kota, Sherly memang terus memikirkan lelaki itu. Cintanya pada Tommy begitu besar sampai ia khawatir jika lelaki itu akan melupakannya. Namun syukurlah pikirannya itu salah, setiap hari justru Tommy tidak pernah absen untuk mengabari atau menghubunginya dengan video call. Bahkan sesibuk apa pun lelaki itu, perhatiannya kepada Sherly tak pernah pudar.
Ia sangat bersyukur telah dipertemukan dengan lelaki seperti Tommy. Lelaki yang berhasil merebut hatinya, padahal di sekolah tidak sedikit teman sekelas, bahkan seniornya yang sering menembaknya. Tapi hati Sherly seakan terkunci bagi mereka dan membukanya ketika ia melihat Tommy waktu pertama kali.
Lelaki itu tampan, kaya dan berpribadi lembut. Sangat perhatian bahkan penuh kasih sayang. Wanita mana sih yang tidak akan tergoda dengan sosok Tommy Fabian. Kalau pun Tommy tidak akan tergoda oleh wanita lain, tapi ia yakin kalau wanita yang menginginkan Tommy pasti akan melakukan segala cara untuk mendapatkan lelaki itu. Contohnya Andin.
Pikiran akan pesan yang dikirimkan Andin tempo hari membuat Sherly takut kalau-kalau gadis itu akan melakukan hal yang lebih berani lagi yang lebih dari sekedar pesan singkat.
Sherly menggeleng kuat. "Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Tommy hanya milikku. Dia hanya milikku. Andin tidak boleh mengambilnya."
Ting!
Bunyi notifikasi mengalihkan emosi Sherly yang meluap-luap dalam dirinya. Diraihnya benda portable itu dari bawah bantal. "Tommy?" katanya saat melihat pesan chatting dari sang pujaan hati. Dengan cepat ia pun membuka kode pin lalu menuju ikon pesan.
"Sayang, aku baru tiba di bandara. Besok pagi sekitar jam 9 aku akan menjemputmu dan kita ke dokter, ya? I love you."
Mata Sherly nanar. "Ya Tuhan, kau ada di sini?" Ia sangat bahagia membaca pesan itu. Selain sangat merindukan lelaki itu, ia juga sangat terharu karena perhatian Tommy yang segitunya sampai rela meninggalkan pekerjaan hanya untuk menemaninya ke dokter. "Ya Tuhan, rasanya aku wanita satu-satunya yang paling beruntung di dunia ini."
***
Tok... Tok...
Lenna mengetuk pintu Sherly keesokan harinya. Seperti janjinya semalam, saat wanita itu ke super market tadi ia menyempatkan diri untuk membeli testpack.
Tak perlu menunggu lama, pintu kamar Sherly terbuka. Dilihatnya anak gadisnya itu yang matanya merah dan bengkak seperti baru bangun. "Bagaimana tidurmu, Sayang?" Lenna menghambur masuk lalu mengunci pintu kamar itu. "Kau sudah buang air kecil?"
"Belum." Sherly mengucek-ngucek matanya dengan punggung tangan.
"Ini," kata Lenna sambil menunjukan sebuah kertas segi empat berwana biru yang merk-nya cukup bagus. Ia membuka bungkusnya lalu menerangkan pada Sherly cara menggunakannya.
Setelah paham, Sherly pun menurut dan melakukannya di kamar mandi. Sejurus kemudian ia keluar dengan tangan sebelah yang memegang alat kecil putih yang berukuran panjang dan menunjukkannya pada Lenna.
Dengan cepat wanita itu mengambil dan memeriksanya. "Sepertinya kita harus menunggu lima menit lagi."
Sherly tak paham. "Memangnya kenapa, Ma?"
"Biasanya kalau untuk usia kandungan yang sudah lama, reaksinya pasti akan cepat terlihat. Kau lihat ini," ia menunjukan garis merah satu yang terdapat di benda itu. "Biasanya warna merah ini akan menjadi dua garis. Dan jika demikian, itu berarti kau positif hamil."
"Berarti aku tidak hamil, ya? Kan garisnya cuman satu."
Lenna tak mau kecewa. "Kita tunggu sebentar lagi, oke? Mami akan menyimpannya. Dan sebaiknya sekarang kau mandi lalu turun sarapan."
"Jam 9 nanti Tommy akan menjemputku. Dia akan membawaku ke dokter."
"Menjemputmu? Memangnya dia ada di sini?"
Sherly mengangguk. "Dia mengirim pesan padaku tengah malam. Bahwa dia sudah tiba dan akan menjemputku jam 9."
"Ya Tuhan, sungguh besar cintanya padamu, Nak. Kau sangat beruntung memiliki pacar seperti dia."
"Iya, Ma."
Setelah beberpa menit mereka membicarakan soal Tommy, Lennalah yang lebih dulu menyudahi pembicaraan dengan berkata, "Ya sudah, bersiaplah. Ngomong-ngomong kau masih suka mual?"
"Tidak."
"Tidak?" pekik Lenna. "Pusing?"
Sherly menggeleng. "Tidak lagi, Ma."
Alis Lenna berkerut bingung. "Aneh, harusnya kalau orang ngidam, dalam berapa bulan itu pusing dan mualnya takkan berhenti, tapi Sherly..." pikirnya. Ia pun mengambil hasil testpack yang di pegangnya sejak tadi. Dilihatnya garis merah itu yang jumlahnya hanya satu. "Kok?" Ia menatap Sherly. "Apa kau yakin haidmu sudah terlambat?"
Sherly mengangguk. "Setahuku sih begitu."
"Ya ampun, kalau begitu benar apa kata Tommy. Kau harus dibawa ke dokter kandungan."
"Apa! Dokter kandungan? Untuk apa?"
"Untuk.memastikan bahwa kehamilanmu itu benar-bemar nyata, Sherly."
Continued___