Chereads / Hidden Desires / Chapter 37 - Bab 37. Niat Sherly Setelah Mendengar Cerita Jovita.

Chapter 37 - Bab 37. Niat Sherly Setelah Mendengar Cerita Jovita.

Setelah keduanya duduk saling berhadapan, Jovita memanggil seorang pelayan wanita. "Kau tidak apa-apa, kan, kalau aku duduk di sini bersamamu? Kalau kau merasa tak nyaman, nanti aku akan pindah."

Sherly menggeleng. "Tidak, Kak. Tidak apa-apa. Silahkan. Kebetulan aku memang sedang sendirian."

"Terima kasih. Ngomong-ngomong nama kamu siapa? Aku sudah duduk di depanmu, tapi tidak tahu siapa namamu."

"Namaku Sherly, Kak."

Jovita terkekeh. "Tidak usah panggil kakak. Panggil Jovita saja. Nama kamu cantik, ya, sama seperti orangnya," katanya pura-pura. Sang pelayan pun datang. Diraihnya daftar menu yang diberikan wanita itu padanya. "Sherly, apa kamu sudah pesan makanan?" tanya Jovita sambil menunduk melihat menu.

"Sudah." Tepat di saat itu pesanannya pun datang. "Terima kasih, Mbak," katanya pada si pelayan wanita sambil menatap menu pesanannya.

Jovita melihat minuman yang dipesan Sherly. "Sepertinya minumanmu enak. Mbak, aku pesan sama seperti itu, ya?" katanya pada pelayan yang satu.

"Baik, Kak. Ada lagi?"

Jovita menyebutkan nama makanan dan camilan yang dipesanya. "Itu saja, Mbak," katanya sambil memberikan buku menunya lagi pada si pelayan lalu menatap Sherly.

"Mohon ditungggu, ya. Permisi."

Jovita mengangguk sambil menatapnya. Sedetik kemudian tatapannya kembali mengarah pada Sherly. Dilihatnya kentang goreng, bakso kuah urat tanpa mie dan ayam goreng mentega, tapi tanpa nasi. "Sherly, maaf, tapi... eh, apa kamu makannya sebanyak ini?" tanya Jovita heran.

Sherly terkekeh malu. "Iya, Kak. Ayo, Kak makan." Ia lebih dulu mencicipi kuah bakso urat. "Baksonya enak, Kak."

"Oh, iya? Nanti deh lain kali aku pesan. Terima kasih. Kau makan saja lebih dulu," katanya. "Tapi kenapa kau tidak makan nasi?" tanya Jovita sambil melihat Sherly yang sibuk menuangkan berbagai campuran saus dan kecap ke dalam mangkuk bakso."

"Akhir-akhir ini aku memang tidak suka makan nasi, Kak. Aku lebih suka makan beginian, tapi tanpa nasi."

Bibir Jovita menyeringai. "Oh, gitu," katanya dengan nada meledek. "Kau tidak sedang hamil, kan?"

Aktivitas Sherly terhenti. Ditatapnya wajah Jovita dengan datar. Jovita yang menyadari ketersinggungan Sherly pun dengan cepat berkata, "Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengatakan itu. Aku hanya bercanda. Lagi pula berdasarkan pengalamanku, ciri-ciri seperti itu berarti menandakan sudah berbadan dua, karena dulunya aku kalau mengidam, tidak suka makan nasi."

Sherly tak menggubris. Ia kembali menatap isi mangkok dan mulai mengaduk-aduk bakso itu sampai kuahnya berwarna cokelat kemerahan. Jovita yang melihatnya pun ngiler ingin mencoba.

Sherly bukannya tidak ingin jujur, tapi lebih sedikit orang yang tahu akan kehamilannya jauh lebih baik. Lagi pula meski ia tidak mengatakan, mereka yang sudah pernah tahu akan hal itu, tapi alangkah baiknya tidak mengatakan apa-apa, apalagi pada orang asing. Toh mereka pasti akan tahu hanya dengan melihat perubahan-perubahan seperti wajah atau bentuk badan dalam dirinya yang tak biasanya.

Jovita bingung harus memulai. Sikap cueknya Sherly membuatnya jengkel karena tujuannya untuk menghasut gadis itu terpaksa tertunda. Tapi ia tidak mau kalah, topik yang tiba-tiba muncul dalam benaknya membuat ia yakin pasti Sherly akan  masuk dalam cengkeramannya. "Ngomong-ngomong kenapa kau makan siang sendiri, Sherly? Pacar kamu di mana?"

Sherly tersenyum samar sebelum menyuapi dirinya. Ia mendongak menatap Jovita. "Pacarku di luar kota. Dia sedang bekerja menangani proyek dan akan kembali beberpa bulan sekali."

"LRD?" tanya Jovita. Ia terbahak seakan meledek. "Aku trauma dengan LDR, Sherly. Lebih baik aku tidak punya pasangan sama sekali dari pada harus LDR."

"Kenapa, Kak?"

"Karena LDR sampai rumah tanggaku hancur."

Bertepatan setelah itu, seorang pelayan datang membawa pesanan Jovita sehingga tak sempat melihat ekspresi syok yang ditunjukkan Sherly. "Aku korban nikah muda, Sherly. Pas lulus SMP aku langsung dinikahkan karena hamil."

Lagi-lagi Sherly terkejut. "Nikah muda? Setelah lulus SMP? Memangnya bisa jika belum genap 19 tahun?"

"Iya. Karena dari pihak keluarga laki-laki mau bertanggung jawab. Jadi, aku hanya membawa bukti surat ijin orang tua dan keterangan dokter sebagai pembuktian bila mana aku sudah hamil dan kedua orangtuaku setuju." Jovita mengambil seciul pasta dengan sendok lalu mengemutnya. Dilihatnya Sherly yang tersenyum manis dan percaya pada omongannya. "Tapi sayangnya rumah tangga itu tak bertahan lama." Tatapannya kembali ke pasta yang menurutnya menarik. "Begitulah resiko nikah muda, Sherly, menikah hanya atas dasar penasaran, bukan cinta dan tanggung jawab."

Senyum yang tadi terlihat samar di wajah Sherly kini menegang. Ia kembali menatap gadis yang sama sekali tidak terlihat seperti sudah menikah. Sherly bahkan merasa ragu dengan keterangan Jovita yang mengatakan dirinya sudah menikah. Tapi mau tidak mau dia harus percaya karena jaman sekarang sudah tidak asing lagi jika ada orang yang menikah muda. "Maksud, Kak, rumah tangga kalian... pisah, gitu?"

Bagus! Itu topik yang bagus, Sherly, katanya dalam hati. Ia memasang wajah datar. Perlahan sendoknya diletakan kembali lalu meraih gelas minuman yang dipesannya tadi. Jovita yang sudah merasa menang karena Sherly mulai masuk perangkap dengan segera berkata, "Awalnya aku berusaha mempertahankan hubungan kami. Tapi jika itu terjadi padamu, apa kau akan mempertahankan rumah tanggamu sementara ada wanita lain yang berkoar-koar minta tanggung jawab dari suamimu karena hamil?" Sherly terkejut dan Jovita semakin senang. "Aku lebih memilih menjanda dari pada harus dimadu, Sherly."

Tubuh Sherly tersentak. Dilihatnya wajah Jovita yang dibalutkan makeup tebal sedang tersenyum padanya. "Janda? Jadi sekarang status Kak Jovita Janda? Sungguh, saat Kak menyapaku bahkan aku tak percaya kalau Kak Jovita ini sudah menikah."

"Iya, serius. Aku janda anak satu. Anakku laki-laki, usianya baru 3 tahun dan sekarang tinggal bersama ibuku. Aku selama ini bekerja sendirian untuk menghidupi anakku. Sejak bercerai, ayahnya tak menafkahinya lagi. Tapi lebih baik begitu, daripada aku harus hidup bersama laki-laki brengsek yang nantinya akan menambah beban dalam hidupku. Andai aku bisa mengulang waktu, lebih baik aku tidak mengenal laki-laki sampai sekarang, Sherly. Jadi kamu yang masih muda dan belum menikah, lebih baik nikmati masa mudamu sebaik-baiknya. Jangan mau menikah hanya karena gairah yang menggebu-gebu dalam diri kita, ujung-ujungnya bercerai. Berstatus janda di usia muda sangat tidak bagus, Sherly, apalagi berpisah hanya karena orang ketiga. Seburuk apa pun kelakukan suami kita, orang-orang akan menyalahkan kita sebagai pihak perempuan. Apalagi kalau perempuan yang tidak tahu mengurus suami, itu yang akan dijadikan alasan kenapa sampai kita ditinggalkan suami, padahal suaminya yang brengsek."

Perkataan Jovita membuat Sherly spontan berkata, "Aku juga sebenarnya begitu, Kak. Aku tidak mau nikah muda, tapi mau tidak mau aku harus menikah?"

"Kenapa?" tanya Jovita pelan. Dilihatnya Sherly menunduk malu. "Tidak masalah, Sherly, asalkan lelaki itu benar-benar mencintaimu dan keluargamu. Awalnya sih laki-laki akan seperti itu, menunjukan bahwa mereka itu sangat mencintai kita dan bertanggung jawab dengan apa yang mereka perbuat dengan menikah. Tapi setelah itu, dengan seenaknya mereka akan memainkan perasaan kita sebagai perempuan dan berprinsip setidaknya mereka sudah bertanggung jawab. Anak anjing aja kalau dipelihara tidak hanya sekedar diberi makan, bukan? Kita harus memberikan kasih sayang dan cinta, apalagi kita sebagai istri. Jadi kamu harus berpikir baik-baik untuk menikah muda. Maaf, bukannya menghasut kamu, tapi aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai ada penyesalan belakangan, karena menyesal di saat status kita janda itu sangat tidak baik. Jujur aku sangat menyesal, Sherly."

Sherly terdiam. Ditatapnya Jovita yang kini sangat menikmati pastanya. "Menyesal?" ulangnya. "Menyesal kenapa, Kak?"

Jovita berhenti mengunyah. Diraihnya minuman melon squash yang sama seperti Sherly. Ia meneguk sedikit sebelum melanjutkan perkataannya. "Lebih baik kau jangan mendengarkannya. Aku tidak mau karena masalahku niat nikah mudamu akan batal." Ia tertawa lalu menyantap pastanya lagi.

Sherly semakin penasaran. "Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya ingin mendengarnya. Lagi pula calon suamiku dan keluarga adalah sahabat keluargaku. Jadi hal yang tidak mungkin mereka akan membuatku menyesal."

"Kau yakin?" goda Jovita sambil menatapnya. Sherly mengangguk cepat. Ia pun segera melepaskan sendoknya dan mulai bercerita. "Jadi begini, mantan suamiku itu anaknya orang kaya. Papanya bekerja disebuah perusahan proyek dan menjadi tangan kanan bos. Karena tidak punya pengalaman dan ijazah, dia terpaksa bekerja sebagai pekerja konstrusi di mana proyek yang papanya tangani. Tapi karena tidak terbiasa dan tidak tahu apa-apa, ayah mertuaku mengajaknya untuk ikut bersama menangani proyek di lapangan. Alhasil, dia pun jadi tahu bagaimana cara menghadapi klien dan menangani proyek dengan keuntungan yang besar, sampai akhirnya dia menjadi kontraktor."

Mata Sherly cemerlang. "Benarkah? Proyek apa? Calon suamiku, papaku dan mertuaku juga seorang kontraktor."

Jovita mencari alasan. "Aku sudah lupa, Sherly. Sejak bercerai aku tidak mau lagi tahu menahu soal mereka. Tapi yang jelas setelah tahu mengenai proyek, setelah tahu bernegosiasi dengan klien dan mendapatkan uang banyak, sejak itulah rumah tangga kita hancur." Jovita sengaja menghentikan perkataannya dan menatap Sherly. Ia melihat ekspresi gadis itu langsung berubah dan langsung meneruskan cerita bohongnya. "Saat dia mendapat proyek besar dari ayah mertuaku, dia di kirim ke luar kota. Di sana dia selain bekerja dia ternyata punya simpanan. Awalnya aku tak percaya saat ada seorang wanita menghubungiku dan mengaku sudah hamil, karena setiap hari dia selalu mengabariku. Makanya saat wanita itu menelepon. Aku kaget, karena saat itu baru 5 bulan kami LRD."

"Si-simpanan? Ha-hamil?" tanya Sherly tergagap.

Bagus! Kau berhasil, Jovita, katanya dalam hati. "Iya. Itu sebabnya aku menyesal nikah muda. Jadi, mumpung belum menikah, kau sebaiknya pikir dulu sebelum bertindak. Dalam kamus lelaki, mereka tidak akan pernah merasa puas. Ibarat kata, satu saja tidak bisa dihabiskan, tapi seribu takkan pernah puas. Mereka hanya akan sayang pada kita saat rasa penasaran mereka berkoar-koar, tubuh kita bagus dan wajah kita cantik, tapi setelah melahirkan, tubuh kita mulai berubah, di situlah mereka akan mencari wanita lain yang lebih menarik dan cantik."

Sherly terdiam. Sambil menunduk menatap bakso yang tingga 1 pentol, Sherly menimang-nimang setiap pengalaman yang diceritakan Jovita. Dilihatnya Jovita yang sedang menikmati pastanya. "Ta-tapi, apa mereka benar-benar akan selingkuh meski hati mereka hanya untuk kita."

Jovita menahan tawa. Dilepaskannya sendok lalu mengelap mulutnya dengan tisu. "Sherly, jangan pernah percaya apa kata mereka. Memang kedengarannya tulus, bahkan suamiku itu selalum menuruti semua kemauanku, alhasil apa? Kalau dia tulus padaku, tidak akan ada wanita lain yang meneleponku dan mengaku hamil. Hanya alibi saja mengatakan bahwa mereka sibuk, toh kita tidak melihat langsung, tapi sebenarnya mereka sedang sibuk dengan wanita lain di dalam kamar."

Lagi-lagi Sherly ternganga. Perkataan Jovita barusan mengingatkan Sherly pada nafsu birahi Tommy yang menggebu-gebu. "Apa jangan-jangan di sana dia...," katanya dalam hati. Dilihatnya Jovita sedang menatapnya. "Kak, aku mau tanya," katanya skeptis.

Jovita menggangguk. "Tanya apa, Sherly?" balasnya pelan membuat Sherly lebih yakin bahwa Jovita bisa dipercaya.

"Kalau seandainya laki-laki yang nafsunya tinggi, tapi tidak pernah membahas soal itu saat komunikasi via telepon, apa itu berarti..."

"Dia punya simpanan!" sergah Jovita yang membuat Sherly terkejut. "Kau tahu, Sherly, suamiku itu nafsunya tinggi sekali. Saat bersama-sama, dia sedikit-dikit minta bercinta. 1-2 bulan di luar kota dia masih saja nakal di telepon, tapi masuk bulan ke 3 dia bahkan tidak sama sekali membahas soal nafsu, padahal setahu aku dia sangat gila seks. Ternyata ujung-ujung sudah ada yang memuaskannya di sana."

Dada Sherly berdegup cepat. Ingatan akan seks Tommy yang sama seperti suami Jovita membuat ia terbayang akan tidak pernah adanya komunikasi yang menyinggung soal seks sama sekali, padahal Tommy adalah tipe lelaki seperti itu. "Apa jangan-jangan...? Tidak! Aku tidak mau seperti Kak Jovita," pikirnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala seperti orang takut.

Jovita yang menyadarinya langsung merespon. "Ada apa, Sherly?"

Sherly tersentak. "Tidak! Aku tidak mau menikah muda! Aku tidak mau diduakan! Aku tidak mau menjanda."

Jovita mendekatinya untuk menenangkan. "Ada apa, Sherly? Apa yang terjadi? Maafkan aku. Aku sudah..."

"Tidak, Kak. Kau tidak tidak salah," sergah Sherly. Wajah pucat. "Bisa Kak bantu aku?"

"Bantu apa?"

"Bantu aku untuk menggugurkan kandunganku."

Jovita pura-pura kaget. "Menggugurkan kandungan? Kau hamil?"

Sherly mengangguk. "Ya, Kak, tapi aku tidak mau menikah muda. Kak Jovita bisa kan bantu aku?"

"Tapi, Sherly, aku..."

"Kumohon, Kak, bantu aku. Aku tidak akan membocorkan hal ini pada siapa pun. Sungguh. Berapa pun biaya yang Kak Jovita minta, akan kuberikan asalkan Kak mau membantuku untuk mengeluarkan bayi ini dalam perutku."

Dalam hati Jovita bersorak-sorak, selain berhasil menghasut Sherly dan membantu Andin, ia juga dapat keuntungan. "Baiklah kalau begitu, aku ada kenalan bidan. Dan kalau kau mau, besok aku akan mengantarkanmu ke sana."

"Aku mau, Kak. Aku mau!"

Continued___