Chereads / Hidden Desires / Chapter 38 - Bab 38. Keadaan Sherly.

Chapter 38 - Bab 38. Keadaan Sherly.

Setelah memutuskan tindakan seperti yang telah disetujui Jovita, Sherly merasa itu adalah hal dan keputusan yang tepat. Ia bahkan tidak berpikir dampak dari keputusan itu baik bagi dirinya, Tommy, maupun orangtua dari kedua pihak. Ia bahkan tidak berpikir tentang perjuangan dan pengorbanan Tommy yang harus bekerja keras demi dirinya dan calon bayi mereka. Jovita telah berhasil mencuci otaknya dan itu membuat gadis berambut cokelat itu tertawa bahagia.

"Kau lihat saja nanti," katanya pada Andin. Setelah makan siang bersama Sherly, ia langsung menghubungi Andin untuk menemuinya di tempat yang sama setelah Sherly pergi.

"Kau keterlaluan, Vi. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, bagaimana?" kesal Andin sambil menatap Jovita dengan tatapan marah.

"Aku kan tidak menyuruh gadis itu untuk menggugurkan kandungannya. Dia sendiri yang memutuskan hal itu. Lagi pula saat awal kita ngobrol, dia sama sekali tidak mengatakan kalau dia hamil. Bahkan setelah aku menyinggungnya, dia tetap tidak mau terbuka. Makanya aku pura-pura kaget waktu dia bilang ingin menggugurkan kandungannya."

"Tapi kamu sudah mencuci otaknya, Vi. Kau seharusnya tidak perlu berbohong dengan mengatakan bahwa kau pernah menikah dan gagal! Kau gila, Vi."

"Ini semua demi kamu, Andin. Toh kalau mereka berdua tidak jadi menikah, kau sendiri juga yang senang. Makanya nanti kalau Sherly sudah berhasil menggugurkan kandungannya, kau harus dekati Tommy lagi. Kau dekati dia layaknya sahabatmu." Ditatapnya Andin yang sedang berpikir. "Jujur sampai sekarang aku masih penasaran tentang Tommy, lelaki seperti apa sih dia sampai kau tidak mau membuka hati pada orang lain hanya demi dia?"

Andin balas menatapnya. "Aku tidak mau memikirkan itu. Nanti saja kapan-kapan aku akan memperkenalkanmu padanya. Yang sekarang bikin aku khawatir adalah Sherly. Bagaimana kalau besok dia terjadi apa-apa setelah aborsi? Apa kau akan bertanggung jawab?! Tommy pasti akan mengamuk kalau dia tahu kau yang mengajak Sherly ke tempat itu."

Jovita tertawa. "Kau tenang saja, itu tidak akan terjadi. Kalau pun Sherly berhasil menggugurkan kandungannya, bukan berarti mereka harus membatalkan pernikahan, bukan? Ini hanya masalah waktu, Andin. Setidaknya kau punya waktu untuk bisa mengutarakan keinginanmu untuk memiliki Tommy. Diterima atau enggak, setidaknya kau sudah berusaha dan mengutarakan perasaan yang sudah lama terpendam dalam dirimu secara langsung padanya."

Andin terdiam. Dilihatnya wajah Jovita yang penuh keyakinan. "Jika Jovita saja merasa yakin, masa aku tidak," katanya dalam hati. "Baiklah, tapi awas kalau Tommy marah, aku takkan segan-segan mengatakan padanya bahwa kaulah yang menghasut Sherly."

Jovita terbahak. "Dia tidak akan tahu, percayalah padaku."

Di sisi lain.

Merasa dirinya besok akan terbebas dari beban yang selama ini dirasakannya, Sherly kini sedang berbaring sambil menatap langit-langit kamar. "Maafkan aku, Tom, tapi ini lebih baik. Aku ingin kau menikah denganku berdasarkan cinta, bukan berdasarkan kasihan atas apa yang kau perbuat padaku." Diraihnya ponsel dari bawah bantal. Ia menarik napas panjang. "Apakah kau di sana sibuk dengan pekerjaan atau dengan wanita lain?" katanya saat tidak melihat notifikasi dari Tommy. "Hari sudah senja, tapi mengabariku saja kau tidak ada seharian ini."

Bayang-bayang akan cerita Jovita membuat Sherly membayangkan bahwa Tommy kini bersama wanita lain sehingga tidak mengabarinya. Hal itu membuatnya yakin dengan keputusan itu. Ia tak ingin mengikat Tommy hanya karena bayi dalam kandungannya. Ia ingin menikah dengan lelaki itu tanpa ada unsur keterpakaaan atau pun desakan lain. Ia ingin dicintai secara alami oleh Tommy. Dan baginya, semua pengorbanan, perhatian, cinta dan kasih sayang Tommy selama ini belumlah cukup. Kenapa?

Dua hari kemudian.

"Halo, Andrew?" sapa Tommy pada pria di balik telepon. Saat ini ia sedang perjalanan pulang menuju kontrakannya. "Maafkan aku, tadi aku sibuk sekali. Aku tidak mengganggumu, bukan?" katanya lalu tertawa. "Syukurlah. Jadi begini, aku sedang mencari orang untuk menjadi tangan kananku. Sherly kan sedang hamil, sementara aku di luar kota dalam jangka panjang, jadi aku ingin ada seseorang yang bisa menggantikan pekerjaanku selama beberapa hari di saat aku menemui Sherly." Tangannya yang satu bergerak memindahkan persneling. "Itulah tujuanku menghubungimu, aku ingin kaulah yang menjadi tangan kananku, Andrew." Ia menghentikan mobil di lampu merah. "Berapa pun gaji yang kau minta, aku akan memberikannya asalkan aku bisa berduaan dengan calon istriku sebulan berapa kali." Ia terkekeh. "Kau serius? Oke, oke, kalau begitu malam ini aku kirim tiketnya dab besok sudah harus ada di sini. Oke, Andrew, terima kasih banyak, ya."

Tut! Tut!

Tommy memutuskan panggilannya. Karena lampu merah di perampatan kota masih lama, sambil tersenyum bahagia ia menghubungi Sherly. Dilihatnya layar wallpaper yang menunjukan wajah sang pujaan hati. "Maafkan aku, Sayang karena hari ini sempat mengabaikanmu." Diletakannya ponsel itu ke telinga. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv atau berada di luar jangkauan, cobalah..."

Tut! Tut!

Alis Tommy berkerut. Ia heran kenapa nomor Sherly tidak aktiv. Ini kali pertama ia menghubungi nomor gadis itu tidak aktiv. Ditekannya radial untuk menghubungi Sherly lagi. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv atau..."

Tut! Tut!

"Kenapa, ya?" katanya pelan. Karena sedang dalam perjalanan, Tommy melepaskan ponsel dan kembali fokus menyetir. Setelah sampai di kontrakannya, ia mengubungi lagi nomor Sherly, tapi hasilnya masih sama. Sambil duduk di atas kasur, Tommy akhirnya menghubungi Lenna. "Halo, Ma? Sherly di mana? Aku menghubungi ponselnya, tapi tidak aktiv," balasnya saat Lenna menyapa.

"Tommy? Dia sedang tidur, Sayang. Pulang sekolah tadi dia langsung tidur. Tidak aktiv? Mungkin handphone-nya lowbat."

"Dia tidak apa-apa, kan, Ma? Makannya teratur, kan?"

Lenna terkekeh mendengar nada khawatir Tommy. "Tenang saja, dia tidak apa-apa, kok. Makannya juga teratur, bahkan lebih dari porsi biasanya."

"Tidak masalah, Ma. Pokoknya apa yang dia inginkan Mama turuti, ya? Aku ingin calon istri dan bayiku sehat."

"Mama juga ingin punya cucu yang sehat, Tom. Jadi kau tenang saja. Mama jamin soal asupannya. Dia tidak akan makan sembarangan, kok."

"Baiklah kalau begitu, Ma. Terima kasih, banyak. Ngomong-ngomong aku mandi dulu ya, Ma? Aku baru saja pulang dari lokasi. Pekerjaan hari ini cukup banyak sampai-sampai aku tidak bisa mengabarinya seharian. Tolong sampaikan salamku padanya ya, Ma? Tolong juga bilang jangan matikan ponselnya lagi seperti ini."

Lenna terkekeh. "Kau memang calon suami idaman, Nak. Tenang saja, nanti mama akan sampaikan. Jaga dirimu, ya, Nak. Hati-hati di sana."

"Mama tenang saja. Sampaikan juga salamku pada Papa. Bye, Ma."

"Iya. Bye, Tommy."

Tut! Tut!

Setelah mendengar kabar tentang Sherly baik-baik saja ia pun akhirnya lega. Sambil berdiri dari kasur Tommy meletakan ponselnya di atas nakas. Diraihnya foto Sherly yang berada dalam bingkai kecil berwarna emas. Tommy tersenyum. "Sehari tak mendengar suaramu rasanya aku rindu sekali." Diusapnya wajah Sherly yang sedang tertawa lepas saat ia merengkuh tubuh gadis itu dengan erat. "Yang sabar, ya, Sayangku, tinggal dua bulan lagi kita akan selalu bersama. Aku akan mengajakmu tinggal bersamaku agar kita takkan menahan rindu seperti ini lagi." Tommy merapatkan foto itu lalu menciumnya. Setelah merasa tenang, ia kembali melepaskan bingkai itu di atas nakas lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Di sisi lain.

Tok! Tok!

"Sherly? Ini sudah jam 7, Sayang, apa kau tidak ingin makan malam?" Lenna mengetuk-ngetuk pintu kamar putrinya. "Sherly?" Karena tak ada sahutan, Lenna membuka handle pintu yang ternyata tidak dikunci. Didorongnya pintu berwarna putih itu hingga terbuka. "Ya ampun, sudah malam begini kau masih tidur?" Ia melihat tubuh Sherly yang terbungkus dengan selimut di atas kasur. "Sayang, ayo makan dulu. Sejak tadi kau belum makan. Kau tidak kasihan apa pada bayimu?" Lenna menatap wajah Sherly. "Ya ampun, Nak! Apa yang terjadi?" Dilihatnya wajah Sherly yang pucat pasi dengan tangan sebelah yang menempel di dahi Sherly. "Astaga! Badanmu panas." Lenna berlari keluar kamar. "Pa! Papa!" teriaknya dari lantai atas.

"Ya, Ma?" sahut Harry dari lantai bawah.

"Sherly, Pa!" katanya sambil merengek.

Dengan cepat Harry berlari menaiki tangga. "Ada apa? Apa yang terjadi?" Ia merangkul istrinya dan masuk ke kamar Sherly. Dilihatnya Sherly yang masih terbungkus dengan mata terpejam. "Ya, ampun! Kita harus membawanya ke dokter," katanya saat melihat wajah Sherly lalu menepiskan selimut tebal itu. Ia membangunkan Sherly. "Sayang! Kamu kenapa?" Sherly tak menyahut. Ia hanya membuka mata sedikit sambil mengerang. "Sherly? Kita ke dokter, ya?" Merasa putri semata wayangnya dalam bahaya, ia pun segera membopong tubuh Sherly yang mengenakan piyama.

Lenna yang juga cukup terkejut langsung menangis sambil mengikuti Harry. "Pa! Apa yang terjadi padanya, Pa? Dia tidak apa-apa, kan, Pa?"

Harry menuruni tangga dengan hati-hati. "Semoga saja," katanya. "Sherly, Sayang, bertahanlah, Nak," katanya setelah meletakkan Sherly di bangku belakang. "Ma! Telepon Charles dan Lisa. Beritahu mereka keadaan Sherly dan katakan pada mereka kalau kita akan ke rumah sakit."

Dengan cepat Lenna pun mengambil ponselnya dan menghubungi mereka. Tapi sebelum pergi ke rumah sakit, ia mengunci semua pintu baru menyusul Harry di garasi mobil. "Sudah, Pa! Mereka akan menyusul kita." Ia mengambil posisi di bangku belakang tepat di samping Sherly. Dilihatnya gadis itu sedang tidak sadarkan diri. Ia semakin menangis. "Sayang, apa yang terjadi? Apa yang terjadi sampai kau seperti ini?"

Continued___