Dalam perjalanan menuju rumah, Sherly sama sekali tak mengeluarkan suara. Pikirannya dihantui rasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Hubungannya dengan Tommy memang LDR, tapi sikap Tommy yang selalu perhatian dan penuh cinta membuatnya menyesal karena sudah termakan omongan Jovita. Jika suami Jovita selingkuh, itu berarti orangnya yang bermasalah dan kenapa harus menyangkut-pautkan dengan Tommy?
Hal itulah yang membuat Sherly sangat menyesal. Selama ini Tommy selalu menuruti apa kemauannya. Tommy bahkan sangat antusias begitu tahu dirinya hamil. "Maafkan aku, Tom, aku..." pikirnya dalam hati. Air matanya menetes. Ia tak sanggup membayangkan bagaimana Tommy akan kecewa padanya jika tahu alasan kenapa ia melakukan aborsi.
"Halo, Tom?"
Suara Lenna yang menyebutkan nama Tommy membuat Sherly tersadar dari pikirannya. Ia menatap sang ibu yang sedang duduk di bangku depan.
"Sherly?" Lenna menghadap ke bangku belakang menatap Sherly. "Dia di rumah, Sayang. Nanti mama akan tanyakan padanya kenapa ponselnya tidak aktiv. Baik, Sayang. Kau sehat-sehat di sana, kan? Syukurlah. Nanti mama kabari kamu lagi, ya? Oke. Bye. Hati-hati, Nak."
Setelah memutuskan panggilannya Lenna kembali menatap Sherly. Dilihatnya anak bungsunya itu sedang meneteskan air mata. Ia tahu bahwa Sherly menyesali perbuatannya. "Kau tidak mungkin lari dari kenyataan, Nak," katanya pada Sherly. Gadis itu semakin menangis.
"Kita akan bicarakan masalah ini dengan orangtua Tommy. Kita akan bertukar pikiran dengan mereka. Tapi papa ingin bertanya padamu, Sherly. Apa kau benar-benar mencintai Tommy?"
Sherly menarik cairan hidungnya. "Iya, Pa. A-aku... aku sangat mencintainya."
"Jujur papa sangat kecewa padamu, Sherly. Kau itu anak pintar, tapi bisa-bisanya kau percaya omongan orang tanpa berpikir dulu. Kalau sudah seperti ini siapa yang menyesal, hah?!" bentaknya sambil mengemudi.
"Sudah, Pa." Lenna menenangkan. Ia menatap Sherly. "Kau tidak usah terlalu memikirkan masalah ini, yang ada kondisimu akan semakin parah. Biar mama dan Papa yang akan bicarakan hal ini dengan Tante Lisa dan Om Charles."
Sherly menggeleng. "Tidak, Ma, aku ingin sekarang kita ke rumah mereka. Aku sendiri yang akan menjelaskan pada Tante Lisa dan Om Charles tentang masalah ini. Aku tahu mereka pasti marah besar padaku."
"Coba saja kau berpikir sedikit sebelum bertindak," kata Harry. "Kau sudah membuat hubungan papa dan Om Charles rusak, Sherly!"
"Pa!" tegur Lenna. "Jangan marah-marah."
Harry pun diam. Dengan muka yang memerah karena emosi, ia terus melajukan mobilnya menuju perumahan milik keluarga Fabian. Ia tak menggubris permintaan Sherly yang ingin langsung ke rumah mereka untuk menjelaskan.
Sejurus kemudian mereka pun tiba. Harry masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa, sementara Sherly yang sadar akan emosi sang ayah hanya bisa meneteskan air mata karena takut.
Lenna membantunya turun. "Sudah, jangan menangis lagi. Sekarang kau masuk lalu istirahat. Apa kau ingin makan sesuatu?"
Sherly menggeleng. "Tidak, Ma. Aku hanya ingin tidur."
Mereka berjalan memasuki rumah. Lenna juga mengantarkan Sherly hingga ke dalam kamar. Setelah melihat gadis itu berbaring, Lenna menarik selimut tebal untuk menutupi tubuhnya. "Sayang, sebaiknya aktifkan ponselmu. Kalau kamu menghindar dari Tommy, yang ada dia akan curiga."
"Aku takut, Ma, aku takut dia akan marah dan membenciku."
Lenna duduk di atas kasur. "Tapi lebih baik kau jujur padanya, Sayang. Sesakit apa pun yang dia dengar, asalkan penjelasan itu jujur. Siapa tahu Jovita itu adalah temannya dan suatu saat mungkin kalian akan bertemu lalu si Jovita membongkar rahasiamu itu padanya. Mana menurutmu yang akan membuat Tommy lebih marah?"
Sherly terdiam. "Baiklah. Akan kucoba nanti. Aku ingin istirahat."
"Kalau ada apa-apa langsung telepon mama, ya? Pagi ini mama dan papa akan langsung ke rumah Om Charles. Kita menyelesaikan masalah ini sebelum Tommy tahu dari orang lain. Mama bahkan sangat takut kalau seandainya Tommy menghubungi ibunya dan Tante Lisa mengatakan hal yang sebenarnya."
"Kalau begitu Mama dan Papa cepatlah pergi sebelum semuanya terlambat."
Di sisi lain.
"Ada apa?" tanya Andrew sambil mengemudi. Ia dan Tommy sedang dalam perjalanan menuju lokasi proyek.
"Semalam aku bermimpi kalau Sherly mengenakan baju pengantin. Dalam mimpi itu dia kelihatan bahagia sekali. Aku takut terjadi apa-apa padanya."
"Ponselnya masih sulit dihubungi?"
Tommy mengangguk. Wajahnya muram. "Aku sangat khawatir, Andrew."
"Apa kata ibunya?"
"Ibunya bilang dia di rumah. Bahkan ibunya tidak tahu kalau ponselnya sudah berhari-hari tidak aktif."
"Itu berarti dia tidak apa-apa," kata Andrew. "Kau saja yang terlalu khawatir."
"Bagaimana aku tidak khawatir sementara dia sedang hamil. Aku tidak mau terhadi apa-apa pada anakku dan calon istriku."
"Kau memang laki-laki idaman, ya."
Ting!
Bunyi notifikasi membuat Tommy terkejut. Ia menatap layar. Alisnya berkerut saat melihat 1 pesan chatting masuk dari nomor yang tak di kenal. Ia membukanya. "Video?" Ia mebuka video itu. "Sherly? Sedang apa dia?" Alisnya berkerut saat melihat sosok Sherly yang terkangkang di atas brangkar pasien.
"Ada apa, Tom?"
Tommy tak merespon. Ia sendiri tak mengerti apa maksud video itu. Tapi mendengar Sherly berteriak sakit membuatnya semakin penarasan. "Alat apa itu?"
Andrew merampas ponsel Tommy. Ia melirik video itu sambil mengemudi. "Siapa yang mengirim video ini?"
"Aku tidak tahu. Itu Sherly, kan? Sedang apa dia itu?" tanya Tommy.
Andrew menepikan mobil ke bahu jalan. Ia mengulang kembali dari awal video yang durasinya 30 menit itu. Dengan alis berkerut-kerut ia menyimak video itu sampai selesai. "Tom!" Andrew menghapus video itu. "Sebelum aku menjelaskan maksud video ini padamu, maukah kau berjanji akan menjawab semua pertanyaanku?"
"Apa maksudmu, Andrew?"
"Apa sebelumnya kau dan Sherly ada masalah?"
"Tidak. Sudah berapa kali aku bilang padamu bahwa aku dan Sherly tidak pernah bertengkar."
"Oke. Apa kau yakin orangtuamu merestui hubungan kalian? Eh, maksduku apa kau yakin sikap orangtuamu pada Sherly baik-baik saja?"
Tommy menatap heran. "Apa maksdumu, Andrew? Aku tidak mengerti. Sekarang jelaskan padaku apa maksud dari video itu? Kenapa Sherly berteriak seperti itu?" Yang ia ingat Sherly sedang terbaring di atas brangkar pasien sambil terkangkang, bersama seorang wanita tua yang duduk di hadapannya. "Apa begitu cara dokter memeriksa pasien yang sedang hamil?
Andrew mengusap wajahnya dengan kasar. Ia baru saja ingin berbicara, tapi bunyi notifikasi masuk membuatnya terdiam. Ia menatap layar ponsel Tommy yang berisi 1 pesan chatting dari nomor yang sama dengan pengirim video tadi.
"Siapa itu?"
"Nomor yang tadi. Dia mengirim pesan." Andrew membaca pesan itu, tapi belum selesai membacanya Tommy langsung merampas ponselnya.
"Kau sudah melihat video tadi, bukan? Video itu dikirimkan oleh teman Sherly. Katanya Sherly melakukan aborsi karena dia tidak mau menikah denganmu."
Tommy terkejut. "A-aborsi?" Tommy tergagap. Ia menjatuhkan ponselnya di atas paha.
Andrew tampak gelisah. "Tom, sebaiknya kau jangan dulu percaya. Kau tanyakan dulu masalah ini pada orangtua Sherly atau orangtuamu."
Ekspresi Tommy seakan terpaku. "Aborsi? Tidak mau menikah?" lirihnya.
"Tommy aku mohon, jangan dulu langsung kau telan mentah-mentah pesan itu. Aku yakin ini pasti ada yang tidak beres." Ia mengambil ponsel Tommy dan menghubungi nomor yang tak di kenal itu.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...."
"Dengar! Kontaknya tidak aktif. Ini pasti provokator."
Tommy masih diam. Ia merosok ke kursi dengan kepala yang tersandar di kaca jendela. "Bayiku, Sherly...," bisiknya. "Apa benar Sherly tidak mau menikah denganku, Andrew? Apa benar dia melakukan aborsi hanya karena masalah pernikahan?" Andrew diam. "Jawab, Andrew! Apa benar wanita akan melalukan aborsi karena tidak menginginkan bayi itu dalam kandungannya?!"
"I-iya. Biasanya seperti itu," katanya skeptis. "Tapi itu terjadi kecuali mereka tidak saling mencintai, Tom."
"Itu berarti Sherly tak mencintaiku?" Matanya nanar. Ia menatap Andrew. "Apa itu berarti dia tak mencintaiku lagi, Andrew? Jawab aku, Andrew! Apa benar Sherly tak mencintaku lagi?"
"Aku tidak tahu, Tommy. Tapi..."
"Itu sudah jelas, Andrew. Dia tak mencintaiku lagi. Dia sudah membunuh bayiku. Dia tidak mau mengandung anakku. Dia tak mencintaku lagi, Andrew!"
Continued____