Tak berapa lama mereka pun tiba di rumah Andin. "Kita sampai," kata Andin seraya memasukkan mobil ke dalam garasi, "Inilah rumahku. Aku tinggal bersama Papa dan Bibi."
Sherly yang berada di bangku belakang hanya diam, namun matanya menatap seluruh halaman juga desain rumah Andin yang berlantai dua itu. Estetikanya pun mulai melayangkan pikiran Sherly. "Rumah yang indah."
Andin bersandar di kursi kemudi. Sambil menatap Sherly dari spion ia berkata, "Aku rasa rumahmu jauh lebih indah dari rumahku."
Sherly menoleh menatapnya. "Dari mana kau tahu?"
"Ayahmu kan seorang desainer." Andin tersenyum. "Baiklah, ayo kita turun."
Andin membuka pintu mobil lalu keluar. Sherly juga melakukan hal yang sama. Tapi saat ia hendak memasuki rumah, tiba-tiba wajah Sherly tampak khawatir seakah mencari sesuatu yang hilang. Andin menyadari dan menunggu sampai gadis itu mengeluarkan suara untuk bertanya. "Di mana koperku?" kata Sherly.
Andin tak menjawab. Ia hanya berjalan menuju bagasi mobil lalu mengeluarkan koper berwarna ping. "Ini kan?"
Sherly tersenyum. Dalam hati ia sangat senang, tapi tidak mengucapkan terima kasih pada Andin. Karena sang tuan rumah sudah mengajaknya untuk masuk, ia pun segera menurut sambil mengekor di belakang Andin seraya menarik kopernya.
"Silahkan masuk, Sherly," kata Andin seraya membuka pintu depan, "Bi, Bibi?"
"Iya, Non." Sosok wanita tua muncul dari arah dapur dengan pakaian dinas ala emak-emak. Tubuhnya gemuk, rambutnya penuh uban. "Maaf, Non, Bibi lagi masak." Matanya teralih ke sosok Sherly yang sedang berdiri di samping Andin. "Ini bukannya anak Om Harry?"
Andin dan Sherly sama-sama terkejut. "Bibi kenal?" tanya Andin.
"Iyalah, Non, kan tempo hari Tuan Ferry mengajak keluarga Fabian dan keluarga Om Harry makan malam di rumah ini. Juga Pak ... Pak siapa dulu yang tampan itu? Yang kelihatan tua, tapi tetap tampan. Kalau tidak salah beliau dulu adalah anggota dewan."
Andin menahan tawa. "Maksud Bibi Pak Malik?"
"Ya, itu. Pak Malik."
Sherly tak menjawab, tapi dalam hati ia terheran-heran karena pengurus rumah itu ternyata masih mengenalnya meski hanya sekali bertemu.
"Bi, tolong buatkan teh hangat untuk Sherly, ya? Dia akan menginap di sini dalam beberapa hari."
Bibi menatap Sherly dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Sepertinya Non Sherly sedang tidak sehat. Wajah Anda pucat, Non."
Sherly menjawab lemah, "Aku tidak apa-apa, Bi. Aku hanya .... "
"Dia bohong, Bi," potong Andin, "Dia sedang tidak sehat. Justru itu tujuanku memanggil Bibi, tolong buatkan teh hangat dan sup sayur. Nanti kalau sudah selesai, bawa masuk ke kamarku saja."
"Baik, Non. Kalau begitu Bibi permisi dulu." Setelah menunduk pamit, Bibi pun kembali ke dapur untuk menyelesaikan dan melaksanakan tugas yang diperintahkan si majikan.
Andin dan Sherly masih berdiri di depan tangga menuju lantai dua. "Kau harus makan dan istirahat. Ayo ikut aku, kau bisa menggunakan kamarku untuk sementara," kata Andin.
Sherly jadi merasa bersalah. Sikap baik Andin kini membuatnya menyesal karena sempat membenci gadis itu. Namun ketertarikan Andin terhadap tunangannya membuat Sherly tetap tidak akan mengubah kebenciannya pada Andin. Ia yakin kalau sikap baik yang ditunjukan gadis itu hanyalah pura-pura.
Mereka berdua menaiki tangga beralaskan karpet merah. Sherly memborong semua isi rumah yang menurutnya sangat besar jika hanya ditempati tiga orang. "Jika dia hanya tinggal bersama pengurus rumah dan ayahnya, lantas ke mana ibunya?" tanya Sherly dalam hati.
Clek!
Andin membuka pintu kamar, mendorongnya, kemudian menekan tombol sakelar yang menempel di dinding sebelah kirinya. "Ini kamarku, untuk sementara sebaiknya kau tidur bersamaku dulu."
Sherly memborong semua isi kamar yang semuanya serba ping itu. Matanya perlahan-lahan merambat dari sisi kanan sampai sisi kiri. "Kau tidak tidur sendirian di kamar sebenar ini?"
Andin berjalan mendekati kasur lalu mendudukan bokongnya di atas ranjang empuk yang dilapisi seprai kuning. "Iya. Dulu waktu masih kecil, aku sering tidur di kamar Bibi kalau aku takut."
Sherly menoleh untuk menatap Andin. Tatapannya bingung. "Tidur dengan Bibi?"
"Waktu itu usiaku masih tujuh tahun. Kalau aku tidur di kamar sendirian dan tiba-tiba teringat pada almarhumah Mama, aku pasti akan langsung pindah dan meminta Bibi untuk tidur bersamaku."
"Oh, jadi ibunya sudah meningga," batin Sherly. Matanya lagi-lagi menyapu semua ruangan itu. Penutup jendela berwarna putih yang transparan membuat Sherly yakin, kalau ada beberapa pintu jendela di baliknya sedang terbuka. Kamar yang luas itu hanya terdapat satu kamar tidur berukuran besar, meja rias, sepasang nakas di samping ranjang juga karpet bulu yang senada dengan seprai yang digunakan saat ini. Mata Kensky kemudian tertuju pada pintu cokelat yang ada di sisi kanan kamar. Dari pintunya saja sudah membuat Sherly yakin jika di balik pintu itu pasti kamar mandi. Kemudian matanya menangkap lagi pintu cokelat sama yang letaknya berlawan arah. Sherly menatap kedua pintu itu secara bergantian dan berkali-kali.
Sadar akan kebingungan yang diekpresikan oleh wajah Sherly, Andin pun segera beranjak dari ranjang untuk mendekatinya. "Kau pasti mau bertanya kan kalau pintu itu fungsinya ke mana?" Andin meraih koper Sherly hingga terlepas dari tanggannya. "Ayo, kita letakkan pakaianmu di sebelah situ."
Sherly hanya bisa diam. Dilihatnya Andin berjalan sambil menarik kopernya ke arah pintu cokelat yang kedua dilihat Sherly. Setelah membuka pintunya, Andin menyuruh Sherly untuk masuk, "Ayo, ini ruangan pakaian. Sebaiknya pakaianmu diletakkan di sini saja."
Sherly berjalan menuju lemari kecil yang letaknya di samping lemari besar. Lemari besar itu mungkin berisi semua pakaian Andin. Tapi di sudut lain juga terdapat lemari berukuran sama, membuat Sherly sendiri bingung membayangkan apa isi di balik lemari itu. "Banyak sekali pakaiannya," katanya dalam hati, "Tapi tidak heran sih, dia kan fashionnable banget."
"Letakkan saja di lemari itu. Aku keluar sebentar untuk mengambil keperluan mandi untukmu," kata Andin sambil berdiri di dekat pintu.
Sherly menoleh menatapnya. "Maafkan aku karena sudah membuatmu repot."
Andin tersenyum. Tangan sebelahnya memegang handle pintu. "Tidak apa-apa. Karena kau calon istri sahabatku, berarti kau juga sahabatku." Andin tak menunggu perkataannya di balas oleh Sherly. Selepas mengatakan itu, ia langsung keluar dari ruangan tanpa menutup pintu.
Sherly masih terdiam. Perkataan Andin seakan menamparnya. Selama ini ia begitu membenci gadis itu, karena menyukai laki-laki yang sama. Ia sadar kalau Andinlah yang lebih dulu mengenal Tommy, tapi jika lelaki itu memilih dirinya, itu berarti Tommy tidak menyukai Andin. "Apakah aku salah telah membuat hubungan mereka menjadi jauh?"
Karena tak ingin Andin mendapatinya dengan posisi yang sama, Sherly segera membongkar isi kopernya lalu mengatur semua pakaiannya di dalam. Setelah selesai ia kemudian menaruh koper itu di atas lemari berwarna cokelat itu. Karena pekerjaannya sudah selesai, Sherly keluar dan menutup ruangan itu. Ia berjalan menuju ranjang sambil melihat semua yang ada di kamar Andin. Estetikanya terhadap apa pun membuat Sherly dalam hati terus melontarkan pujian, karena Andin ternyata sangat pintar untuk merawat kamar.
Mata Sherly kemudian tertuju pada meja rias yang dipernuhi segala macam botol-botol dengan prodak berbeda-beda. Ada yang khusus parfum, lotion dan juga skin care. Penasaran dengan itu semua, Sherly akrhinya mendekati meja itu dan melihat semua prodak-prodak apa saja yang digunakan Andin. "Jadi ini rahasianya agar putih dan glowing?" katanya sambil meraih salah satu botol lotion prodak terkenal. Sherly membaca lebel yang tertempel di balik botol. Kemudian ia meletakkannya kembali dan meraih kemasan bulat dengan prodak yang sama. "Cream wajah?" Sherly membaca aturan pakainya. Karena terbayang akan wajah dan kulit Andin yang begitu mulus dan putih, ia pun berniat akan membeli prodak yang sama untuk merawat kulitnya.
Tapi bayangan akan masalah yang dihadapinya kini membuat Sherly segera meletakkan cream itu di tempat semula. Pikiran akan Tommy membencinya membuat Sherly merasa jika hidupnya sudah hancur. "Aku ingin mati saja," lirihnya pelan, "Tommy pasti akan membenciku. Aku tak sanggup, Tuhan. Aku tak sanggup kehilangan Tommy." Matanya tiba-tiba terbelalak saat melihat bingkai yang terletak di balik botol. Bingkai itu berukuran kecil dan berwarna gold, jadi pantas saja jika Sherly tidak melihatnya dari tadi karena tertutup oleh botol body mist yang tinggi. Sherly meraih bingkai tersebut dan menatapnya. Foto itu adalah wajah Tommy dan Andin waktu masih sekolah. Sherly cemburu, tapi mengingat kebaikan Andin membuat Sherly hanya bisa tersenyum mesti hatinya terasa sakit.
Sherly kemudian meletakkan foto itu lalu melihat bingkai lain yang entah kenapa posisinya tertutup. Sherly berpikir mungkin Andin terlalu ceroboh saat mengambil sesuatu sampai-sampai menyentuh bingkai itu hingga berantakan. Karena penasaran foto siapa di balik bingkai itu, Sherly meraih dan melihatnya. Matanya melotot. "Ini kan Kak Jovita!"
"Sherly, maaf aku lama."
Brak!
Suara Andin mengejutkan Sherly, sampai-sampai bingkai yang dipegangnya terjatuh hingga kacanya berserahkan.
"Sherly?" pekik Andin, kemudian berlari mendekati Sherly, "Kau tidak apa-apa?" Ia menunduk untuk membersihkan pecahan kaca tersebut, sementara Sherly hanya diam berdiri seperti patung.
Continued___