Chereads / Hidden Desires / Chapter 50 - Bab 50. Pertemuan Yang Mengharukan.

Chapter 50 - Bab 50. Pertemuan Yang Mengharukan.

Tak berapa lama Jovita pun muncul. Sikap Andin yang tak biasanya saat berbicara di telepon membuat dirinya takut setengah mati. Ketika memasuki Menk's Resto and Caffe, Jovita segera menyapu semua tempat itu untuk mencari sosok Andin. "Ternyata di sana," katanya seraya berlari kecil untuk menemui Andin. Jantungnya bahkan berdegup kencang saat melihat sosok Andin sedang duduk di teras cafe dengan mimik wajah yang garang. Dalam hati Jovita bertanya-tanya, karena tidak biasanya Andin seperti itu. "Ada apa, kenapa kau menyuruhku ke sini, apa ada masalah?"

Suara Jovita membuat Andin tersadar. Dengan cepat ia berdiri hingga kursi yang didudukinya terdorong jauh ke belakang. Hal itu membuat Jovita semakin takut. "Kau sudah gila, ya? Aku tidak pernah menyuruhmu melakukan ini, Jovita!"

"Ma-maksudmu apa, Andin? Aku tidak mengerti. Lagi pula bukannya menyuruh aku duduk, malah langsung marah-marah."

Emosi Andin yang meluap saat melihat Jovita mengundang banyak orang untuk menonton. Hal itu disadarinya ketika salah seorang pengunjung yang menempati meja di depan mereka menoleh ke belakang. Andin merasa malu dan segera duduk, diikuti Jovita. "Kau ... Kenapa kau tega melakukan itu, hah? Kau tidak pikir resikonya, ya?" kata Andin dengan suara pelan. Ia melirik kiri dan kanan untuk melihat apa para pengunjung itu sudah tidak lagi menontoni mereka.

Jovita masih bingung. Dengan alis mengerut ia balas menatap Andin. "Maksud kamu apa, hah? Sumpah, aku tidak mengerti."

Andin menatap tajam. "Sherly, kau tahu siapa Sherly, bukan?" Andin menyandarkan punggungnya di kursi. Wajahnya garang menatap para pejalan kaki yang lalu-lalang di depan cafe, sementara siku tangannya di atas pegangan kursi sambil menopang dagu. Wajahnya yang biasanya cantik itu kini berubah jelek, akibat emosi yang sedari tadi dipendamnya.

Mendengar nama Sherly membuat Jovita terkejut. Dengan keras ia pun berkata, "Apa dia sudah jujur padamu?"

Kepala Andin tersentak. "Jadi benar itu kau?" Ia menggeleng kepala. "Aku tak menyangka kau setega itu, Vi."

Sikap Jovita seakan bangga. "Itukan demi kau juga. Harusnya kau senang dong, karena itu artinya kau bisa merebut Tommy darinya."

Andin mencodongkan badan. Sambil mendekati wajah Jovita ia berbisik, "Bukan soal merebut atau tidak, tapi namamu sedang jadi buronan sekarang. Ayahnya Tommy sedang berusaha mencari siapa nama gadis yang bernama Jovita itu. Dan kemungkinan Om Charles akan memprosesnya ke dalam hukum, karena dia sudah kehilangan cucu dan menantunya."

Jovita terkejut. "Itu tidak mungkin, aku kan tidak memaksanya. Dia sendiri yang mau melakukannya, kok."

"Tapi kau menerima biayanya, kan?"

Wajah Jovita berubah pucat. "Dari mana kau tahu?"

Andin berdecak sambil menyandarkan kembali punggungnya. "Semuanya sudah jelas, Jovita. Kau sudah memanfaatkan anak SMA itu demi kepentinganmu sendiri. Kau bahkan rela berbohong dengan mengaku bahwa dirimu janda hanya untuk mendapatkan uang dari Sherly. Aku tak menyangka kau sejahat itu."

"Aku melakukannya demi kamu, Andin. Aku .... "

"Aku tidak pernah menyuruhmu, Jovita! Jadi jangan pernah kau menyangkut-pautkan namaku."

Jovita tampak gelisah. "Ka-kau tenang saja. Aku yakin, Sherly pasti tidak akan tahu kalau kau dan aku berteman. Lagi pula katamu kan aku sedang dalam pencarian, itu berarti mereka tidak tahu dong kalau itu aku."

Andin menatap tajam. Matanya yang indah seakan menusuk Jovita hingga membuat gadis itu duduk menunduk saat mata Andin menatapnya. "Mungkin begitu, tapi sebentar lagi tidak. Pokoknya aku tidak mau sampai Sherly buka suara bahwa kau adalah temanku."

"Lah, kalaupun nanti mereka akan tanya padaku, kan aku tidak akan bilang kalau aku melakukan itu demi kamu. Begitu kan beres?"

Andin membuang muka. "Kau pikir segampang itu. Tommy pasti tidak akan percaya, apalgi dia tahu aku masih mengejarnya sampai saat ini. Dia pasti berpikir bahwa aku membayarmu untuk menghasut Sherly."

"Kau tenang saja, aku yakin kalau Tommy tidak seperti itu."

Tak percaya akan perkataan Jovita, Andin pun segera meraih ponsel dan mulai mengirim pesan. "Pokoknya aku tidak mau sampai namaku terbawa-bawa. Jika Tommy membenciku hanya karena itu, lebih baik kau jangan anggap aku sahabatmu lagi," katanya pada Jovita.

Di sisi lain.

Sherly sedang berbaring di atas ranjang. Sudah setengah jam yang lalu Andin meninggalkannya dengan posisi masih sama seperti tadi. Dia tidak tidur, melainkan terus berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Harapan Sherly sekarang hanyalah semoga Andin tidak membocorkan keberadaannya. Ia ingin menyendiri dari semua orang, termasuk Tommy maupun keluarganya. Rasanya ia takkan sanggup jika calon suaminya itu akan membencinya, jadi daripada hal itu lebih dulu terjadi, Sherly pun memilih menjauhkan diri dari mereka agar terbiasa. Ia bahkan sudah tak peduli lagi dengan sekolahnya. "Toh masa depanku juga sudah hancur," bisiknya dalam hati.

Air mata Sherly mulai menetes saat membayangkan semua kenangan indahnya bersama Tommy. Kenangan di mana Tommy berani mengambil keputusan untuk menjalin hubungan dengannya, padahal lelaki itu mungkin terpaksa. Kenangan di mana Tommy dengan sabar menghadapi sikapnya yang sering kumat dan lelaki itu tetap sayang padanya. Lelaki itu bahkan rela menahan gairah saat dirinya menggodanya. Sikap Tommy yang sangat sabar dan penyayang itu membuat Sherly merindukannya, tapi membayangkan lelaki itu benci padanya akibat masalah ini membuat Sherly semakin menangis. Ia tak sanggup kehilangan Tommy.

Tok! Tok!

Bunyi ketukan pintu menyadarkan lamunan Sherly. Dengan cepat ia menghapus air matanya dan beranjak turun dari ranjang.

Tok! Tok!

Sherly mendekati pintu. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa Andin cepat sekali? Dan kenapa pakai acara ketuk pintu segala, toh biasanya gadis itu langsung masuk.

Clek!

Sherly membuka pintu. Matanya terbelalak saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. "Ka-kau?" Suaranya gemetar dengan mata yang mulai nanar.

Sosok yang juga menatap Sherly kini diam tanpa suara. Matanya berkaca-kaca saat melihat gadis di depannya. Rambut Sherly acak-acakkan, penampilannya bahkan berantakan. Ia tak peduli lagi dengan kecantikan, karena lebih penting baginya, bagaimana Tommy bisa mempercayai dan takkan membencinya.

Dan sekarang sosok itu sedang berdiri di hadapannya. "To-Tommy?" bisik Sherly hampir tak terdengar, "Dari mana kau tahu aku di .... "

Buk!

Perkataan Sherly terhenti saat tubuh Tommy menyambarnya. "Kau ke mana saja? Aku pusing memikirkanmu," kata Tommy sembari memeluk Sherly, "Kumohon jangan pergi. Jangan tinggalkan aku, Sherly."

Sherly ikut menangis. "Aku takut kau akan marah padaku. Aku takut kau akan membenci dan mengusirku."

Tommy semakin mengeratkan pelukannya. "Aku takkan pernah mengusir atau membencimu, Sayang. Aku ingin selalu bersamamu, bersamamu dan hanya bersamamu."

"Bawa aku pulang, Tommy. Aku ingin tidak mau lagi terpisah darimu. Aku .... "

"Aku janji, aku janji akan selalu membawamu ke mana pun aku pergi. Aku janji, Sherly. Aku janji."

Continued____