"Kalau begitu aku ingin ikut denganmu. Aku tidak mau sendirian lagi," bisik Sherly sambil menangis.
Tommy perlahan melepaskan pelukannya. Matanya memerah karena menangis. Dengan lembut ia menghapus air mata Sherly. "Kau tenang saja, aku pasti akan membawamu ke manapun aku pergi. Tapi tidak sekarang, Sayang."
"Kenapa?" rengek Sherly. Ia kembali memeluk tubuh Tommy. "Tapi aku tidak mau berpisah lagi denganmu. Aku ingin di dekatmu, saat ini sampai selamanya."
Tommy kembali membawa Sherly ke dalam pelukannya. "Itu pasti, Sayang, tapi untuk sementara tidak bisa, kan sebentar lagi kau harus ujian."
Sherly tersentak. Dengan cepat ia melepaskan pelukannya dari tubuh Tommy lalu menatap pria itu. "Aku tidak mau sekolah lagi, Tommy. Aku sudah tidak mau sekolah."
Nada Sherly yang histeris membuat Tommy khawatir. "Memangnya kenapa, Sayang, apa yang terjadi di sekolah?"
Sherly menggeleng semakin keras. "Pokoknya aku tidak mau. Aku ingin ikut denganmu keluar kota."
Tommy tahu kalau gadisnya itu sedang ketakutan. Ia pun kembali memeluk Sherly dan mencium pucuk kepalanya. "Jika itu yang kau inginkan, baiklah." Ia tidak mengerti apa yang menyebabkan Sherly tidak mau melanjutkan sekolahnya lagi, tapi jika dilihat dari reaksi gadis itu, Tommy yakin kalau wanita yang dicintainya itu mengalami sesuatu yang cukup menakutkan. Dan apapun itu, Tommy tidak ingin mencari tahu selama Sherly tidak mengatakannya. Yang penting baginya sekarang adalah menjaga Sherly agar gadis itu tidak kabur lagi.
Setelah melepaskan rindu dengan tangis dan pelukan, Tommy membawa Sherly duduk di tepi ranjang. Dengan posisi yang bersebalahan, Tommy memborong semua tubuh Sherly. "Kau kurusan, Sayangku. Apa kau sedang diet sampai badanmu sekurus ini?"
"Aku tidak diet, tapi aku terus memikirkanmu sampai-sampai makanku pun tidak teratur. Aku terlalu sibuk memikirmanmu, sehingga lupa makan atau pun istrirahat."
Lagi-lagi Tommy membawa tubuh Sherly yang mungil itu ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Sayangku. Aku terlalu egois dan hanya mementingkan pekerjaan daripada kamu." Tommy melepaskan pelukannya, kemudian meraup pipi Sherly. "Kau mau memaafkan aku, kan?" Sherly mengangguk, tapi air matanya tak bisa di tahan lagi. Ia menangis dan Tommy terkejut. "Hei, ada apa? Kenapa kau menangis?" bisiknya seraya menyusupkan kepala Sherly di dada bidangnya.
Sherly terisak. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku___"
"Sstt, jangan berkata apa-apa," potong Tommy yang tahu maksud Sherly. Ia mendorong pelan bahu gadis itu lalu menatap wajahnya. "Lupakan masalah kita. Anggap saja ini teguran buatku karena aku terlalu mengabaikanmu. Aku memang egois, hanya mementingkan uang tanpa memperdulikan kondisi calon istriku. Kau mau kan kita memulainya dari awal?"
Air mata Sherly merebak. "Ka-kau sudah tahu?" Ia menghambur ke dalam pelukan Tommy. "Maafkan aku, Tommy, maafkan aku. Semua ini salahku."
Tommy mencium pucuk kepala Sherly. "Memang sakit sih, tapi tidak usah dipikirkan lagi. Aku yakin kau juga pasti tidak mau hal itu terjadi. Tapi ini semua sudah jalan Tuhan untuk menegur kami. Sekarang kita buka lembaran baru, ya."
Sherly mengangguk kemudian mendongak menatap Tommy. "Dari mana kau tahu aku di sini?"
Tommy melepaskan pelukannya kemudian mengusap air mata Sherly yang membekas di pipi. "Andin. Tadi dia mengirim pesan padaku saat aku tiba di bandara. Dia memberitahukan bahwa kau ada di sini."
Sherly terkejut. "Andin? Bukannya dia sudah janji kalau tidak akan membocorkan keberadaanku pada siapa-siapa? Memang manusia tidak bisa dipercaya," kesal Sherly.
Tommy tertawa. "Jangan salahkan dia. Andin itu sahabatku, dia sangat tahu kalau aku bisa gila saat kehilanganmu. Jadi karena tidak mau melihat temannya menjadi gila, dia pasti akan memberitahukan keberadaanmu padaku."
Dalam hati Sherly kesal, tapi di satu sisi ia justru senang karena Andin sudah mempertemukannya dengan Tommy. "Boleh aku minta sesuatu?" tanya Andin.
Tommy tersenyum sayang. "Tentu saja, Cinta, apa yang kau inginkan katakan saja. Aku akan mengabulkannya."
Sherly menunduk sesaat kemudian menatap Tommy lagi. Sambil menggenggam tangan Tommy ia berkata, "Aku ingin kita kawin lari."
Tommy terkejut. "Kawin lari, kenapa? Kan orangtua kita sama-sama setuju, Sayang."
"Iya, tapi aku sudah tidak mau sekolah lagi. Aku ingin di sampingmu terus. Aku tidak mau terpisah lagi Tommy. Aku tidak mau." Sherly kembali menangis.
Tommy menatap sedih dan segera memeluknya. Ia mengerti apa yang dirasakan Sherly, karena hal itu sama seperti yang dialaminya ketika berjauhan dengan gadis itu. "Tapi bagaimana kalau orangtuamu tidak setuju? Mereka___"
"Aku tidak peduli dengan mereka. Yang menjalani semuanya aku bukan mereka. Bawa aku, Tommy, bawa aku. Aku tidak mau lagi tinggal di sini."
Tommy semakin mengeratkan pelukannya. Meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dari sikap Sherly yang ngotot ingin ikut bersamanya membuat Tommy yakin kalau gadis itu pasti diperlakukan tidak nyaman. Hal itu pun membuat Tommy tak tega melihatnya. "Baiklah, sekarang kita pulang dan kita bicara dengan orangtuaku."
Sherly menggeleng kepala. "Aku tidak mau pulang ke rumah. Jangan beritahu Mama dan Papa kalau aku bersamamu, Tommy. Kumohon."
Tommy semakin bingung. Dengan pelan ia melepaskan pelukannya lalu berkata, "Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak mau Papa mengatur hidupku. Aku ingin menikah denganmu karena aku mencintaimu. Aku ... Pokoknya aku ingin bersamamu selamanya, Tommy. Aku ingin hidup sampai tua bersamamu."
Tommy mengerutkan alisnya. "Papa? Ada apa dengan Papa?" Sherly menunduk sedih, tapi Tommy langsung meraup kedua pipinya hingga tatapan mereka saling bertaut. "Katakanlah, ada apa dengan Papa? Apa maksudmu Papa mengatur hidup?"
Sherly tak mau berbohong. Dengan air mata yang mulai menetes ia pun menjelaskan apa yang pernah di dengarnya tempo hari. "Waktu Mama dan Papa sedang bicara mengenai masalah ini, Papa marah sekali karena katanya aku sudah membuat mereka kehilangan harta karun."
"Harta karun?" tanya Tommy bingung.
"Iya, jadi Papa sengaja menjodohkan kita karena memang tujuannya untuk harta. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran Papa, tapi yang jelas baginya, menikah denganmu sama saja dengan memiliki harta karun."
"Tapi___"
"Aku tidak mau kau berpikir bahwa aku sama seperti Papa. Aku mencintaimu karena aku memang sudah jatuh cinta saat kita bertemu di acara malam itu. Aku tidak mau kau menganggp aku menikahimu karena harta, tapi aku menjadi istrimu karena aku memang mencintaimu. Itu alasannya kenapa aku kabur dari rumah. Papa dan Mama hanya mementingkan diri mereka, tanpa peduli perasaanku. Jadi kumohon, bawa aku pergi dari sini. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku benar-benar tulus mencintaimu, Tomm. Aku sangat mencintaimu."
Tommy tersenyum sayang. "Aku juga sangat mencintaimu. Kalau begitu kita pulang ke rumah Mami, ya? Kita bicarakan masalah ini dengan mereka."
"Tapi aku takut kalau mereka akan memberitahukan keberadaanku pada Mama dan Papa."
Tommy memeluknya. "Tidak, Sayang, aku tidak akan memberitahukan keberadaanmu sampai kita berangkat nanti."
Continued___